Surat-Surat Sang Sufi | Surat Kedua (5/8)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

(lanjutan)

Mungkin engkau akan mengatakan, “tetapi yang pasti itu hanya bisa memperkuat keadaan yang tak sesuai denganmu?” Dalam segala hal terserah pada Tuhanmu untuk mengemukakan keberatan kepadamu, apakah engkau mengetahui buktinya atau tidak. Beruntung benar, bahwa hak istimewa Tuhanmu jugalah yang membebaskan hamba-Nya dari tuduhan! Karena itu, jika engkau bisa menghindar dan menahan diri dari sebagian hal itu, maka yang demikian itu merupakan anugerah yang banyak, entah nasibmu berubah atau tidak. Sekalipun, ada perubahan, kondisimu yang tercipta oleh perubahan akan selalu lebih ringan, lebih mudah ditanggung ketimbang kondisi yang digantikannya. Karena itu, ambillah keuntungan dari perbedaan antara penilaian Allah tentang dirimu dan penilaianmu sendiri. Mungkin yang demkian itu merupakan langkah menahan diri dari menyalahkan dirimu sendiri. Setelah mempelajari rahasia ini, engkau tidak akan tenang menghadapi berbagai kesengsaraan atau sangat tercekam berbagai kecemasan; seperti telah aku anjurkan, hendaknya engkau memandangnya lebih sebagai anugerah.

“Tetapi,” orang boleh jadi berkeberatan, “ketiadaan perhatian moral atas hal semisal ini akan mengakibatkan berkurangnya kesedihan, yang pada gilirannya bakal menjurus pada pelanggarannya pada prinsip yang telah engkau letakkan, yaitu bahwa hal-hal yang mengganggu jiwa dan yang membuat resah dan gelisah qalbu itu lebih baik. Dengan kata lain, hal itu akan menjurus pada penolakan apa yang lebih baik, seperti telah engkau uraikan. Selanjutnya, ia akan menjurus pada peremehan terhadap ketidakpatuhan dan perbuatan dosa serta pada berkurangnya ketakutan dan penyesalan.”

Jawaban atas keberatan pertama adalah bahwa berkurangnya kesedihan dalam hal ini patut dipuji. Itu lebih baik ketimbang kondisi yang telah engkau gambarkan, sebab pengurangan ini mempunyai hasil-hasil yang bermanfaat; dan kerugian muncul lantaran tak mampu mengurangi kesedihan. Adapun manfaat positifnya, ia menyebabkan didapatnya karunia Allah, dan anugerah-anugerah khusus, serta terlihat berlimpahnya kemurahan Allah. Dengan demikian, seseorang pun terangkat ke kedudukan syukur dan ke sesuatu yang mendorong ke hal-hal serupa. Tak ada sesuatu pun yang menyamai hasil yang sangat menguntungkan ini.

Adapun bahaya karena tak mampu mengurangi kesedihan adalah bahwa seseorang menanggung resiko kerugian dalam satu dari dua cara jika dia terus-menerus berada dalam keadaan sedih yang makin memuncak, sehingga qalbu dan jiwanya disibukkan dengannya: Cara pertama adalah bahwa dia mungkin tergiring menuju keputus-asa-an dan kemurungan, dua macam keburukan paling berat. Yang kedua adalah bahwa keengganan meliputi dan menyakitkan pikirannya. Adalah penting melindungi dan mempertahankan akal dari serbuan keengganan, sebab akan memberikan dukungan pada sang musafir (-salik-ed.). Akal yang lemah bukanlah “sahabat” yang baik.

Dengan adanya jawabanku atas keberatan pertama, maka keberatan kedua – bahwa seseorang tergiring untuk memandang keingkaran dan perbuatan dosa sebagai tak berarti – pun runtuh. Keadaan pikiran yang aku anjurkan sesungguhnya jauh lebih mendorong ke sikap menahan diri dan tobat, kecenderungan dimana perenungan menuntun seseorang menuju kedudukan yang membuatnya bisa lebih cepat menghindarkan diri dari nafsunya.

Sikap itu memiliki kesamaan dengan kebahagian di hadapan Allah Swt. Kekaguman adalah kualitas yang dipupuk seorang hamba dengan menyadari jarak antara kekuasaan, keagungan serta kedaulatan tertinggi Tuhannya dengan kehinaan, kerendahan, dan kurangnya mematuhi Tuhannya. Aku tidak ragu barang sedikit pun, bahwa akibat mengagumi Allah Swt. ini, seorang hamba bisa menilai secara lebih akurat besarnya tingkat pembangkangan ketimbang yang bisa dia capai lewat ketakutannya kepada Tuhan.

Alasannya adalah bahwa dalam keadaan takut seseorang memusatkan perhatian hanya pada dirinya sendiri, dan pada bagaimana dia gagal mencapai tujuannya manakah dia jatuh dalam perbuatan dosa. Dalam keadaan kagum, sebaliknya, sang hamba melihat keagungan dan transendensi Tuhannya, dan kemudian berhati-hati kalau-kalau Tuhan melihat dia melakukan apa yang dibenci-Nya.

Ada sebuah ucapan, “Orang yang menghindari perbuatan dosa lantaran berhati-hati agar tak terkena hukuman-Nya, banyak jumlahnya. Tetapi orang yang berbuat demikian karena takut pada ketelitian dan kecermatan-Nya, sangat sedikit jumlahnya.” Sikap yang aku anjurkan berpusat pada apa yang dicari. Apa yang telah engkau uraikan merupakan gambaran sang pencari, dan, menurut pandangan kaum sufi, ada perbedaan besar antara keduanya.

(bersambung)

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *