Ya, boleh dan dalilnya banyak.
Di antaranya, kenyataan tabarruk yang dilakukan oleh para sahabat, radhiyallāhu ‘anhum, dan upaya mereka mendapatkan pertolongan melalui peninggalan-peninggalan Nabi s.a.w. pada saat beliau masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Terkait hal ini terdapat banyak hadits yang kami paparkan sebagaimana secara ringkas sebagai berikut:
Sahl bin Sa‘ad r.a. mengatakan: “Aku memintanya kepada beliau hanya agar dijadikan sebagai kafanku.” Dalam riwayat lain: “Aku berharap keberkahannya karena Nabi s.a.w. telah mengenakannya, semoga aku dapat dikafani dengannya.” (11).
Asmā’ mengeluarkan jubah thayālisī kisrawanī kepadaku dan mengatakan: “Dulu ini berada di tempat ‘Ā’isyah. Begitu ‘Ā’isyah wafat, jubah ini beralih kepadaku. Dulu Nabi s.a.w. mengenakannya. Kami membasuhkannya untuk orang-orang sakit dengan berharap kesembuhan lantaran jubah beliau ini. (22)
Saat itu jika ada orang yang terkena gangguan atau suatu penyakit, maka orang itu dibawa kepada Ummu Salamah r.a. yang lantas mengeluarkan guci yang berisi rambut beliau itu. Rambut itu pun dimasukkan ke dalam air beberapa saat lalu orang yang sakit meminum air darinya.
Aku melongok ke dalam guci tersebut dan aku melihat beberapa helai rambut yang berwarna merah.” (33)
“Apa yang kamu lakukan, ya Ummu Sulaim?” tanya Nabi s.a.w.
Ummu Sulaim menjawab: “Wahai Rasūlullāh, kami mengharapkan keberkahannya bagi anak-anak kecil kami.”
Beliau bersabda “Kamu benar.” (44).
Anas mengatakan: “Aku melihat Rasūlullāh s.a.w. dan tukang cukur rambut yang sedang mencukur beliau, sementara sahabat-sahabat beliau mengelilingi beliau. Mereka tidak menghendaki ada sehelai rambut pun yang jatuh kecuali di tangan seseorang. (66)
Khālid mengatakan: “Aku melakukan itu bukan karena peci, tapi karena rambut Nabi s.a.w. yang ada padanya agar keberkahannya tidak terampas dan jatuh di tangan orang-orang musyrik. (77).
Maksudnya untuk mendapatkan keberkahan dan syafā‘at.”
Beliau bersabda kepada Abū Mūsā r.a. dan Abū Juḥaifah r.a.:
اِشْرَبَا مِنْهُ وَ أَفْرِغَا عَلَى وُجُوْهِكُمَا وَ نُحُوْرِكُمَا.
“Minumlah kalian berdua darinya dan tuangkanlah pada wajah dan leher kalian berdua.” (88).
Ini adalah perintah dari Rasūlullāh s.a.w. agar melakukan tabarruk pada bekas-bekas beliau.
Maksudnya ia menghisap air itu lantaran keberkahan-keberkahan Nabi s.a.w.
Mu‘āwiyah berkata kepada para sahabat: “Lakukanlah itu kepadaku, dan biarkanlah itu di antara aku dan Allah Sang arḥam-ur-rāḥimīn (Yang paling Penyayang di antara yang penyayang). (1010).
(Saat ia wafat) wasiat itu pun dilakukan. (1111).
Seorang bijak menyebutkan bahwa hikmah tabarruk dengan bekas orang-orang shāliḥ dan tempat-tempat mereka serta apa-apa yang berhubungan dengan mereka adalah lantaran tempat-tempat mereka berkaitan dengan pakaian mereka, pakaian mereka mencakup badan mereka, badan mereka mencakup hati mereka, dan hati mereka berada dalam kehadiran Tuhan mereka.
Saat Allah melimpahkan berbagai curahan anugerah ketuhanan ke dalam hati mereka, maka keberkahannya menjalar kepada tiap sesuatu yang berkaitan dengannya dan yang berada di sekitarnya.
Seperti dinyatakan dalam firman Allah s.w.t.:
فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِنْ أَثَرِ الرَّسُوْلِ.
“(Sāmirī berkata) lalu aku mengambil segenggam dari bekas utusan itu.” (QS. Thāhā: 96).
Maksudnya, dari bekas telapak kaki kuda utusan itu (malaikat) sebagaimana yang dipaparkan pada beberapa kitab tafsir. (1212).
Ya. Tabarruk dengan bekas orang-orang shāliḥ adalah hakikat tawassul dengan diri, dan ini dibolehkan bahkan dianjurkan dalam syarī‘at. Sebab, ini berarti seorang hamba berupaya menggapai wasīlah atau perantara kepada Allah untuk mencapai tujuan-tujuannya lantaran perantara itu telah ditetapkan memiliki keutamaan di sisi Allah.
Dihukumi boleh dan dianjurkan karena ‘amaliyyah tabarruk ini mencontoh dari mereka, maksudnya dari para sahabat, pada seluruh aktivitas mereka untuk mendekatkan diri kepada Allah.
Adapun anggapan bahwa tabarruk merupakan perbuatan sia-sia tanpa makna dan tiada guna bagi mereka yang melakukannya, maka sungguh jauh kemungkinannya para sahabat melakukan perbuatan yang tiada arti sama sekali. Jauh pula kemungkinannya Rasūlullāh s.a.w. menetapkan perbuatan yang tiada arti itu. Jadi, pasti mereka mempunyai tujuan yang benar dan maksud yang mereka kehendaki, yaitu menggapai berkah, syafā‘at, dan rahmat dari Allah s.w.t. lantaran adanya keutamaan bekas-bekas yang mulia itu di sisi Allah s.w.t.