Surat-Surat Sang Sufi | Surat Ketiga (6/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Dari Usamah Ibn Zayd, kita dapatkan riwayat ini: “Rasulullah Saw. melihat ke bawah dari salah sebuah benteng di Madinah dan bertanya,’Apakah engkau melihat apa yang aku lihat?’ Mereka menjawab, ‘Tidak.’ Lalu beliau berkata, ‘Aku melihat pertikaian di antara rumah-rumahmu, seperti hujan deras turun.’”1 Ucapan lain berbunyi, Percayalah kepadaku, bakal ada pertikaian, dan orang yang duduk lebih baik ketimbang orang yang berdiri, dan orang yang berdiri lebih baik ketimbang orang yang berjalan, dan orang yang berjalan lebih baik ketimbang orang yang berlari. Orang yang melihat perselisihan akan terpikat. Karena itu, orang yang bisa mencari tempat perlindungan hendaknya berlindung didalamnya.”Beliau juga berkata, “Tidak lama lagi milik terbaik seorang Muslim adalah domba yang dia gembalakan ke puncak gunung dan tempat-tempat turun hujan. Ketika itu dia akan lari dari perselisihan dan membawa serta agamanya.

Perhatikan hal ini berikut apa yang telah aku kutip dari Ibn Mas’ud mengenai orang-orang yang memisahkan diri. Di mana perbedaan antara berbagai zaman pun akan nampak dimatamu. Ibn Mas’ud mengatakan bahwa dizamannya “kejelasan telah lenyap didunia ini, dan hanya kekaburan dan keburaman saja yang tersisa, sehingga dewasa ini kematian menjadi anugerah bagi setiap Muslim.” Masih ada banyak lagi hadis tentang perpecahan.

Salah satu hadits itu bercerita bagaimana “akan datang suatu zaman ketika orang bakal tersesat dalam agama mereka, tapi mereka tidak menyadarinya. Orang akan bangun pagi sebagai orang religius, dan mengakhiri harinya tanpa mengetahui apa itu agama. Di zaman itu, kecerdasan banyak orang akan diambil. Yang pertama kali diambil adalah kerendahan hati, lalu keimanan, dan kemudian ketaqwaan kepada Allah.” Seseorang bertanya kepada Ibn Al-Mubarak apakah keadilan bakal terwujud setelah dua ratus tahun. Ibn Al-Mubarak menjawab, “Aku tengah membicarakan hal itu bersama Shamad Ibn Sulmah. Dia jadi gelisah serta berkata, ‘Jika engkau bisa sebelum dua ratus tahun itu, lakukanlah! Sebab pada zaman itu akan muncul pangeran-pangeran lancang, Menteri-menteri zalim, orang-orang istana tak setia, dan pembaca-pembaca Al-Qur’an jahat, yang pembicaraan mereka tercela dan yang oleh Allah dipandang sebagai orang-orang berbau busuk.’2

Nah, jika semuanya memang begitu di zaman mereka, tidakkah engkau percaya bahwa dewasa ini demikian juga keadaannya?  Di zaman-zaman ini, orang pandai mesti minta nasehat pada dirinya sendiri dan menghindari anak-anak suku bangsanya. Dia mesti menemukan sahabat sejati yang teguh dan menempuh jalan leluhur shaleh. Yang mencampakkan apa yang tidak sesuai dengan jalan kemajuan yang jelas, dan dengan meriwayatkan hadits-hadits dengan benar serta mengikuti cara hidup Nabi. Sebab, Allah Swt. mewajibkan pada zaman mana pun untuk mempertahankan agama (Islam – penerj.) dan melawan kaum ahli bid’ah. Allah Swt. membangkitkan dalam diri manusia suatu perasaan akan kebenaran-Nya dan dengan demikian membimbing mereka di sepanjang jalan-Nya.

Nabi Muhammad Saw. bersabda, Golongan yang meninggalkan jamaahku, berada dalam kesesatan, dan tak seorang pun yang menentang Jamaahku bakal merugikannya kecuali bila Allah mengizinkannya. Bicara tentang pengetahuan dan ulama, ‘Ali – semoga Allah meridhainya – berkata di akhir sebuah hadits yang diriwayatkan dari Kumail Ibn Ziyad Al-Thawil, “Ya Allah, jangan biarkan bumi ini kosong dari seseorang yang penuh perhatian pada hujjah-Mu di muka bumi, entah hujjah itu nampak dan dikenal atau tersembunyi dan tak di kenal. Agar hujjah dan bukti Allah tidak hilang. Di mana orang-orang seperti ini, dan berapa banyak jumlahnya? Jumlah mereka sedikit, tetapi kekuatan mereka besar. Allah menjaga hujjah-hujjah-Nya, sampai orang-orang yang merenungkan mengenalinya dan mematrikan citranya dalam qalbu-qalbu mereka. Lalu Dia menuntun mereka dalam ruh keyakinan. Mereka memandang ringan apa saja yang dianggap sukar oleh orang-orang yang hidup dalam kemewahan, dan mereka kenal betul apa yang orang-orang jahil terasing darinya. Di dunia ini, mereka hidup dalam raganya, tapi jiwa mereka asyik dengan alam tertinggi, inilah khalifah-khalifah Allah di muka bumi, yang menyeru manusia kepada agama-Nya dengan mengatakan ‘Lihat kesini! Lihat kesini!’ dengan harapan bahwa mereka akan melihat. Wahai Kumail, aku memohon ampunan Allah untuk kita berdua.”Akhirnya ‘Ali berkata, “Sekali pun orang-orang seperti ini berkurang jumlahnya, sampai hanya tinggal seorang, maka yang seorang itu pun akan merupakan jamaah.33

Diriwayatkan bahwa seseorang bertanya  kepada Ibn Al-Mubarak tentang apa yang diperlukan untuk membentuk majlis jama’ah. Dia menjawab, “Abu Bakar dan ‘Umar,” orang itu bertanya , “Tapi Abu Bakar dan ‘Umar sudah meninggal.” Kemudian dia, berkata, “Abu Hamzah Al-Sukri adalah majlis jama’ah,” Ketika menjelaskan makna istilah majlis atau jama’ah, Sufyan Al-Tsauri berkata, “Jika di puncak gunung ada seorang bijak bestari, maka dia adalah jamaah.” Ini membenarkan apa yang telah aku katakan.

Akan tetapi, aku telah melantur. Karena itu,baiklah aku kembali kepada pokok bahasanku. Segala yang aku bicarakan dalam surat ini mengacu kepada salah satu jenis bid’ah. Apa pun sebab-sebabnya, bid’ah menimbulkan perselisihan, kontroversi, skisma, dan perpecahan. Hal-hal seperti ini terjadi dikalangan orang-orang yang terlibat dalam pembicaraan sia-sia yang timbul akibat fanatisme mereka yang bersifat memecah-belah. Mereka mengetahui mana yang penipu dan mana orang yang bicara benar. Marilah kita analisis masalah ini lebih jauh. Perpecahan, dia antara penipu, timbul karena hasrat destruktif dan bujuk rayu setan. Penyebab perpecahan di kalangan orang-orang beriman adalah ketaatan mereka kepada syarat-syarat keimanan dan perintah-perintah yang mesti diikuti oleh kaum Muslim. Akan tetapi, di antara orang-orang beriman, terjadi penggolongan lantaran sebab-sebab yang berbeda, sepertinya misalnya dalam kasus perselisihan kaum sufi dan para faqih (ahli hukum Islam – penerj.) atas masalah-masalah hukum dan prinsip-prinsip hukum Wahyu. Hanya saja, perbedaan pendapat di kalangan mereka tentang masalah-masalah itu, adalah rahmat; sebab Allah, karena Rahmat-Nya, tidak ingin memaksa kita dalam praktik keimanan.

Perselisihan jenis terakhir ini terjadi di antara kelompok mulia sufi, tapi tidak mengandung rasa permusuhan dan kebencian. Sebab mereka semua mencari kebenaran dan menempuh jalan ketulusan. ‘Awn Ibn ‘Abd Allah berkata, “Sungguh indah ketika Sahabat-sahabat Nabi S.a.w. tidak merasa asing satu sama lain, sehingga manakala mereka bersatu-kata tentang sesuatu dan seseorang memisahkan diri dari sikap mereka, maka berarti dia telah meninggalkan Sunnah Nabi. Namun jika mereka mengemukakan berbagai pendapat, dan seseorang mengikuti salah satu pendapat mereka, maka orang itu tetap mengikuti Sunnah Nabi.”3 Rahasia dari hal itu adalah, seperti telah aku katakan, bahwa persoalannya terletak pada keadaan mengikuti pendapat yang mungkin, bukannya memaksa kesamaan.

Hal serupa juga bisa dikatakan tentang perbedaan pendapat di kalangan orang-orang yang mengerti tentang masalah-masalah esoteris atau batiniah yang berkaitan dengan kemajuan qalbu dan kedudukan pencinta dan yang dicinta. Ini sepenuhnya merupakan kontroversi berkenaan dengan hubungan antara Kebenaran Mistik dan variasi keadaan spiritual serta tingkat kepekaan individu. Masing-masing pendapat itu menyuarakan pengalaman mistik yang terjadi dalam konteks kapasitas tertentu seseorang. Kemampuan untuk melihat mana orang yang mengatakan kebenaran dan mana orang yang berkata dusta, sangat sulit dipahami.Orang yang meginginkan hal itu haruslah melipat gandakan usahanya untuk memenuhi aturan-aturan praktik keagamaan dan usahanya meneliti kehidupan dan hadits-hadits Nabi, agar memahami semuanya itu dalam qalbunya dan taklid buta, dengan cara mencari keberhasilan dan penegasan dari Tuhannya.

Sebelumnya aku telah memperingatkanmu agar hati-hati terhadap orang-orang yang mengamalkan bid’ah yang bertalian dengan rukun iman, ilmu lahiriah, dan batiniah, dan tindakan yang sama sekali bertentangan dengan Sunnah Nabi. Sesungguhnyalah, hal itu mencakup semua jenis bid’ah. Salah seorang ulama mengatakan, “Bersahabat dengan ahli bid’ah pada akhirnya menghilangkan cahaya qalbu dan perbuatan baik, sehingga dibenci oleh Allah dan jauh dari-Nya.” Sahl Ibn Abd Allah berkata, “Barangsiapa memperlakukan ahli bid’ah dengan lembut, berarti dia merusak indahnya jalan Nabi; dan barangsiapa memberikan senyuman kepada seorang ahli bid’ah, berarti dia kehilangan cahaya iman dalam kalbunya.”Seorang ulama lain berkata, “Tobat dari bid’ah tidak membawa keberhasilan; sebab sekalipun seseorang kemudian menemukan Sebagian Kebenaran, dia masih belum mengecap Kebenaran Mistik.”

Selain bid’ah dalam pengetahuan dan tindakan, yang banyak sekali jumlahnya, dan aku sebutkan dalam uraianku tentang bid’ah, masih ada lagi lainnya. Yang meliputi keberatan, kelebihan-kelebihan, pemborosan, keras kepala – yang kesemuanya itu tercela dan semuanya itu bukan bagian dari Sunnah Nabi. Setelah satu-satunya golongan yang berhasil mengikuti Sunnah Nabi adalah golongan sufi ini, paling tidak sebelum diperkenalkannya hal-hal baru dikalangan mereka dalam waktu-waktu belakangan ini. Perhatian utama kaum sufi adalah hal-hal yang tidak ada dalam diri orang-orang yang terombang-ambing dalam kesesatan, yakni berjuang melawan jiwa rendah agar tercegah dari mengikuti hawa nafsu, dan membebaskan diri sepenuhnya dari dunia ini. Tujuan mereka adalah memusatkan qalbu pada Tuhan dan tenggelam dalam pengalaman dan kedekatan dengan-Nya.

Tujuan ini meliputi semua kewajiban agama, peringkat (maqam) orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam (makrifat) dan keyakinan, serta keadaan spiritual mereka vis-à-vis Sunnah Nabi. Peringkat mulia mereka diperoleh karena mereka memegang teguh perilaku yang ditetapkan Hukum Wahyu. Tak ada seorang adil pun yang bisa mencurigai bahwa mereka tidak lagi mentaati Sunnah Nabi sebagai tujuan paling mulia mereka. Meskipun demikian, mereka di hukum lantaran hal itu, padahal sesungguhnya mereka itulah yang disebut-sebut Nabi Muhammad Saw. ketika beliau berkata, “Sesungguhnya Allah Swt. mempunyai beberapa orang hamba yang menjadi kurus dan yang oleh Allah dijadikan sehat dengan rahmat-Nya, serta disejahterakan oleh-Nya. Manakala mereka meninggal dunia, Dia memasukkan mereka ke dalam surga-Nya.Mereka itulah orang-orang yang berbagai perselisihan menimpa mereka seperti kegelapan malam, namun mereka selamat.”

(bersambung)

Catatan:

  1. Usamah Ibn Zayid (kira-kira 614 – 668 M) adalah salah seorang hamba sahaya yang dimerdekakan Nabi, dan seorang periwayat hadis yang penting (SM 56). Hadis dalam MM 1123, SM 1495, SB 9 : 148 – 149.
  2. Saya tidak mendapatkan informasi tentang Shamad Ibn Sulmah. “Berbau busuk di sini” adalah terjemahan dari kata yang agak khas, al-antan, yang tidak saya temukan untuknya makna lain yang masuk akal dalam konteks ini.
  3. ‘Awn adalah seorang ahli hadis yang meriwayatkan banyak hadis yang berasal dari Ibn Mas’ud.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *