Surat-Surat Sang Sufi | Surat Ketiga (3/7)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Syurayh berkata, “Sunnah Nabi lebih utama ketimbang penalaran analogis. Ikutilah Sunnah dan jangan menjadi kaum ahli bid’ah serta jangan menyimpang dari sunnah yang telah engkau terima.”1

Sya’bi berkata, “Jika engkau mengemukakan keberatan terhadap sikap tentang alam kematian, engkau bakal menghancurkannya.”2 Seseorang bertanya kepada Malik tentang suatu masalah, dan Malik menjawab, “Rasulullah Saw. berkata begini dan begitu.” Lalu orang itu bertanya, “Apakah pendapatmu juga demikian?” Malik menjawab, “Hendaknya mereka yang tidak setuju dengan apa yang dilakukan Nabi berhati-hati agar mereka tak berselisih, atau azab neraka menimpa mereka.”3 Abu Sufyan Al-Tsauri berkata, “Iblis lebih menyukai bid’ah ketimbang keingkaran terang-terangan. Sebab orang bisa bertobat dari keingkaran, tapi tidak bisa bertobat dari bid’ah.”4

Banyak ucapan dan hadits yang menyinggung soal ini. Bid’ah bermakna usaha menambah-nambahkan pada, atau mengemukakan argument bertentangan dengan, kebenaran yang diajarkan Rasulullah Saw. dengan mengklaim bahwa bid’ah adalah jalan lurus dalam bidang fatwa berkenaan dengan benar atau salahnya pengetahuan atau tindakan. Variasinya tak terhingga. Aku telah menyebutkan beberapa saja di antaranya disini, sebab tidak ada gunanya berpanjang lebar tentang hal itu. Akan tetapi, lewat contoh sejarah konkret, aku kemukakan berikut ini:

Allah Swt. mengutus Muhammad Saw. sebagai Rasul bagi segenap umat manusia, dan sebagai pembimbing mereka menuju alam kedamaian. Di zaman pra-Islam,5 hiduplah orang-orang jahil dan orang-orang jahat sesat yang bersilang pendapat, dan bermacam-macam keinginan serta hasrat mereka. Pikiran mereka mendorong pola perilaku mereka yang sembrono. Karena pikiran mereka seperti itu, mereka hanya menyembah batu, matahari, dan bulan. Akan tetapi Allah Swt. berlaku baik kepada mereka. Dia mengutus kepada mereka seorang Rasul dari kalangan mereka. Rasul itu adalah orang yang paling utama, paling baik diantara mereka, dan Allah memberinya sifat-sifat kesempurnaan dan akhlak luhur. Allah menganugerahinya karunia-karunia mulia dan berbagai perintah.

Dalam diri dan sifat-sifat Nabi dijumpai tanda yang cemerlang dan kewibawaan yang luar biasa, sehingga api kesalahan pun padam manakala api cahaya Nabi terbit. Jejak-jejak kejahilan sebelumnya pun terhapus, manakala bekas-bekas jejak kakinya muncul, dan perselisihan pun terhenti. Itulah saat penuh kerukunan dan kedamaian, ketika orang-orang seiman menjadi bersaudara dan bersama-sama dalam mematuhi dan mentaati Tuhan Alam Semesta. Mereka jual jiwa mereka kepada zat yang memiliki dan membebaskan mereka. Mereka puas hidup tanpa tujuan dan nilai duniawi ini. Mereka bahagia dalam ikrar kesetiaan dan berkata: “Kami telah beroleh nikmat-nikmat tak terkira dan tak terlukiskan nilainya.” Mereka menganggap persahabatan dengan Rasul-Nya sebagai kekayaan tak ternilai dan benteng pertahanan paling kuat. Karena kecintaan mereka kepada Rasul-Nya, mereka jaga persahabatan mereka dengan segenap kehidupan mereka. Qalbu mereka hanya tertuju kepadanya, sehingga mereka lebih mengutamakannya di atas segala sesuatu lainnya.6 Orang dewasa dan anak-anak tunduk pasrah pada keridhaannya dan berikrar setia kepadanya, sekalipun harus menanggung derita kematian, serta bersatu memuji dan memuliakan Nabi. “Sungguh orang-orang yang berikrar setia kepadamu sebenarnya berikrar setia kepada Allah, “(QS 48 : 10). Itulah saat yang mulia, luhur, dan agung; dan aku tak mampu berbicara lebih banyak lagi tentang kemuliaan dan keluhuran amal serta keadaan spiritual mereka.

Semua yang telah kukatakan sejauh ini, ditegaskan didalam ayat-ayat Al-Qur’an yang mewariskan kepada kita agama orang-orang berakal dan bijaksana. Singkat kata, mereka bersatu-kata dalam beribadah kepada Tuhan mereka, serta bersatu-padu dalam mencari pertolongan dan pembelaan pada kalam Allah Swt. sebab Allah Swt. mempersatukan mereka dalam kepatuhan pada satu hukum agama, agar mereka saling mengenal satu sama lain melalui ketaatan bersama kepada hukum itu, dan agar mereka menjadi satu diri. Allah Swt. berfirman, Sesungguhnya orang mukmin itu bersaudara, (QS 49 : 10). Juga, orang-orang mukmin-laki dan perempuan-adalah pelindung satu sama lain,(QS 9 : 71). Karena itu, Nabi Saw. mewajibkan bersatu padu dan melarang keingkaran. Sebuah hadis sahih mengatakan, “Manakala seseorang menyaksikan pemimpinnya melakukan sesuatu yang tidak disukainya, hendaklah dia bersabar; sebab barangsiapa yang memisahkan diri barang sejengkal pun dari Jamaah, dan mati dalam keadaan itu, maka ia mati jahiliah.”7

(bersambung)

Catatan:

  1. Syurayh adalah agaknya-hakim semi legenda dari Kufah, yang meninggal sekitar 700 M. (Bandingkan Schacht, op cit., hl. 228-229; dan An Introduction to Islamic Law [Oxford, 1964], hlm. 24.)
  2. Sya’bi (wafat kira-kira 728 M) adalah seorang ahli hadits terkemuka pada zamannya di Kufah (Schacht, Origins, 230 – 231).
  3. Malik Ibn Annas (715-795 M), seorang ahli hadis dari Madinah, adalah pendiri mazhab Maliki, yang dianut oleh Ibn ‘Abbad (IN 493 – 498).
  4. Sufyan Al-Tsawri (715-775 M) adalah seorang ahli hadis yang dilahirkan di Kufah, dan meninggal di Bashrah. Sumber hadits yang sangat sering dikutip (IN 443 – 444, 545 – 546).
  5. “Zaman pra-Islam” adalah terjemahan dari jahiliyyah, zaman paganism atau “kebodohan”.
  6. “Segala sesuatu lainnya” adalah upaya menerjemahkan frase yang tampaknya idiomatik dan penuh teka-teki, as-sabad wal-labad. Tampaknya frasa itu sedara harfiah  berarti sesuatu seperti “bulu domba”.
  7. “Kematian seorang pagan” adalah terjemahan dari apa yang secara harfiah adalah “kematian jahiliyah”. MM 781; SM 1030; SB 9 : 145-146.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *