Surat-Surat Sang Sufi | Surat Kedua (7/8)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Manfaat lain dari cahaya itu adalah pengetahuan mendalam sang hamba tentang kekuatan jiwa rendahnya (nafsunya-ed.). Pengetahuan itu membuat semua perilaku congkak dan sombong, entah dalam hubungan dengan Tuhan atau dengan sesama hamba Tuhan. Dengan demikian, sang hamba mempunyai sifat rendah hati, halus, lemah lembut, patuh dan ridha kepada Allah, dan kasih sayang, tidak suka menyakiti orang lain, toleransi saling mengingatkan sesama muslim dengan tulus, mencintai apa yang baik bagi mereka dan membuat mereka bahagia. Singkat kata, sang hamba memimpin dirinya sendiri dengan benar di hadapan Allah Swt. dengan harapan meningkatkan segenap anugerah dari-Nya dan mengurangi kesombongan perilaku dan kebanggaan dirinya. Disadarinya bahwa hanya rahmat dan kebaikan Allah sajalah yang bisa membantu dia, dan satu-satunya tempat pelindung bagi dirinya adalah rahmat dan kebaikan-Nya.

Memohon ampunan Allah dan menerima maaf-Nya adalah keinginan paling utama seorang hamba. Seperti kata seseorang, “Perhatian seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam terpusat hanya pada meminta ampunan.”1 Tentang orang-orang yang sangat ridha kepada-Nya, Allah Swt. berfirman, “banyak Nabi bersama dengan sejumlah besar  orang bertakwa berperang. Mereka tidak menjadi lemah lantaran apa yang menimpa diri mereka di Jalan Allah, tidak lesu dan tidak menyerah. Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar,” (QS 3 : 146). Selanjutnya, dia mengatakan, “Dan yang harus mereka katakan adalah: “Ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosa kami dan berbagai tindakan berlebihan kami,’” (QS 3 : 147).

Dituturkan dalam sebuah kisah tentang bagaimana Ibn Al-Mubarak mendatangi beberapa sahabatnya pada suatu hari dan berkata, “Kemaren aku berlaku lancang kepada Allah SWT. Aku meminta surga kepada-Nya.”2Begitulah keadaan spiritual yang baik dari orang-orang seperti ini, dan sifat-sifat mulia mereka. Allah menghendaki agar kita beroleh manfaat karena menginginkan keadaan dan sifat serupa.

Karena berkah yang aku uraikan itu adalah milikmu, mengapa engkau tidak mengambil manfaat darinya? Mengapa engkau menipu dirimu sendiri tentang semuanya itu, membuang-buang waktu berhargamu dengan menduga-duga Tuhan dan meremehkan apa yang Dia inginkan untukmu, hingga akhirnya engkau berada dalam kondisi yang telah engkau uraikan? Ibn ‘Athaillah berkata, “Orang yang pada saat tertentu menginginkan agar terjadi sesuatu selain apa yang telah ditampakkan Allah saat itu, berarti berpegang kuat pada kebodohan.3

Karenanya, isilah ingatanmu dengan pikiran-pikiran tentang kekuatan dan kekuasaan Allah. Jadikan caramu memohon ampun sedemikian rupa, sehingga menghilangkan sisa-sisa kotoran yang telah merasuk ke dalam jiwamu, sebagaimana engkau banyak berdoa seperti dilakukan oleh utusan Allah, Yunus a.s., di dalam kegelapan, “Tidak ada Tuhan selain Engkau. Mahasuci Engkau. Sungguh aku termasuk orang yang dzalim,” (QS 21 : 87 – 88). Lalu Allah Swt. berfirman, “Maka kami kabulkan doanya, dan menyelamatkannya dari kedukaan. Dan demikian Kami meyelamatkan orang beriman, (QS 21 : 87-88). Salah seorang ulama berkata, “Setiap orang beriman yang berdoa seperti Dzun Nun, sesuai dengan firman-Nya, ‘Demikianlah Kami menyelamatkan orang-orang beriman. 4

 Sejauh ini kita telah mengkaji sampai dimana dosa dan keingkaran dalam keadaan spiritualmu. Kini, aku beralih pada kesalahan yang engkau sebutkan, seperti rongrongan hawa nafsu di saat timbul godaan; kegelisahan yang timbul dan berbagai serbuan godaan, kesusahan, dan kegagalan serta tiadanya kesabaran. Semua itu adalah kelemahan-kelemahan yang ada di dalam kemanusiaanmu dan berakar kuat di dalam watak alamiah. Itu semuanya tidak usah disalahkan. Sesungguhnya, dalam keadaan-keadaan tertentu, kelemahan-kelemahan itu memiliki nilai positif selama sang hamba mengakui berbagai kelemahan, kekurangan, kerendahan, kefakiran, dan kebutuhannya. Seperti dikatakan oleh Ibn ‘Athaillah, “Saat terbaikmu adalah saat ketika engkau melihat dengan jelas hakikat kefakiranmu, dan engkau pun lalu pasrah.” Dia juga mengatakan, “Ketika saat-saat sulit datang, para “pencari” menikmati hari perayaan,” sebab mereka mungkin menemukan keberlimpahan di waktu-waktu yang tidak mereka temukan di dalam puasa dan shalat, itulah cara Allah SWT menguji beberapa orang pilihannya.

Sebuah kisah bercerita bagaimana – ketika Abu ‘Utsman Al-Hiri bersama dengan gurunya, Abu Hafsh – dia mengulurkan tangan untuk mengambil kismis. Abu Hafsh memegang kerongkongannya dan mencoba mengocok kismis itu agar keluar darinya. Ketika Abu Hafsh sudah tenang, Abu ‘Utsman berkata, “Wahai guru, aku tahu bahwa hal-hal duniawi ini tidak berarti dalam pandanganmu; karena itu bagaimana engkau begitu marah kepadaku soal kismis itu?” Abu Hafsh menjawab, “Engkau bodoh karena telah menaruh kepercayaan pada qalbu yang tidak diperintah oleh tuannya.5

Orang lain berkata, “Aku pernah bepergian bersama Al-Khawashsh. Kami berhenti untuk berkemah di bawah sebatang pohon. Kemudian datang seekor singa serta berbaring di situ untuk istirahat. Aku sangat takut. Lalu aku memanjat pohon itu dan berpegangan pada dahan itu sampai fajar tiba karena takut kepada singa itu.  Tetapi Al-Khawashsh tidak memperhatikan binatang buas itu. Malam berikutnya kami berhenti untuk beristirahat di sebuah masjid. Al-Khawashsh tertidur; tetapi ketika seekor kutu busuk melintasi wajahnya, dia menginjaknya. Aku berkata, “Sungguh aneh! Kemaren seekor singa tidak membuatmu tersentak ketakutan, malam ini engkau malah takut kepada seekor kutu busuk.” Dia menjawab, “Kemaren aku tidak sadar, malam ini aku kembali sadar. Itulah sebabnya aku takut.6

(bersambung)

Catatan:

  1. Ucapan serupa tentang tobat dinisbahkan, dalam KL 142, pada Ibn Al-Mubarak. Lihat catatan berikutnya.
  2. Ibn Al-Mubarak (736-797 M) adalah seorang zahid terkemuka, dan seorang ahli hadis dari Merw. Dia juga dikenal sebagai penyair dan ahli hukum. Anekdot ini terdapat dalam FH 89 (bandingkan IN 936 ; MSM 124-128).
  3. IAA 92-95, #16. Tentang arti penting “anak waktu” (ibn al-waqt), DS 80 menutip Junayd: “Tasawuf adalah memelihara waktu : yakni bahwa seseorang tidak memperhatikan apa yang berada diluar batas-batas dirinya, … dan hanya berhubungan dengan waktunya yang tepat.” “Waktu” disini mengacu pada kondisi aktual seseorang, dimana orang tersebut dengan kedudukan dan keadaan apa pun yang dia jumpai berada dalam dirinya. “Waktu” adalah juga terjemahan dari “sa’at”.
  4. Yunus adalah tokoh dalam Bibel, yang kisahnya dituturkan dalam Al-Qur’an (khususnya QS 37 : 139-148). Dia juga dipanggil Dzun Nun (yang berasal dari ikan). Doa ini juga menjadi bagian dari sebuah hadis (MM 484), yang digunakan sebagai contoh doa yang selalu manjur.
  5. Abu Utsman Al-Hiri (wafat 910 M) adalah salah pemimpin gerakan sufi di Nisyafur. Dia dilahirkan di Rayy, tapi kemudian mengunjungi Junayd di Baghdad, dan menjadi murid Abu Hafs Al-Haddad di Nisyapur (MDI 52-53; MSM 231-235). Abu Hafs (wafat 879M) menghabiskan hampir seluruh kehidupannya di Nisyapur, berkunjung ke Baghdad dan bertemu dengan Junayd serta Sybli di sana (MSM 192-198). IN 991 mengatakan bahwa dia adalah “seorang Persia yang berhubungan dengan kaum Mu’tazilah, tapi punya gagasan-gagasan orisinal.” Anekdot ini juga terdapat dalam DS 150.
  6. Ibrahim Al-Khawashsh (wafat 904 M) terkenal dengan pengembaraannya di padang pasir. Dia dilahirkan di Samarra, dan meninggal di Rayy. Dia adalah sahabat al-Junayd. Anekdot ini mirip dengan anekdot yang dituturkan dalam MSM 273. (Bandingkan MDI 119; MSM 272-276).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *