Syarah Hikmah Ke-104 – Syarah al-Hikam – KH. Sholeh Darat

شَرْحَ
AL-HIKAM
Oleh: KH. SHOLEH DARAT
Maha Guru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufarohah
Penerbit: Penerbit Sahifa

Syarah al-Hikam

KH. Sholeh Darat
[Ditulis tahun 1868]

SYARAH HIKMAH KE-104

 

إِذَا الْتَبَسَ عَلَيْكَ أَمْرَانِ فَانْظُرْ أَثْقَلَهُمَا عَلَى النَّفْسِ فَاتَّبِعْهُ فَإِنَّهُ لَا يَثْقُلُ عَلَيْهَا إِلَّا مَا كَانَ حَقًّا.

Jika ada dua hal yang tidak jelas bagimu, lihatlah (perhatikanlah) di antara keduanya yang paling berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia. Sebab tidak akan terasa berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yang benar (hak).

 

Syaikh Ibnu ‘Athā’illāh berkata:

إِذَا الْتَبَسَ عَلَيْكَ أَمْرَانِ فَانْظُرْ أَثْقَلَهُمَا عَلَى النَّفْسِ فَاتَّبِعْهُ فَإِنَّهُ لَا يَثْقُلُ عَلَيْهَا إِلَّا مَا كَانَ حَقًّا.

Jika ada dua hal yang tidak jelas bagimu, lihatlah (perhatikanlah) di antara keduanya yang paling berat bagi nafsu, lalu ikutilah ia. Sebab tidak akan terasa berat bagi nafsu, kecuali sesuatu yang benar (hak).

Jika ada dua hal yang serupa bagimu, dua perkara wajib atau dua perkara sunnah, sedangkan engkau tidak mengetahui mana yang lebih utama, seperti memilih untuk mengaji (mengajarkan ‘ilmu) dan mencari nafkah untuk anak istri. Padahal, keduanya sama-sama berhukum wajib, dan engkau tidak mengetahui salah satu di antaranya yang kebih baik. Maka tanyakanlah pada nafsumu, mana yang lebih berat baginya, itulah yang lebih utama dan lebih benar. Lalu ikuti yang lebih berat dan tinggalkan perkara yang lebih ringan baginya, beginilah timbangan ‘amal perbuatanmu tatkala saat terdapat keserupaan.

Contoh lainnya, semisal engkau bingung memilih menyibukkan diri dengan mengaji ‘ilmu nāfi‘ yang hukumnya fardhu ‘ain atau dengan mengikuti tharīqat ‘ulamā’ dalam meng‘amalkan wirid. Lalu engkau tidak mengetahui salah satu di antaranya yang lebih utama. Maka lihat dan perhatikanlah mana yang lebih disenangi nafsumu, lalu tinggalkan itu, karena nafsu selalu ingin riyā’ dan sibukkanlah dirimu dengan hal yang berat dilakukan oleh nafsumu.

Cara lain yang lebih sesuai adalah dengan mengambil ‘ibarat (pelajaran) jika engkau meninggal, ‘amal manakah yang lebih engkau senang ketika ruhmu keluar? Apakah engkau lebih suka dalam keadaan melakukan dzikir ataukah dalam keadaan membawa (mempelajari kitab?) Maka mana yang lebih engkau senangi, lakukanlah! Jika engkau lebih menyukai ruhmu keluar saat kamu larut dalam berdzikir kepada Allah, sibukkanlah dirimu dengan berdzikir, tinggalkanlah mengaji. Sedangkan jika engkau lebih suka jika ruhmu keluar saat engkau memegang (mengaji) kitab, maka sibukkanlah dirimu dengan mengaji atau mengajar, tinggalkan tharīqat dzikir.

Pembahasan contoh-contoh atas selain belajar yang berhukum fardhu ‘ain, yaitu mengetahui zhāhirnya ‘ilmu syarī‘at tentang ‘ibādah zhāhir, seperti shalat dan lainnya. Dan untuk mengetahui bāthinnya ‘ilmu syarī‘at, seperti mempelajari sifat madzmūmah (tercela) dan sifat maḥmūdah (terpuji) yang ada di dalam hati, meyakini i’tiqād ushūl-ud-dīn tentang ‘aqā’id khamsīn (akidah 50) dan mempelajari ‘ilmu adab (tatakrama). Sebab ‘ilmu yang wajib dipelajari itu ada tiga; pertama, ‘ilmu yang bisa membenarkan taat. Kedua, ‘ilmu yang bisa membenarkan i‘tiqād. Ketiga, mempelajari ‘ilmu yang bisa membersihkan hati dari segala sifat muhlikāt (sifat-sifat yang merusak ‘amal) dan munjiyāt (sifat-sifat yang menyelamatkan ‘amal).

Seseorang yang belum mempelajari ketiga ‘ilmu tersebut tidak diperkenankan mengikuti tharīqat para ‘ulamā’ dengan cara apapun. Sebab tanda-tanda orang yang mengikuti hawa-nafsunya adalah bergegas melakukan ‘ibādah sunnah dan bermalas-malasan melaksanakan ‘ibādah fardhu.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *