Puasa (ash-Shaum) adalah satu dari lima pokok dasar yang menegakkan Islam sebagai agama Tauḥīd. Kelima pokok dasar itu dijelaskan Rasūlullāh s.a.w. dalam hadits shaḥīḥ dari Bukhārī, Muslim, dan Aḥmad, yaitu syahadat sebagai kesaksian ketuhanan Allah dan kerasulan Muḥammad, shalat, zakat, haji, dan berpuasa pada bulan Ramadhān. Lima pokok ini kita kenal dengan sebutan Rukun Islam, di mana kelimanya tertuang dalam jalinan konsepsi dan anasir yang runut (membekas, jejak) sebagai amalan yang disyaratkan.
Landasan yuridis syariat puasa kita dapati di dalam al-Qur’ān, Sunnah, dan dilengkapi dengan Ijma‘. Al-Qur’ān surah al-Baqarah [2] ayat 183-184, menjadi landasan yuridis tertinggi di mana teks pensyariatkan puasa tertuang dengan lugasnya.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa, sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa. Yaitu beberapa hari yang tertentu…..” (QS. al-Baqarah [2]: 183-184).
Ayat ini kemudian dikukuhkan lagi dengan ayat berikutnya, al-Qur’ān surah al-Baqarah [2]: ayat 185:
“….. karena itu, barang siapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.”
Banyak hadits yang mensyariatkan ibadah puasa. Hampir semua imam perawi hadits, antaranya Bukhārī, Muslim, Ibnu Mājah, an-Nasā’ī, Aḥmad bin Ḥanbal, serta Abū Hurairah meriwayatkan pensyariatan puasa. Beberapa hadits lain juga mengabarkan tentang topik puasa dalam jumlah banyak. Konklusi pun diambil ulama fikih bahwa puasa berada pada level Mutawātir Ma‘nawī yaitu yang kebenaran pensyariatannya tak dapat dibantah lagi. Ijma‘ kemudian menjadi pengukuh dasar yuridis puasa, yang lebih dititikberatkan pada kesimpulan ulama setelah mengkaji sumber-sumber primer hukum Islam, hingga mereka yakin mengatakan bahwa puasa bulan Ramadhān hukumnya wajib.
Dalil puasa sunnah dapat kita rujuk pada beberapa hadits yang menerangkan bahwa Rasūlullāh s.a.w. melakukan beberapa puasa sunnah di waktu-waktu tertentu. Beberapa dalil itu antara lain adalah:
Hari-hari yang dilarang puasa meliputi sebagai berikut:
a. Dua Hari Raya.
Para ‘ulamā’ telah sepakat (ijma‘) atas haramnya berpuasa pada kedua hari raya, baik puasa fardhu maupun puasa sunnah, berdasarkan hadits ‘Umar r.a.:
“Sesungguhnya Rasūlullāh s.a.w. melarang puasa pada kedua hari ini. Adapun hari-raya ‘Īd-ul-Fithri, ia merupakan hari berbuka dari puasamu, sedangkan hari-raya ‘Īd-ul-Adhḥā maka makanlah hasil qurbanmu.” (HR. Aḥmad dan Imām yang empat).
b. Hari-hari Tasyrīk.
Haram berpuasa pada hari-hari Tasyrīk, yaitu tiga hari berturut-turut setelah hari-raya ‘Īd-ul-Adhḥā (tanggal 11, 12, dan 13 bulan Dzul-Ḥijjah), berdasarkan riwayat Abū Hurairah r.a.:
“Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Abdullāh bin Ḥudzaifah berkeliling kota Minā untuk menyampaikan: “Janganlah kamu berpuasa pada hari ini karena ia merupakan hari makan-minum dan berdzikir kepada Allah.” (HR. Aḥmad dengan sanad yang jayyid).”
c. Berpuasa pada Hari Jum‘at secara Khusus.
Hari Jum‘at merupakan hari-raya mingguan bagi umat Islam. Oleh sebab itu, agama melarang berpuasa pada hari itu. Akan tetapi, jumhur (sebagian besar ‘ulamā’) berpendapat bahwa larangan itu berarti makruh, bukan menunjukkan haram, kecuali jika seseorang berpuasa sehari sebelum atau sesudahnya atau sesuai dengan kebiasaannya atau secara kebetulan bertepatan pada hari ‘Arafah (9 Dzul-Ḥijjah) atau dari ‘Āsyūrā’ (10 Muḥarram), maka tidaklah makruh berpuasa pada hari Jum‘at itu.
“‘Abdullāh bin ‘Amr meriwayatkan, bahwa Rasūlullāh s.a.w. masuk ke rumah Juwairiyyah binti Ḥārits pada hari Jum‘at sedang ia sedang berpuasa. Lalu Nabi bertanya kepadanya: “Apakah engkau berpuasa kemarin?” Dia menjawa: “Tidak”, “dan besok apakah engkau bermaksud ingin berpuasa?” “Tidak”, jawabnya. Kemudian Nabi bertanya lagi, dia menjawab tidak pula. “Kalau begitu, berbukalah sekarang!” (HR. Aḥmad dan Nasā’ī).
Diriwayatkan pula dari ‘Āmir al-Asy‘arī, dia berkata:
“Aku mendengar Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya hari Jum‘at itu merupakan hari-rayamu, karena itu janganlah kamu berpuasa pada hari itu, kecuali jika kamu berpuasa sebelum atau sesudahnya!” (HR. al-Bazzār).
‘Alī bin Abī Thālib r.a. berpesan:
“Siapa yang hendak melakukan perbuatan sunnah di antaramu, hendaklah ia berpuasa pada hari Kamis, dan jangan berpuasa pada hari Jum‘at, karena ia merupakan hari makan dan minum serta dzikir.” (HR. Ibnu Abī Syaibah).
Menurut riwayat Bukhārī dan Muslim yang diterima dari Jābir r.a. bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Janganlah kamu berpuasa pada hari Jum‘at, kecuali jika disertai oleh satu hari sebelumnya atau satu hari sesudahnya.” Dan menurut lafal Muslim: “Janganlah kamu mengkhususkan malam Jum‘at di antara malam-malam itu buat bangun beribadah, dan jangan kamu mengkhususkan hari Jum‘at itu di antara hari-hari lain untuk berpuasa, kecuali bila bertepatan dengan puasa yang dilakukan oleh salah seorang di antaramu!”
d. Berpuasa pada Hari Sabtu secara Khusus.
Larangan berpuasa pada hari ini didasarkan pada dalil yang telah dipadukan (al-Jam‘u Bain-al-Adillah) dari dalil-dalil yang membolehkan puasa pada hari Sabtu dan dalil-dalil yang melarang puasa pada hari itu. Di antara dalil itu adalah hadits Busr seperti di bawah ini:
Dari Busr as-Sulamī dari saudara perempuannya, ash-Shammā’ bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Janganlah kamu berpuasa pada hari Sabtu, kecuali karena diwajibkan kepada kamu. Dan seandainya seseorang di antaramu tidak menemukan kecuali kulit anggur atau bungkal kayu, hendaklah dimamahnya makanan itu!” (HR. Aḥmad, Ashḥāb-us-Sunan, dan Ḥākim).
Imām Tirmidzī mengatakan, hadits tersebut ḥasan, seraya berkata: “Dimakruhkan di sini maksudnya ialah jika seseorang mengkhususkan hari Sabtu untuk berpuasa, karena orang-orang Yahudi membesarkan hari Sabtu.”
e. Berpuasa pada Hari yang diragukan.
Berpuasa pada hari yang diragukan ini terkait pada keragu-raguan apakah sudah datang bulan Ramadhān atau belum. ‘Ammār bin Yāsir r.a. berkata:
“Barang siapa yang berpuasa pada hari yang diragukannya, berarti ia telah durhaka kepada Abul-Qāsim (Muḥammad s.a.w.).” (HR. Ashḥāb-us-Sunan).
Dari Abū Hurairah r.a., Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Janganlah kamu mendahului puasa Ramadhān itu dengan sehari dua hari, kecuali jika bertepatan dengan hari yang biasa dipuasakan, maka bolehlah kamu berpuasa pada hari itu.” (HR. al-Jamā‘ah).
f. Berpuasa Sepanjang Masa (ad-Dahr).
Keharaman melakukan puasa sepanjang masa ini berdasarkan hadits:
“Tidaklah berpuasa, orang yang berpuasa sepanjang masa.” (HR. Aḥmad, Bukhārī dan Muslim).
Solusi dari larangan ini adalah hendaknya seseorang berpuasa dengan puasa Daud a.s., yaitu sehari puasa dan sehari berbuka.