Syair Nufail tentang Peristiwa Hukuman Allah kepada Abrahah – Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam (3/4)

SIRAH NABAWIYYAH IBNU HISYĀM
(Judul Asli: As-Sīrah an-Nabawiyyah li ibni Hisyām)
Penulis: Abū Muḥammad ‘Abd-ul-Mālik bin Hisyām al-Mu‘āfirī.

Penerjemah: Fadhli Bahri, Lc.
Penerbit: Darul Fikr.

Rangkaian Pos: Daus Dzu Tsa'labah Melarikan Diri - Sirah Nabawiyyah Ibnu Hisyam

6: 4. Syair Nufail tentang Peristiwa Hukuman Allah kepada Abrahah

Melihat hukum Allah kepada mereka, Nufail berkata:

Di manakah gerangan tempat berlindung dari Allah yang menuntut
Dan Abrahah al-Asyram yang menjadi pecundang dan bukan pemenang

Ibnu Hisyām berkata: “Ucapan bukan pemenang berasal dari selain Ibnu Isḥāq.”

Ibnu Isḥāq berkata: “Nufail juga berkata:

Ketahuilah wahai Rudainah, mudah-mudahan engkau menghidupkan kami
Kami telah memberikan kenikmatan kepadamu pada pagi hari
Rudainah, jika engkau melihat, maka engkau jangan melihatnya
Di tanah berkerikil yang belum pernah kami lihat
Engkau pasti memaafkanku dan memuji tindakanku
Serta tidak sedih atas apa yang hilang dari kita
Aku memuji Allah karena aku melihat burung-burung
Dan aku takut batu-batu jatuh mengenai kita
Semua orang bertanya-tanya tentang Nufail
Sepertinya aku mempunyai hutang pada pasukan Ḥabasyah tersebut

Pasukan Abrahah jatuh berguguran di setiap jalan dan tewas di setiap tempat dan rumah di padang sahara. Abrahah sendiri mendapatkan luka di badannya, kemudian ia digotong anak buahnya, namun tubuhnya berjatuhan satu demi satu. Setiap kali anggota tubuhnya berjatuhan, pasti disusul dengan keluarnya nanah dan darah. Itulah yang terjadi pada Abrahah hingga mereka tiba di Shan‘ā’ dengan membawa Abrahah yang berubah seperti anak burung. Ketika Abrahah meninggal dunia, dadanya terpisah dari hatinya menurut sebagian besar orang.”

Ibnu Isḥāq berkata bahwa Ya‘qūb bin ‘Utbah berkata kepadaku, ia diberitahu untuk pertama kalinya terlihat tanah berkerikil di daerah ‘Arab adalah tahun tersebut dan untuk pertama kalinya dijumpai pohon-pohon yang pahit seperti pohon Ḥarmal, pohon Ḥanzhal, dan pohon ‘Usyar adalah sejak tahun tersebut.

Allah Subḥānahu Mengingatkan Peristiwa Gajah di dalam al-Qur’ān

Ibnu Isḥāq berkata: “Ketika Allah ta‘ālā mengutus Muḥammad s.a.w. sebagai Nabi dan Rasūl, maka di antara nikmat yang diberikan Allah kepada orang-orang Quraisy ialah bahwa Allah menghalau rencana orang-orang Ḥabasyah terhadap mereka karena keabadian hak mereka. Allah tabāraka wa ta‘ālā berfirman:

Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan Ka‘bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-bondong, yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar. Lalu Dia menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat). (Al-Fīl: 1-5).

Allah ta‘ālā berfirman:

Karena kebiasaan orang-orang Quraisy, (Yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka‘bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.” (Quraisy: 1-5).

Maksudnya, agar sedikit pun tidak ada perubahan pada mereka, karena Allah menghendaki kebaikan pada mereka jika mereka menerima kebaikan tersebut.

Penafsiran Kata-kata pada Surat al-Fīl dan Surat Quraisy

Ibnu Hisyām berkata: “Abābīl artinya berkelompok-kelompok. Menurut sepengetahuanku, belum pernah orang-orang ‘Arab menggunakan kata tersebut. Tentang kata sijjīl, aku diberitahu oleh Yūnus an-Nahwī dan Abū ‘Ubaidah bahwa kata tersebut menurut orang-orang ‘Arab artinya keras dan kuat. Ru‘bah bin al-‘Ajjāj berkata:
Mereka ditimpa seperti apa yang menimpa pasukan gajah
Mereka dilempari batu dari sijjīl
Dan burung-burung yang berkelompok-kelompok mempermainkan mereka
Bait-bait di atas adalah cuplikan dari syair-syairnya.

Sebagian pakar tafsir menyebutkan, bahwa sijjīl adalah dua kata dalam bahasa Persia kemudian orang-orang ‘Arab menjadikannya sebagai satu kata. Dua kata tersebut adalah sinjun dan jillun. Arti dari sinjun ialah batu, sedang arti jillun ialah tanah. Al-‘Ashfu artinya daun tanaman yang belum layak ditebang. Kata tunggalnya ‘ashfah.”

Ibnu Hisyām berkata bahwa Abū ‘Ubaidah an-Nahwī berkata kepadaku, ada yang berkata kepadanya kata tunggal tersebut ialah al-‘Ushafah dan al-‘Ashifah. Abū ‘Ubaidah juga membacakan kepadaku syair ‘Alqamah bin ‘Abādah, salah seorang dari Bani Rabī‘ah bin Mālik bin Zaid Manāt bin Tamīm:

Ia mengaliri aliran air yang tumbuh-tumbuhannya telah doyong
Akar-akarnya diisi dari air yang jauh

Bait syair di atas adalah potongan dari syair-syairnya. Ar-Rājiz berkata:

Kemudian mereka berubah seperti daun-daun yang dimakan ulat

Ibnu Hisyām berkata: “Bait syair di atas mempunyai penjelasan tersendiri dalam ilmu gramatikal bahasa ‘Arab. Yang dimaksud dengan li īlāfi quraisyin ialah keluarnya orang-orang Quraisy ke Syām untuk tujuan bisnis. Mereka mempunyai dua perjalanan; perjalanan di musim dingin, dan perjalanan di musim panas.”

Ibnu Hisyām melanjutkan: “Abū Zaid al-Anshārī berkata kepadaku bahwa orang-orang ‘Arab berkata: “Aliftu asy-syai’a ilfan wa aliftuhu īlāfan.” Dengan arti yang sama.

Mathrūd bin Ka‘ab Al-Khuzā‘ī berkata:

Orang-orang yang bergelimang dengan nikamt-nikmat ketika bintang-bintang telah berubah
Dan orang-orang yang berangkat untuk perjalanan

Bait-bait di atas adalah penggalan dari syair-syair Mathrūd bin Ka‘ab al-Khuzā‘ī dan secara lengkap akan saya muat di tempatnya, In syā’ Allāh. Arti īlāf yang lain, ialah seseorang mempunyai seribu unta atau sapi atau kambing, atau hewan-hewan lainnya. Al-Kumaitu bin Zaid, salah seorang dari Bani Asad bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyās bin Mudzar bin Nizār bin Ma‘ād:

Pada tahun ini, orang-orang yang memiliki unta seribu berkata
Tahun ini kita berjalan kaki (karena untanya tidak sanggup menanggungnya
karena tidak mendapatkan air minum)

Arti īlaf yang lain ialah kaum itu berjumlah seribu. Al-Kumaitu bin Zaid berkata:

Keluarga Muzaiqiya besok pagi bertemu
Dengan Bani Sa‘ad bin Dzabbah yang berjumlah seribu

Arti īlaf yang lain ialah sesuatu yang jumlahnya belum seribu berubah menjadi seribu.

Ibnu Isḥāq berkata bahwa ‘Abdullāh bin Abī Bakr berkata kepadaku dari ‘Umrah binti ‘Abd-ir-Raḥmān bin Sa‘īd bin Zurārah dari ‘Ā’isyah r.a. yang berkata: “Sungguh aku pernah melihat penuntun gajah dan pengendalinya di Makkah dalam keadaan buta dan duduk meminta-minta makanan pada manusia.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *