Surat-Surat Sang Sufi | Surat Keenam (2/10)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Jika, sebaliknya orang itu tidak memiliki tekad dalam menyucikan dan pembersihan (qalbu- penerj.) yang aku tengah bicarakan, atau memandang hal ini tidak penting bagi dirinya, dan jika dia tidak memiliki kesehatan fisik yang baik serta keuangan yang cukup, maka dia berdosa menunaikan ibadah haji.

Itu disebabkan keterasingan dari dasar-dasarnya, belum lagi kebaikan-kebaikan dalam keadaan spiritual yang telah aku uraikan sebagai prasyarat ibadah haji. Kecenderungan kuat hawa nafsu adalah halangan lain. Andaikanlah misalnya, orang mempunyai kekuatan fisik yang baik, bekal yang diperlukan untuk mencegah kelelahan dan untuk memenuhi keinginannya. Andaikan lagi bahwa keinginan untuk melakukan perjalanan begitu kuat, sehingga selalu menggelora, sekali pun terbuka kemungkinan untuk membebaskan dirinya dari menunaikan ibadah haji dan memperoleh ganjaran yang sama dengan cara menahan diri dari melakukan perjalanan.

Dalam hal itu, akan lebih baik baginya tidak jadi pergi, karena dua alasan: kekuatan kecenderungan alaminya; dan resiko kehilangan manfaat-manfaat yang akan diperolehnya kalau tetap tinggal di rumah, mengingat dia tidak yakin bisa mencapai dalam perjalanannya, terutama karena tiadanya jalan yang aman.

Akan tetapi, bagaimana kalau orang hampir tak mempunyai keinginan untuk menunaikan ibadah haji, dan motifnya bepergian semata-mata untuk memenuhi satu syarat? Jika ada kecenderungan dan keinginanan untuk menunaikan ibadah haji, maka kepergiannya untuk ibadah haji akan sangat terpuji. Keinginannya memang lemah, tapi kuat harapannya untuk mencapai tujuan, dengan kesehatan fisik dan bekal yang cukup kuat, khususnya jika dia harus bergabung selama perjalanan itu dengan saudara-saudara yang saleh dan sahabat-sahabat yang menyenangkan, dan jika dia bisa melakukan perjalanan lewat jalan yang lazim.

Semua yang telah aku bicarakan sejauh ini berlaku pada orang yang belum pernah menunaikan ibadah haji.

Sekarang perhatikan kasus seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji. Jika orang itu awam, yang sikapnya pada amal saleh dan amal ibadah sama dengan sikap yang telah aku paparkan sebelumnya, maka ada beberapa alasan mengapa kepergiannya menunaikan ibadah haji akan tercela. Alasan-alasan itu mencakup kecenderungan hawa nafsunya, resiko tidak dapat mencapai tujuan yang diharapkan, dan ketidakpastiannya mengenai kemungkinan keinginanannya dan mengenai keselamatannya dari berbagai bahaya yang mungkin ditemuinya. Seandainya dia tetap di rumah situasinya akan berbeda dari situasi yang aku uraikan sebelumnya.

Maka kepergiannya menunaikan ibadah haji barangkali cenderung lebih tercela, karena kecenderungan hawa nafsunya itu kuat dan dia akan menanggung resiko melemahkan kewajiban agamanya atau terjerumus ke dalam dosa dalam perjalanannya. Akan tetapi, mungkin saja perjalanannya patut dipuji, lantaran keinginannya untuk turut serta dalam amal ibadah tertentu, sekalipun kecenderungan itu tidak begitu dihargai. Di sini aku mengandaikan dia terbebas dari berbagai halangan tersebut di atas; tetapi jika dia benar-benar mengetahui tidak terbebas darinya, maka menunaikan ibadah haji pasti akan berdosa, sebab tak ada sesuatu pun yang sama pentingnya dengan keterbebasan itu.

Jika orang yang bersangkutan itu terdidik dalam soal-soal agama, maka ibadah hajinya itu tercela mengakibatkan hilangnya keadaan spiritual amat baik yang sudah diperolehnya, dan kekurangan kata-kata serta amal-amal yang menyertai keadaan itu. Ini semua membutuhkan kehampaan hati, keikhlasan, dan kesucian niat, yang semuanya ini akan menurun kadarnya karena perjalanan panjang ini.

Aku menganggap  sifat-sifat yang baru saja kusebutkan itu lebih panjang ketimbang amalan-amalan sunnah yang dikerjakan dalam ibadah haji, sebab yang pertama merupakan soal-soal dan amalan hakiki yang memperbaiki amal ibadah seseorang. Kesemuanya itu penting bagi orang yang menempuh jalan ketulusan dan mengakui Keesaan Ilahi (Tawhid), dan menaikkan seseorang ke kedudukan orang-orang terpilih. Tak ada amalan-amalan sunnah dalam ibadah yang bisa menyamai amalan-amalan qalbu ini, dan tak ada amalan-amalan saleh bisa menggantikannya.

Jika orang seperti itu menunaikan ibadah haji tanpa ketulusan, maka dia lebih layak dicela ketimbang dipuji. Kecenderungan alami terhadap ibadah haji, berikut pemenuhan kehendak hawa nafsu dan tujuan-tujuannya, menunjukkan adanya ketidaktulusan. Dalam hal ini hawa nafsu ingin memenuhi tujuan-tujuannya melalui amal-amal ibadah yang dikerjakan orang itu dalam perjalanannya. Kesemuanya ini antara meliputi: bertemu dengan ulama dan orang yang terkenal dengan kesalehannya, mengambil manfaat dari pengetahuan mereka, memohon berkah dan doa dari mereka, melayani sahabat dan teman, mendapatkan kebaikan dari upaya seseorang, mengamati suasana kota-kota dan gurun pasir yang dilalui, mengerjakan banyak amal ritual dan kewajiban ibadah haji dengan penuh kegembiraan. Niat sejati jenis ibadah haji ini tetap merupakan keinginan yang tak tersembunyi untuk melihat negeri-negeri asing, mengalami hal-hal baru seperti bertemu orang-orang alim dan hamba-hamba Allah, terbebas dari kesusahan di rumah, dan terbebas dari kesibukan-kesibukan urusan duniawi.

Tanda yang menunjukkan seseorang yang terpedaya adalah bahwa dia merasa bisa melakukan banyak amal saleh ini, dan yang juga lebih penting, walaupun tetap tinggal di rumah; tetapi ketika dia berada di rumah, dia tidak memperhatikannya dan sama sekali tak tertarik lagi kepadanya.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *