3.
Menurut Yūsuf al-Qardhawī, kewajiban berpuasa bagi umat Islam ditetapkan dan diterapkan pada periode Madīnah, sebagaimana umumnya ibadah lainnya. Puasa menurut Qardhawī ditetapkan Nabi Muḥammad s.a.w. sebagai ibadah wajib pada tahun ke-2 Hijriah setelah arah qiblat diubah dari Masjid-ul-Aqshā di Yerusalem ke Ka‘bah, Baitullāh, Makkah. Beberapa ulama lain berpendirian bahwa puasa ditetapkan kewajibannya pada tahun ke-3 Hijriah.
Nabi Muḥammad s.a.w. mensosialisasikan persyaratan puasa dalam dua periode. Awalnya beliau memberi pilihan pada umatnya apakah ingin berpuasa atau membayar fidyah, yaitu memberi makan fakir-miskin – dengan penekanan lebih pada pilihan berpuasa. Periode ini kemudian beralih pada periode mengikat dan pasti. Pilihan pun dibatalkan, semua mukallaf yang mampu wajib berpuasa.
Tapi, jika ditarik ke belakang, puasa merupakan ‘amal ibadah klasik yang telah diwajibkan atas setiap umat-umat terdahulu. Ada empat bentuk puasa yang telah dilakukan oleh umat terdahulu, yaitu:
Pertanyaannya, bila puasa telah diwajibkan kepada umat terdahulu, maka adakah puasa yang diwajibkan atas umat Islam sebelum Ramadhān? Kebanyakan ulama dan sebagian pengikut Imām Syāfi‘ī berpendapat bahwa tidak ada puasa yang pernah diwajibkan atas umat Islam sebelum bulan Ramadhān. Pendapat ini dilandaskan pada hadits Rasūlullāh s.a.w. yang diriwayatkan oleh Mu‘āwiyah:
“Hari ini adalah hari ‘Āsyūrā’, dan Allah tidak mewajibkannya atas kalian. Siapa yang mau silahkan berpuasa, yang tidak juga boleh meninggalkannya.”
Berbeda dengan Imām Syāfi‘ī, Imām Ḥanafī berpendapat bahwa puasa yang diwajibkan yang pertama kali atas umat Islam adalah puasa ‘Āsyūrā’. Setelah datang bulan Ramadhān, kewajiban puasa ‘Āsyūrā’ digugurkan (mansūkh). Madzhab ini mengambil dalil haditsnya Ibnu ‘Umar dan ‘Ā’isyah r.a. yang menyebut Rasūlullāh s.a.w. telah berpuasa hari ‘Āsyūrā’ dan memerintahkannya (kepada umatnya) untuk berpuasa pada hari itu.
“….Dan kita datang Ramadhān maka lantas puasa ‘Āsyūrā’ beliau tinggalkan, ‘Abdullāh (Ibnu ‘Umar) juga tidak berpuasa.” (HR. Bukhārī).
Riwayat lain juga menyebut bahwa orang-orang Quraisy biasa melakukan puasa ‘Āsyūrā’ pada masa jahiliah. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Āsyūrā’ sampai diwajibkannya puasa Ramadhān. Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Barang siapa ingin berpuasa ‘Āsyūrā’ silahkan berpuasa, jika tidak juga tak apa-apa.” (HR. Bukhārī dan Muslim).
Kata Ramadhān – ramadhanat atau armidha (jama‘), bermakna sangat terik atau yang panas karena terik matahari. Dahulu orang ‘Arab ketika mengubah nama-nama bulan dari bahasa lama ke bahasa ‘Arab, mereka namakan bulan-bulan itu menurut masa yang dilalui (bulan itu). Bulan Ramadhān pada masa itu berada dalam kondisi yang panas karena matahari bersinar dengan terik. Sebab itu, bulan itu disebut dengan sebutan Ramadhān karena melalui masa panas karena sangat terik matahari.
Bulan Ramadhān adalah bulan satu-satunya yang disebut namanya di dalam al-Qur’ān.
“Bulan Ramadhān adalah bulan yang di dalamnya diturunkan al-Qur’ān untuk menjadi petunjuk bagi umat dan bermacam-macam keterangan yang merupakan petunjuk dan pemisah antara yang benar dengan yang batal.” (QS. al-Baqarah [2]: 185).
Allah s.w.t. memilih bulan Ramadhān untuk menurunkan al-Qur’ān sebagai limpahan nikmat besar yang tidak ada tandingannya kepada para hamba-Nya. al-Qur’ān adalah kitab yang hidup sepanjang masa. Al-Qur’ān adalah tali pengikat bagi seluruh umat Islam di dunia ini.
Di bulan Ramadhān, Allah s.w.t. menurunkan ayat al-Qur’ān yang terakhir dan yang terawal. Di bulan Ramadhān pula risalah kerasulan kepada Nabi Muḥammad s.a.w. diturunkan dan menugaskan beliau untuk bangkit dan menyampaikan risalah ketauhidan kepada umat manusia.
Banyak peristiwa yang tercatat dalam sejarah yang terjadi di bulan Ramadhān. Antara lain:
Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dari Abū Hurairah bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Bulan Ramadhān adalah bulan yang Allah telah memfardhukan kamu berpuasa di dalamnya, dan aku telah mensunnahkan kamu berdiri dan beribadah di dalamnya. Barang siapa berpuasa dan ber-shalāt-ul-qiyām di malamnya karena iman dan karena mengharapkan Allah, niscaya ia keluar dari dosanya, seperti hari dia dilahirkan oleh ibunya.”
Diriwayatkan oleh Aḥmad, an-Nasā’ī, dan al-Baihaqī, dari Abū Hurairah, bahwa Rasūlullāh s.a.w. bersabda:
“Sesungguhnya telah datang kepadamu bulan Ramadhān, bulan yang penuh berkat. Allah telah memfardhukan kepada kamu berpuasa di dalamnya. Dibuka segala pintu surga, dikunci segala pintu neraka dibelenggukan segala syaithan. Di dalamnya ada suatu malam yang telah baik dari seribu bulan. Barang siapa tiada diberikan kebajikan malam itu, maka sungguh tidak diberikan kebajikan kepadanya.”
Diriwayatkan oleh Aḥmad, an-Nasā’ī:
“Pada suatu hari aku berada di sisi ‘Utbah bin Farqad ketika dia menceritakan tentang hal Ramadhān, maka datanglah kepada kami seorang lelaki sahabat Rasūl. Setelah orang itu dilihat oleh ‘Utbah, diapun merasa takut lalu berdiam diri. Maka orang itu menceritakan tentang hal Ramadhān, katanya: “Saya mendengar Rasūlullāh s.a.w. berkata: “di dalam bulan Ramadhān dikunci segala pintu neraka dibuka segala pintu surga dan dibelenggu segala syaithan.” Rasūlullāh s.a.w. berkata lagi: “Seorang malaikat berseru: “Wahai segala orang yang menghendaki kebajikan bergembiralah kamu dan wahai orang menghendaki kejahatan tahanlah dirimu.” Malaikat terus-menerus berseru, sehingga habis bulan Ramadhān.”
Diriwayatkan oleh Aḥmad, al-Bazzār, al-Baihaqī dari Jābir:
“Pada suatu hari aku berada di sisi ‘Utbah bin Farqad ketika Rasūlullāh s.a.w. bersabda: “Telah diberikan kepada umatku bulan Ramadhān lima hal yang belum diberikan kepada seseorang Nabi sebelumku: Pertama, di permulaan bulan Ramadhān Allah “melihat” kepada para umatku. Barang siapa Allah melihat kepadanya niscaya tidak diadzabnya selamanya; Kedua, bau mulut mereka di waktu petang hari lebih wangi di sisi Allah dari bau kasturi; Ketiga, para malaikat memohon ampunan untuk mereka di setiap hari dan malam; Keempat, Allah menyuruh kepada surga-Nya serta berkata kepadanya: “Bersiaplah kamu dan berhiaslah kamu untuk hamba-hambaKu. Mereka hampir beristirahat dari kepayahan dunia menuju ke negeri-Ku dan kemuliaan-Ku; Kelima, pada akhir malam bulan Ramadhān, Allah mengampuni semua dosa mereka.” Seorang lelaki dari sahabat bertanya: “Apakah engkau tidak melihat kepada pekerja-pekerja yang bekerja. Apabila mereka telah selesai dari pekerjaan mereka, niscaya disempurnakanlah upah-upah mereka.”
Ramadhān memiliki nama-nama lain yang merupakan bukti bahwa Ramadhān demikian populer hingga menggugah para ulama untuk menamainya dengan berbagai julukan. Nama-nama itu adalah: