Surat-Surat Sang Sufi | Surat Pertama (5/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Ketakutan mereka akan tipu daya Allah bisa juga dipahami sebagai masalah intelektual. Yang jelas pertanyaan dan jawaban itu merupakan bentuk ucapan, dan itulah yang menjadikan masalah ini bisa dipahami. Jawaban kita tentang hadis ini tak lain adalah jawaban yang selalu diberikan berkenaan dengan kesulitan intelektual ini. Al-Ghazali membahas soal ini dan mengomentari hadis ini dengan mengemukakan hadis lain tentang doa Nabi saw. kepada Tuhannya pada waktu perang Badar: “Jika Engkau menghancurkan barisan pasukan ini, maka tak ada bakal satupun orang menyembah-Mu.” Beliau berdoa seperti ini dalam konteks janji pertolongan dan kemenangan kepada Allah Swt.261Maksud hadis ini adalah koleksi itu, dan komentar atasnya, sama dengan apa yang dikatakan tentang hadis pertama, kecuali bahwa dalam hadis pertama karakteristik kefakiran tampak lebih jelas.

Kisah Musa a.s. dan ketakutannya setelah memiliki keyakinan dan keimanan kuat, adalah variasi lain tentang tema pengetahuan transendensi, kalam, kehendak, dan ketentuan Allah Swt. serta tentang kebutuhan Musa akan Tuhannya, dan tentang kemuliaan kedudukannya.272 Inilah makna pernyataan Syaikh Abu Thalib “Musa tidak merasa aman” sampai kalimat “karena Musa memiliki pengetahuan mendalam tentang tipu daya tersembunyi-Nya dan sifat-sifat terselubung-Nya.” Pengamatan Abu Thalib” dan apapun pengetahuan-Nya tidak tunduk pada ketentuan apa pun” mengacu kepada keesaan Allah Swt. berkenaan dengan ketentuan sejauh yang dibawah ketentuan adalah sebentuk paksaan. Allahlah yang menang, namun, seandainya Dia tunduk pada ketentuan, maka dia akan menjadi yang diadili dan bakal menjadi yang dikalahkan. Tapi Allah jauh di atas semisal itu.

Maksud Allah yang kedua tidaklah seperti engkau bayangkan, memiliki pengertian seperti yang pertama. Yang kedua jelas meliputi salah satu rahasia Allah Swt. yang mengakibatkan timbulnya kedamaian, ketenangan, keyakinan dan tiadanya ketakutan dalam diri Musa. Ini menunjukkan kerahmanan dan kerahiman-Nya dalam menjalankan kehendak-Nya dalam diri Musa a.s.

Syaikh Abu Thalib memperhatikan ini ketika berkata: “Kemudian dia percaya pada zat yang tengah berbicara kepadanya,sekalipun dia mula-mula tidak bisa diam tenang, “Tidaklah engkau mengetahui bagaimana Allah Swt membawa Musa menuju pemahaman lebih dalam tentang tujuan-Nya guna membuat dia aman, dengan menggunakan sebuah kalimat yang subjeknya diberi tekanan dan dengan menambahkan kata sandang tertentu pada predikatnya – dalam bentuk superlatife dan sesudah subjek kata ganti yang ditegaskan? Begitu banyak perbedaan lahiriah antara kedua pernyataan itu.283

Begitu pula kisah Isa294 a.s. melukiskan transendensi pengetahuan dan kalam Allah, dan menunjukkan perilaku yang tepat dalam kedudukan itu yang tidak dapat dilukiskan oleh keindahan sastra dan paparan yang runtut teratur. Yang demikian itu diamanatkan kepada guru-guru yang dipilih Allah untuk menggunakannya. Karena itu, aku tidak akan mengulas lebih jauh soal ini; dan aku memohon ampun kepada Allah Swt. atas apa yang tak kulakukan. Sesungguhnya, tak ada seorangpun bisa benar-benar memahami kedudukan yang telah aku uraikan itu, kecuali orang-orang pilihan yang telah mengalaminya secara langsung. Aku pun benar-benar tak mampu memahaminya juga, seperti halnya orang lain.

(bersambung)

Catatan:

  1. Al-Ghazali selanjutnya mencantumkan jawaban Abu Bakr atas doa Nabi, dan kemudian menjelaskan makna hadits ini dan hubungannya dengan hadits tentang Muhammad dan Jibril: “Dan Abu Bakr berkata : Berhentilah merengek-rengek kepada Tuhanmu. Sungguh Dia akan mengabulkan bagimu yang demikian itu, karena Dia telah berjanji kepadamu.

    Sebab dia (Abu Bakr) berada di maqam ikhlas, kedudukan tergantung kepada janji Allah. Dan kedudukan Rasulullah adalah kedudukan takut kepada tipu daya Allah, dan itu lebih sempurna, karena yang demikian itu hanya bisa terjadi berkat kesempatan ‘pengetahuan’ mengenai rahasia-rahasia Allah dan segi-segi tersembunyi dari tindakan-tindakan-Nya dan makna sifat-sifat-Nya yang Dia ungkapan melalui Tindakan-tindakan semisal yang berasal darinya lewat perencanaan diam-diam” (FH 59;hadis itu juga ada dalam MM 1273 dan KL 122).

  2. “Kisah Musa” di sini mengacu kepada ketakutan sang Nabi ketika berhadapan dengan Fir’aun dan para ahli sihirnya. Versi Al-Ghazali berbunyi: “ . . . Dituturkan tentang Musa, bahwa ketika dia berkata: Sesungguhnya kami (Musa dan Harun) takut Dia akan mengabaikan kami dan lalai, Dia (Allah) berfirman: Janganlah takut sesungguhnya Aku bersama kalian berdua. Aku mendengar dan melihat (QS 20 : 46). Sekali pun begitu ketika tukang sihir melancarkan serangan-serangan mereka (QS 20 : 66), Musa gemetar ketakutan karena dia tidak merasa aman dari tipu muslihat Allah, dan merasa bingung tentang soal itu hingga rasa aman pun bersemi kembali dalam dirinya, dan dikatakan kepadanya (yang dirujuk oleh Ibn ‘Abbad sebagai “maksud kedua”): Janganlah takut sesungguhnya kamulah yang paling unggul (QS 20 : 68)” (FH 59).
  3. Tafsir gramatikal Ibn ‘Abbad tentang “maksud kedua” (QS 20:68) tidak bisa dipahami tanpa mengacu kepada teks Al-Qur’an: Innaka anta a’la. “Subjek empatik atau bertekanan adalah innaka anta-“Sesungguhnya kamu … “jelas bermaksud menjelaskan bahwa Allah membuat Musa tidak merasa ragu. “Predikat dalam bentuk superlative (secara harfiah: af’al)” dengan kata sandang tertentu (secara harfiah: “alif dan lam”) yang ditambahkan kepadanya, adalah ala’la, “yang paling unggul”. Bandingkan dengan Wright, A Grammar of the Arabic language, ii, hlm. 54C, 282B, dan 283B. Tentang tafsir Ja’far Al-Shadiq atas dua pertemuan Musa dengan Allah, lihat EC 178-183.
  4. “Kisah Isa” di sini mengacu kepada percakapannya dengan Allah dalam Al-Qur’an 5 : 116-18. Allah bertanya kepada Isa apakah dia telah memerintahkan manusia untuk memandang dirinya dan ibunya sebagai Tuhan. Isa menjawab bahwa dia telah menyuruh manusia hanya menyembah Allah, sebab manusia adalah hamba Allah. Al-Ghazali menjelaskan bahwa Isa “mengalihkan persoalan itu kepada kehendak (Allah) serta berlepas diri sepenuhnya dari memberi pernyataan berkenaan dengan pengetahuan tentang hal itu; sebab, dia sama sekali tidak punya kaitan apa-apa dengan persoalan itu, dengan sebab persoalan-persoalan itu berhubungan dengan kehendak (Allah) melalui suatu hubungan yang melampaui batas-batas segala sesuatu yang bisa dipahami dan lazim, sehingga tidaklah mungkin memberikan keputusan atas persoalan-persoalan itu dengan menggunakan analogi, dugaan, atau pendapat, secara a fortiori dengan verifikasi dan bukti, dan inilah yang dipahami oleh qalbu orang-orang arif” (FH 59). Dengan kata lain, Isa mengatakan sebagai kebenaran semua pengetahuan Allah, serta mengakui bahwa yang demikian itu tidaklah bisa diduga-duga.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *