Surat-Surat Sang Sufi | Surat Kelima

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

SURAT KELIMA

 

 Kepada Muhammad Ibn Adibah (Ajibah-ed). Surat untuk menghibur hati seorang sahabat yang dirundung kegelisahan karena keberatan-keberatan seseorang terhadap surat-surat sahabatnya.

 Segala puji bagi Allah semata.

Kusampaikan salam hangatku kepadamu. Aku memandang perlu menulis surat kepadamu. Karena aku mengetahui kesusahanmu akibat apa yang telah dikatakan Zayd atau ‘Amr1 tentang isi surat yang aku tulis kepadamu beberapa waktu yang lalu. Kuhimpun segala sesuatu yang sangat memberatkan dan menyusahkanmu.

Aku ingin agar engkau mengetahui bahwa aku berani mengemukakan penjelasan tentang kebenaran dan kesalahan itu. Karena aku menyadari benar bahwa aku membuka diriku bagi cercaan dan kecaman para kritikus. Yang demikian itu sama sekali tidak menghalangiku, sebab aku melakukannya dengan niat tulus, dan kecaman dan tantangan orang, sesungguhnya telah terpedaya. Aku sendiri tidak takut pada jenis kritikan yang akan tertolak dengan sendirinya itu. Akan tetapi, aku takut pada orang yang memutarbalikkan makna yang kumaksud dan tak mampu memahami makna hakikinya. Aku yakin bahwa apa yang aku tulis tentang soal itu sudah jelas dan benar, tanpa pernyataan berlebih-lebihan, dan bahwa aku menghindari sikap kasar. Sebab yang demikian itu tidak bakal menuntun pada pemahaman.

As-Syafi’i dengan tepat mengatakan bahwa ketika menasihati salah seorang sahabatnya, “Aku hanya akan berbicara tentang kebenaran kepadamu. Betapapun juga, tak ada jalan untuk menyelamatkan diri dari masyarakat; karenanya, aku akan mengingat apa yang menjadi perhatian utamamu dan kemudian membebankan hal itu kepadamu sebagai kewajiban.”2 Seorang bijak mengatakan, “Masyarakat umum bisa menjadi siksaan yang jauh lebih hebat ketimbang tujuh dosa atau ular berbisa sekalipun. Orang masih menghindari yang terakhir ini, tapi dia tidak bakal bisa sepenuhnya menjauhkan diri dari masyarakat.”

Karena itu, Allah menganugerahkan kepada kita ketenangan yang bisa menyegarkan qalbu dan jiwa, dan kedamaian yang memancarkan kecermelangan fajar.

Dan kedua anugerah itu kita tidak usah mempedulikan orang-orang yang melontarkan halilintar dan guntur kepada kita, dan kita tidak begitu masygul dengan siapa yang berdiri atau duduk. Sebaliknya, kita jadikan semuanya itu sebagai sebab untuk merenung. Sarana untuk mengingat, alasan untuk lebih banyak memuji Allah Swt., yang memang layak dan pantas beroleh pujian. Seorang bijak mengatakan, “Barangsiapa melihat orang dengan matanya sendiri, maka dia bakal terlibat sengketa berkepanjangan dengan mereka; barangsiapa melihat mereka dengan mata Allah, maka dia akan memaafkan mereka.

Karena itu kita mesti menelusuri daftar orang-orang yang menempuh jalan sufi yang telah dikecam dan dituduh sesat dan menyimpang, serta memperhatikan perilaku mereka. Mereka adalah orang-orang terpilih di antara para wali, terbiasa dengan cobaan dan kesengsaraan, karena menerima anugerah yang begitu banyak sehingga tidak bisa diukur dan atas anugerah seperti itu rasa terima kasih belumlah memadai. Akan tetapi, anugerah itu tidak mengurangi sedikit pun integritas keadaan spiritual mereka. Tak seorang pun bisa memungkiri mereka, kecuali barangkali dengan menahan airmatanya, “Mana bisa aku menjadi seperti itu, mengingat aku adalah aku? Bisakah orang sepertiku mencapai kedudukan yang begitu mulia?”

Meskipun begitu, aku senang bahwa nafsu telah diambil dariku, dan aku terbebas darinya; ia tak lagi menguasai diriku.

Ditengah-tengah cobaan spiritual yang membuat kepala tertunduk, janganlah kita jadi bingung karena apa yang terjadi di sekeliling kita, atau cemas apakah itu mudharat dan manfaat.

Inilah yang ingin aku jelaskan kepadamu guna mengobati kalbumu dan menenangkan pikiranmu. Aku lebih suka melakukan hal itu dengan cara begini, ketimbang tidak menyebutkan dalam surat ini apa yang telah aku tuliskan kepadamu sebelumnya. Atau menyarankan agar hal itu dirahasiakan. Jangan biarkan hal itu membuatmu takut atau menyusahkan dirimu. Baiklah, aku percayakan kepadamu nasihat yang telah aku berikan kepadamu dalam suratku sebelumnya dan menegaskan ikrar-dukungan yang dinyatakan secara tidak langsung. Kita memohon kepada Allah Swt. agar Dia memberi keberhasilan melalui keridhaan-Nya. Semoga Dia menghimpun berbagai hasrat dan keinginan kita dalam pengabdian penuh kesalehan di hadapan-Nya. Sebab Dia adalah Raja Yang Maha Pemurah, Abadi, dan Pengasih.[*]

Catatan:

  1. “Zayd atau ‘Amr” adalah gaya bahasa arab dalam mengungkapkan “Si Ujang” atau “Si Anu.”
  2. As-Syafi’i (767 – 820 M) adalah salah seorang faqih paling berpengaruh dalam pembentukan hukum Islam. Satu dari empat madzhab yang ada berkaitan dengan namanya, dan Schacht memandangnya sebagai puncak capaian hukum Islam (Origins, 315ff., 324ff., dan passim)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *