Syafa‘at Rasulullah – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 004 Persoalan Aqidah yang Bersumber dari Dalil Naqli (Sam'iyyah) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Syafā‘at Rasūlullāh

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ وَاجِبٌ شَفَاعَةُ الْمُشَفَّعِ مُحَمَّدٍ مُقَدَّمًا لَا تَمْنَعِ.

Dan kita wajib beriman kepada syafā‘at orang yang akan diterima syafā‘atnya, ya‘ni Nabi Muḥammad dalam keadaan didahulukan (dari yang lainnya). Janganlah engkau meyakini tercegahnya.”

وَ غَيْرُهُ مِنْ مُرْتَضَى الْأَخْيَارِ يَشْفَعْ كَمَا قَدْ جَاءَ فِي الْأَخْبَارِ.

Dan selain Nabi Muḥammad, golongan orang-orang terpilih serta diridhāi juga akan memberikan syafā‘at sebagaimana diterangkan dalam beberapa hadits.”

Para ‘ulamā’ menyatakan orang yang diterima syafā‘atnya wajib memberikan syafā‘atnya, ya‘ni Nabi Muḥammad s.a.w. yang syafā‘atnya lebih didahulukan dari Nabi dan Rasūl lainnya. Jangan pernah meyakini tercegahnya syafā‘at Beliau! Selain beliau, juga ada orang-orang yang bisa memberikan syafā‘at, ya‘ni orang-orang pilihan yang mendapatkan ridhā Allah s.w.t. dari kalangan Nabi, Rasūl, Malaikat, Sahabat, Syuhadā’, ‘Ulamā’ dan Auliyā’ (2101), semuanya bisa memberikan syafā‘at kepada pelaku dosa besar sesuai dengan kedudukan mereka di sisi Allah s.w.t., sebagaimana telah diriwayatkan dalam beberapa hadits.

Penjelasan:

Seorang mu’min wajib meyakini bahwa syafā‘at Nabi Muḥammad s.a.w. kepada pelaku dosa besar pasti adanya berdasarkan dalīl sam‘ī (dalīl yang didengar dari al-Qur’ān dan Hadits) dari para ‘ulamā’ madzhab ahli ḥaqq.

Syafā‘at Nabi Muḥammad lebih didahulukan dari syafā‘at Nabi dan Rasūl lainnya. Diriwayatkan dalam sebuah hadits:

أَنَا أَوَّلُ شَافِعٍ وَ أَوَّلُ مُشَفَّعٍ.

Aku adalah orang pertama yang akan memberi syafā‘at dan orang pertama yang akan diterima syafā‘atnya.”

Dari bait Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī ini ada 3 ma‘na tersirat, ya‘ni: (2112).

  1. Nabi Muḥammad wajib memberikan syafā‘at.
  2. Syafā‘at Nabi Muḥammad pasti diterima.
  3. Syafā‘at Nabi Muḥammad pasti didahulukan dari para Nabi dan Rasūl yang lainnya.

Kelak di hari Kiamat, saat manusia berada di padang Maḥsyar selama 1.000 tahun atau 50.000 tahun dan matahari berada satu mil di atas kepala mereka, semua berharap lekas dihisab meskipun nantinya masuk neraka. Diilhamkan kepada mereka bahwa seluruh Nabi bisa dimintai syafā‘at. Mereka kemudian mendatangi Nabi Ādam a.s. dan berkata: “Engkau adalah ayah semua manusia, berikanlah kami syafā‘at”, Nabi Ādam a.s. menjawab: “Aku bukanlah orang yang bisa memberikan syafā‘at, nafsī, nafsī (hari ini aku akan memohon syafā‘at untuk diriku sendiri)”. Setelah itu mereka mendatangi Nabi Nūḥ a.s., lalu Nabi Ibrāhīm a.s., Nabi Mūsā a.s., kemudian Nabi ‘Īsā a.s. Namun, semuanya memberikan jawaban yang sama: “nafsī, nafsī”.

Jarak antara satu Nabi dengan yang lainnya adalah 1.000 tahun. Kemudian mereka semua mendatangi Rasūlullāh s.a.w. seraya memohon syafa‘at kepada Beliau. Rasūlullāh s.a.w. menjawab:

أَنَا لَهَا أَنَا لَهَا أُمَّتِيْ أُمَّتِيْ.

Aku akan memberikan syafā‘at, aku akan memberikan syafā‘at, wahai umatku, wahai umatku.

Rasūlullāh s.a.w. kemudian bersujud di bawah ‘arasy, lalu terdengar suara dari langit:

اِرْفَعْ رَأْسَكَ وَ اشْفَعْ تَشْفَعْ.

Wahai Muḥammad! Angkatlah kepalamu dan berikanlah syafā‘at, niscaya syafā‘atmu akan diterima.”

Saat itulah permulaan syafā‘at yang merata kepada seluruh makhlūq yang dinamakan dengan syafā‘at-ul-‘uzhmā. Hanya Nabi Muḥammad s.a.w. yang bisa melakukannya, tidak ada Nabi selainnya yang bisa memberikan syafā‘at seperti itu. Oleh karena itu, umat yang pertama kali dihisab adalah umat Nabi Muḥammad. (2123).

Selain syafā‘at-ul-uzhmā, Nabi Muḥammad s.a.w. juga memiliki syafā‘at yang lain, seperti masuk surga tanpa dihisab, memberikan syafā‘at orang yang semestinya masuk ke dalam neraka kemudian menjadi masuk surga, syafā‘at mengeluarkan ahli tauḥīd dari neraka, dan syafā‘at berupa menambah derajat. Seorang mu’min jangan pernah meyakini tercegahnya Nabi Muḥammad dari memberikan syafā‘at. Semoga kita mati dengan membawa tauḥīd, iman dan termasuk golongan yang mendapatkan syafā‘at. Āmīn. Wallāhu a‘lam. (2134).

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

إِذْ جَائِزٌ غُفْرَانُ غَيْرِ الْكُفْرِ فَلَا نُكَفِّرْ مُؤْمِنًا بِالْوِزْرِ.

Karena boleh mengampuni dosa selain kafir, maka janganlah kita mengafirkan seseorang karena melakukan dosa.”

Adanya syafā‘at dan diterimanya syafā‘at karena bolehnya pengampunan dosa selain dosa kekufuran. Maka, kami (Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah) tidak akan mengafirkan orang mu’min yang melakukan dosa, baik dosa besar maupun kecil.

Penjelasan:

Syafā‘at Nabi Muḥammad di hari Kiamat pasti ada. Sebab, menurut akal dan juga syara‘ diperbolehkan mengampuni dosa-dosa selain kufur walaupun berupa dosa besar.

Allah s.w.t. berfirman:

إِنَّ اللهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَ يَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. an-Nisā’ [4]: 48).

Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa orang yang mati dalam keadaan belum bertaubat dan membawa kesyirikan. Allah mengampuni dosa selain syirik kepada siapa pun yang Ia kehendaki. Oleh karena itu, kami (Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah) tidak akan mengafirkan pelaku dosa besar maupun dosa kecil. (2145).

Jika ada ayat al-Qur’ān atau Hadits yang menjelaskan tentang kekufuran orang yang berzina atau orang yang membunuh orang mu’min maka harus dita’wil. Sebagaimana hadits:

لَا يَزْنِي الزَّانِيْ حِيْنَ يَزْنِيْ وَ هُوَ مُؤْمِنٌ.

Tidaklah seorang pezina melakukan zina ketika ia berzina, sedangkan ia beriman.”

Maksudnya, seorang mu’min yang melakukan zina, imannya menjadi tidak sempurna. Lafazh (لَا يَزْنِي) disebut syubhu nafi, menafikan kalimat setelahnya.

Begitu pula ayat:

وَ مَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُّتَعَمِّدًا فَجَزَآؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيْهَا

Dan barang siapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya.” (QS. an-Nisā’ [4]: 93).

Maka lafazh “muta‘ammidan” adalah “dengan meyakini kehalalan membunuh”. Orang seperti itu akan kekal di dalam neraka.

Berbeda dengan kaum Mu‘tazilah yang meyakini bahwa pelaku dosa besar sudah keluar dari keimanan, tapi tidak kufur kecuali jika meyakini kehalalan sesuatu yang diharamkan oleh syara‘. (2156).

Catatan:

  1. 210). Kata Auliyā’ merupakan bentuk jama‘ dari kata Walī. Yaitu orang yang ma‘rifat billāh yang istiqāmah melaksanakan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan. (Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfat-ul-Murīdi ‘alā Jauhar-it-Tauḥīd, taḥqīq: Dr. ‘Alī Jum‘ah, Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 253).
  2. 211). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 305.
  3. 207). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 305.
  4. 208). Ibid. hal. 306
  5. 209). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 307-308.
  6. 215). Tuḥfat-ul-Murīd, hal. 308.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *