Syarah Hikmah Ke-105 – Syarah al-Hikam – KH. Sholeh Darat

شَرْحَ
AL-HIKAM
Oleh: KH. SHOLEH DARAT
Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufarohah
Penerbit: Penerbit Sahifa

Syarah al-Hikam

KH. Sholeh Darat
[Ditulis tahun 1868]

SYARAH HIKMAH KE-105

 

مِنْ عَلَامَاتِ اتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ وَ التَّكَاسُلِ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ.

Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah bersegera melakukan amalan sunnah. Dan malas menunaikan kewajiban.

 

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

مِنْ عَلَامَاتِ اتِّبَاعِ الْهَوَى الْمُسَارَعَةُ إِلَى نَوَافِلِ الْخَيْرَاتِ.

Di antara tanda mengikuti hawa nafsu adalah bersegera melakukan amalan sunnah.

Sebagian tanda seseorang yang suka menuruti hawa-nafsunya adalah bersegera melaksanakan ‘ibādah sunnah.

 

وَ التَّكَاسُلِ عَنِ الْقِيَامِ بِالْوَاجِبَاتِ.

Dan malas menunaikan kewajiban.

Dan malas melaksanakan ‘ibādah wajib.

Orang seperti ini termasuk jenis orang yang mudah melakukan perkara bāthil dan berat melakukan sesuatu yang hak dan ini yang terjadi pada kebanyakan manusia, merasa berat melakukan taubat dari ḥaqqullāh dan ḥaqqu adamī, tidak meminta kehalalan kepada orang yang telah digunjingkan, padahal meminta maaf (minta halal) kepada orang yang telah diambil haknya itu hukumnya fardhu ‘ain. Mereka justru sibuk melakukan ‘ibādah sunnah, shalat sunnah, puasa sunnah, berkali-kali berangkat ke Makkah untuk melakukan haji sunnah (atau ‘umrah), meninggalkan hal yang berhukum fardhu ‘ain yaitu bermujāhadah (memerangi nafsunya), padahal jika manusia sibuk melaksanakan ‘ibādah yang fardhu ‘ain, maka ia tidak akan sempat melaksanakan ‘ibādah sunnah. Manusia pada umumnya berat menunaikan ‘ibādah wajib. Sebab, dalam melaksanakan ‘ibādah fardhu itu tidak bisa menaikkan derajatnya dalam pandangan masyarakat, berbeda apabila melakukan ‘ibādah sunnah maka kemungkinan besar ia akan terkenal dan mendapat selisih kedudukan dari orang lain, dan inilah yang diinginkan oleh nafsu ammārah.

Kebanyakan manusia merasa berat hati untuk belajar ‘ilmu yang fardhu ‘ain sementara mereka ringan untuk masuk tharīqat ‘ulamā’ dan auliyā’ padahal mencari ilmu tadi lebih fardhu. Amal tidak akan sah jika tidak disertai ilmu. Sehingga mayoritas manusia tersibukkan dengan mengikuti tharīqat ‘ulamā’ padahal mereka belum mengetahui rukun, syarat dan perkara yang membatalkan syahādat, padahal syahādat adalah awal dari rukun Islam, begitu pula tata cara shalat dan asrār-nya (rahasia shalat).

Sebagian manusia sibuk melaksanakan ‘ibādah haji, padahal dia belum memenuhi syarat dan kewajiban haji dan tidak mempelajari tata cara ‘ibādah haji dan shalat, maka yang demikian itu hanyalah karena menuruti hawa-nafsunya, karena mereka menganggap bahwa dengan mencari ‘ilmu dan tidak akan mendapatkan kedudukan di mata masyarakat. Padahal ‘ilmu hakikat tidak akan sah jika tidak disertai ‘ilmu syarī‘at. (131) Maka takutlah kalian wahai murīd dari tipu-daya nafsu ammārah. Oleh karenanya, engkau harus mengetahui sifat-sifat nafsu.

Catatan:

  1. 13). Syarī‘at adalah perintah yang harus ditepati dalam ‘ibādah, sementara hakikat adalah kesaksian akan kehadiran peran serta ketuhanan dalam setiap sisi kehidupan. Setiap syarī‘at yang kehadirannya tidak diikat dengan hakikat tidak dapat diterima, sebaliknya setiap hakikat yang perwujudannya tidak dilandasi syarī‘at tidak akan berhasil. Syarī‘at adalah hukum dari Sang Maha Pencipta, sementara hakikat bersumber dari dominasi kreativitas al-Ḥaqq. Syarī‘at merupakan penyembahan makhlūq kepada Sang Khāliq, sementara hakikat adalah kesaksian akan kehadiran-Nya. Syarī‘at adalah penegakan apa yang diperintahkan-Nya, sementara hakikat adalah kesaksiannya terhadap sesuatu yang telah ditentukan dan ditaqdīrkan oleh-Nya.

    Menurut pentaḥqīq kitab ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, Ma‘rūf Mushthafā Zurā’iq, dengan demikian, dapat disimpulkan, syarī‘at adalah pengetahuan atau konsep merambah jalan menuju Allah, sementara hakikat adalah keabadian melihat-Nya, sementara thariqah adalah proses perjalanan hamba meniti jalan syarī‘at menuju hakikat. Dengan kata lain, aktualisasi dengan ketentuan hukum yang sah secara syarī‘at itulah yang kemudian disebut dengan tharīqah. Lihat: Abul-Qāsim ‘Abd-ul-Karīm Hawāzin al-Qusyairī an-Naisābūrī, ar-Risālat-ul-Qusyairiyyah, al-Maktabah al-‘Ashriyyah, cet. ke-1, Libanon, 2001, hal. 82-83.

2 Komentar

  1. Sholihan berkata:

    Alhamdulillah , sangat baik bagi saya belajar agama

    Semoga bisa mendapatkan Sy diperkenankan mendapatkan aplikasinya

    Terimakasih

  2. Sholihan berkata:

    Sangat baik
    Semoga menjadi ladang amal kebaikan

    Terimakasih , Sy dpt ikut belajar
    Semoga saya bisa mendapatkan aplikasinya

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *