Pada tanggal 26 Shafar, Rasūlullāh s.a.w. mempersiapkan pasukan yang dipimpin oleh Usāmah bin Zaid ke Ubnā, tempat Zaid bin Ḥāritsah, ayah Usāmah terbunuh. Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Berangkatlah hingga engkau mencapai tempat terbunuhnya ayahmu, kejutkanlah mereka dengan pasukan berkudamu. Aku telah mengangkatmu menjadi panglima pasukan itu. Seranglah mereka pada pagi hari dan kalahkanlah mereka, serta berangkatlah dengan cepat agar engkau mendahului berita. Apabila Allah menakdirkan engkau menang maka jangan lama-lama engkau berdiam di tempat mereka. Pakailah penunjuk jalan, berangkatlah seorang mata-mata terlebih dahulu, sementara pasukan tetap bersamamu.”
Dalam pasukan Usāmah terdapat para shahabat terkemuka dari kaum Muhājirīn dan Anshār. Di antara mereka adalah Abū Bakar, ‘Umar, Abū ‘Ubaidah, dan Sa‘ad.
Setelah mengangkat Usāmah menjadi panglima pasukan, Rasūlullāh s.a.w. berkata kepadanya: “Berperanglah dengan nama Allah di jalan Allah dan perangilah orang-orang kafir terhadap Allah,” Namun, ada segolongan shahabat yang mengkritik pengangkatan Usāmah ini karena Usāmah masih muda, yaitu baru berumur tujuh belas tahun, sedangkan yang dipimpinnya terdiri atas para shahabat Muhājirīn terkemuka. Kemudian berita itu terdengar oleh Rasūlullāh s.a.w., lalu beliau keluar dalam keadaan sangat marah dan berkata:
“Amma ba‘du: Wahai manusia, apakah yang telah dikatakan oleh sebagian di antara kalian tentang pengangkatanku terhadap Usāmah? Bilamana kalian menuduh yang tidak-tidak tentang pengangkatanku terhadap Usāmah, berarti kalian telah menuduh pengangkatanku terhadap ayahnya sebelum dia. Demi Allah, dia adalah orang yang pantas untuk memegang kepemimpinan, dan sesungguhnya anaknya pun sesudah dia (ayahnya) pantas pula untuk menjabatnya. Sesungguhnya dia termasuk orang yang paling aku cintai. Keduanya adalah orang yang benar-benar baik. Maka aku pesankan kepada kalian supaya berlaku baik terhadapnya. Dia termasuk orang-orang yang terpilih di antara kalian.”
Pasukan ini belum sempat berangkat pada masa Rasūlullāh s.a.w. karena beliau sakit hingga beliau wafat.
Para pembaca yang budiman, in syā’ Allāh, akan mengetahui kelanjutan perjalanan pasukan ini dalam buku kami yang berjudul Itmām-ul-Wafā bi Sīrat-il-Khulafā’.
Setelah Rasūlullāh s.a.w. menyempurnakan semua tugas yang diamānahkan kepada beliau dan telah menunaikan apa yang dipercayakan kepada beliau, serta setelah Allah memberikan petunjuk kepada umat dengan perantara beliau s.a.w. maka Allah s.w.t. memanggilnya ke sisi-Nya.
Pada suatu hari sebelum wafat, beliau s.a.w. duduk di atas mimbarnya, lalu bersabda:
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang disuruh memilih oleh Allah antara gemerlap dunia dan pahala yang berada di sisi-Nya maka ia memilih apa yang ada di sisi-Nya.”
Seketika itu, Abū Bakar r.a. juga menangis seraya berkata: “Wahai Rasūlullāh, kami tebus engkau dengan kakek dan nenek moyang kami.”
Rasūlullāh s.a.w. berkata:
“Sesungguhnya orang yang paling aku percayai dalam persahabatan dan harta bendanya adalah Abū Bakar. Sekiranya aku boleh menjadikan kekasih, niscaya aku menjadikan Abū Bakar (sebagai kekasih). Namun, ukhuwah islāmiyyah. Tiada suatu celah pun di masjid kecuali telah ditutup, kecuali celah milik Abū Bakar.” (501)
Rasūlullāh s.a.w. merasakan sakit keras pada akhir bulan Shafar tahun kesebelas hijriah di rumah Maimūnah. Beliau s.a.w. menderita sakit selama tiga belas hari. Dalam keadaan itu, beliau berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah yang lain di antara istri-istrinya. Ketika sakitnya semakin parah, ia meminta idzin kepada istri-istri yang lain untuk dirawat di rumah ‘Ā’isyah binti Abī Bakar dan mereka mengidzinkannya. Ketika Rasūlullāh s.a.w. mulai tinggal di rumah ‘Ā’isyah, kondisinya semakin kritis, kemudian beliau berkata: “Tuangkanlah kepadaku air sebanyak tujuh qirbah yang masih sejuk karena aku akan menengok apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang di luar.”
Kemudian beliau didudukkan di kursi lalu dituangkanlah air tersebut kepada beliau. lalu beliau memberi isyārat dengan tangannya bahwa sudah cukup. Air itu dimaksudkan untuk menurunkan suhu panas badan yang disebabkan oleh demam.
Ketika Rasūlullāh s.a.w. tidak mampu keluar dari rumah untuk mengimami shalat, beliau berkata: “Perintahkanlah Abū Bakar untuk menjadi imam shalat.” Rasūlullāh s.a.w. telah ridhā kepada Abū Bakar r.a. menjadi pengganti beliau pada masa hidup beliau. (512) Ketika orang-orang Anshār melihat bahwa sakit yang diderita Rasūlullāh s.a.w. semakin parah, mereka berkerumun di sekitar masjid.
Shahabat al-‘Abbās masuk ke dalam rumah Rasūlullāh s.a.w., lalu memberitahukan kekhawatiran semua shahabat terhadap diri beliau. Maka Rasūlullāh s.a.w. keluar seraya dipapah oleh ‘Alī dan al-Fadhl, sedangkan al-Abbās berjalan di depannya.
Pada saat itu, kepala Nabi s.a.w. dibalut dan beliau berjalan dengan langkah yang sangat lemah hingga beliau duduk di atas anak tangga pertama mimbar. Kemudian orang-orang berebutan mendekat kepada Rasūlullāh s.a.w. Beliau memuji Allah dan menyanjung-Nya, kemudian bersabda:
“Wahai umat manusia, aku telah mendengar bahwa kalian merasa khawatir akan kematian Nabi kalian. Apakah ada sebelumku seorang nabi yang diutus Allah dapat hidup abadi, kemudian ia hidup selamanya di antara kalian? Ingatlah, sesungguhnya aku akan dipanggil ke sisi-Nya, dan sesungguhnya kalian pun akan menyusulku. Maka aku berwasiat kepada kalian, berlaku baiklah terhadap muhajirin pertama, dan aku berwasiat kepada kaum Muhājirīn untuk berlaku baik terhadap sesama mereka. Sesungguhnya Allah s.w.t. berfirman:
“Demi masa, sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan ‘amal shāliḥ dan nasihat-menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat-menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Al-‘Ashr: 1-3)
Semua perkara itu dapat berjalan berkat idzin Allah s.w.t. Maka janganlah terlambatnya suatu perkara membuat kalian tergesa-gesa melakukannya, sebab Allah s.w.t. tidak akan menyegerakan suatu perkara karena tergesa-gesanya seseorang. Barang siapa melawan Allah maka Dia akan mengalahkannya dan barang siapa menipu Allah maka Dia akan membalas tipuannya.
“Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa kalian akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan?” (Muḥammad: 22)
Aku wasiatkan kepada kalian agar berlaku baik terhadap kaum Anshār karena mereka adalah orang-orang yang telah menempati kota Madīnah dan telah beriman sebelum kalian datang. Bukankah mereka telah merelakan separuh dari buah-buahan mereka untuk kalian? Dan bukankah mereka telah melapangkan rumah-rumah mereka untuk tempat tinggal kalian? Dan bukankah mereka lebih mengutamakan kalian daripada diri mereka sendiri, sekalipun mereka sedang dalam kesusahan?
Ingatlah, barang siapa diberi kekuasaan untuk memutuskan suatu perkara di antara dua orang, hendaknya menerima yang baik dari mereka dan memberi maaf kepada orang yang buruk (bersalah). Ingatlah, jangan sekali-kali kalian mempunyai dendam kesumat. Ingatlah, sesungguhnya diriku ini adalah orang yang akan mendahului kalian, dan kelak kalian akan menyusulku.
Ingatlah, sesungguhnya tempat bertemu kalian denganku adalah di al-Ḥaudh (Telaga—al-Kautsar). Ingatlah, barang siapa yang ingin bertemu denganku di sana kelak, hendaknya ia menahan tangan dan lisannya kecuali dalam hal-hal yang sudah seharusnya.” (523)
Ketika kaum Muslimīn sedang shalat Shubuḥ pada hari Senin tanggal 13 Rabī‘-ul-Awwal dan yang menjadi imamnya Abū Bakar, tiba-tiba Rasūlullāh s.a.w. membuka tirai kamar ‘Ā’isyah r.a. lalu memandang mereka yang pada saat itu sedang shalat di dalam shafnya masing-masing. Melihat keadaan mereka itu, Rasūlullāh s.a.w. tersenyum. Maka Abū Bakar r.a. pun mundur untuk bergabung dengan shaf shalat karena ia menduga bahwa Rasūlullāh s.a.w. hendak keluar untuk melaksanakan shalat. Hal ini hampir-hampir membuat kaum Muslimīn terkaget dalam shalat karena saking gembira melihat Rasūlullāh s.a.w., tetapi ternyata Rasūlullāh s.a.w. mengisyāratkan dengan tangannya supaya mereka meneruskan shalatnya bersama dengan shahabat Abū Bakar. Setelah itu, beliau kembali memasuki kamarnya dan menutupkan kembali tirai kamarnya. (534)
Belum lagi hari itu beranjak Dhuḥā, Rasūlullāh s.a.w. telah dipanggil kekasih-Nya dan meninggalkan dunia yang fana ini. Hal itu terjadi pada hari Senin tanggal 13 Rabī‘-ul-Awwal tahun 11 Hijriah bertepatan dengan tanggal 8 Juni 633 Masehi. Dengan demikian, usia Rasūlullāh s.a.w. adalah 63 tahun 3 hari berdasarkan perhitungan tahun qamariyyah, atau 61 tahun 84 hari berdasarkan perhitungan tahun syamsiyyah.
Pada saat itu, shahabat Abū Bakar r.a. sedang berada di as-Sunh, yaitu di tempat tinggal Bani al-Ḥārits bin al-Khazraj, bersama istrinya yang bernama Ḥabībah binti Khārijah bin Yazīd. Pada saat yang sama, shahabat ‘Umar menghunus pedangnya seraya mengancam orang-orang yang mengatakan Rasūlullāh s.a.w. telah meninggal, dan mengatakan: “Ia diutus menemui-Nya sebagaimana Mūsā diutus menemui-Nya lalu meninggalkan kaumnya selama empat puluh malam. Demi Allah, aku akan memotong tangan dan kaki orang-orang yang mengatakan bahwa Nabi s.a.w. telah meninggal.”
Ketika Abū Bakar r.a. mendengar berita tersebut, ia segera datang dan langsung memasuki rumah ‘Ā’isyah r.a., Abū Bakar r.a. membuka kain penutup wajah jenazah Rasūlullāh s.a.w. lalu membungkuk dan menatap beliau sambil menangis dan mengucapkan: “Demi Dzāt yang jiwaku berada di Tangan-Nya, beliau telah wafat, semoga shalawat Allah tercurahkan kepadamu, wahai Rasūlullāh. Alangkah harumnya engkau, baik sewaktu hidup ataupun sesudah meninggal. Demi ayah dan ibuku, Allah tidak akan menghimpun dua kematian pada dirimu.”
Setelah itu Abū Bakar r.a. keluar dan berpidato dengan terlebih dahulu memuji Allah s.w.t. dan menyanjung-Nya:
“Ketahuilah, barang siapa yang menyembah Muḥammad, sesungguhnya Muḥammad telah meninggal dunia; dan barang siapa menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak akan mati.” Kemudian Abū Bakar r.a. membacakan firman-Nya:
“Sesungguhnya kamu akan mati dan sesungguhnya mereka akan mati (pula).” (az-Zumar: 30)
“Muḥammad itu tiada lain hanyalah seorang rasūl, sungguh telah berlalu sebelumnya beberapa orang rasūl. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kalian berbalik ke belakang (murtad)? Barang siapa berbalik ke belakang maka ia tidak dapat mendatangkan mudarat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur.” (Āli ‘Imrān: 144)
Kemudian ‘Umar r.a. berkata: “Seolah-olah aku belum pernah membaca ayat-ayat tersebut sama sekali.” (545)
Jenazah Rasūlullāh s.a.w. disemayamkan di rumahnya mulai hari itu sampai malam Rabunya hingga kaum Muslimīn selesai memilih pemimpin pengganti beliau untuk memimpin kaum Muslimīn. Orang yang memandikan jenazah rasul adalah ‘Alī bin Abī Thālib r.a. dibantu al-‘Abbās r.a. bersama kedua anaknya yaitu al-Fadhl dan Qutsam, dan Usāmah bin Zaid serta Syuqrān, maulā Rasūlullāh s.a.w. Jenazah Rasūlullāh s.a.w. dikafani dengan tiga lapis kain, tanpa baju gamis dan kain serban. (556)
Jenazah Rasūlullāh s.a.w. diletakkan di atas balai di rumah beliau sendiri setelah para shahabat selesai mengurusnya. Orang-orang pun mulai berdatangan secara berturut-turut untuk menyalatkan, dan tidak ada seorang pun yang mengimami shalat jenazah itu. (567) Setelah itu, mulailah digali liang lahad di dalam kamar ‘Ā’isyah r.a., tempat Rasūlullāh s.a.w. meninggal dunia. Orang yang meletakkan jenazah ke dalam liang lahad adalah ‘Alī dan al-‘Abbās bersama dua orang anaknya; al-Fadhl dan Qutsam. Setelah itu, Bilāl menyiramkan air ke atas kuburan Rasūlullāh s.a.w. Kuburan Rasūlullāh s.a.w. ditinggikan sejengkal dari permukaan tanah. (578)
Rasūlullāh s.a.w. wafat dan meninggalkan sesuatu untuk kaum Muslimīn. Apabila mereka mengikuti peninggalan itu, niscaya tidak ada sesuatu pun yang dapat membahayakan mereka, yaitu Kitābullāh; yang tidak dapat disusupi kebatilan baik dari depan maupun dari belakang, yang diturunkan dari Rabb Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji.
Beliau meninggalkan pula para shahabat yang berbakti lagi mulia sebagai juru penerang agama Islam untuk menyempurnakan penaklukkan Negara-negara yang belum tersentuh Islam serta memancarkan cahaya Islam ke seluruh dunia sehingga Allah menyempurnakan kalimat-Nya dan menunaikan janji-Nya. Dan Allah s.w.t. telah menunaikannya.
Kami memohon kepada Allah s.w.t. semoga berkenan memberikan kemampuan kepada diri kita untuk dapat bersyukur kepada-Nya atas ni‘mat yang agung lagi besar ini, yaitu agama Islam.