Surat-Surat Sang Sufi | Surat Kedua (1/8)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

Inti suratmu bisa diringkaskan dalam tiga pernyataan: Pertama, bahwa engkau diliputi berbagai dosa dan kesalahan; Kedua, bahwa engkau tak mampu menghilangkannya atau mencegahnya agar tidak terjadi; dan Ketiga, bahwa engkau kemudian mengalami rasa malu dan kekacauan mental. Kedua yang terakhir ini sesungguhnya bisa menjadi yang pertama sebab ketidakmampuan menghindari dosa atau meninggalkan adalah kesalahan, seperti halnya akibat yang berupa kebingungan dan hilangnya sebagian keyakinan. Singkat kata, engkau adalah orang yang penuh berbagai kesalahan, seperti halnya akibat yang berupa kebingungan dan hilangnya sebagian keyakinan. Singkat kata, engkau adalah orang yang penuh dengan berbagai kesalahan.

Adalah penting bahwa engkau menelaah, dengan berbagai pandangan spiritual, kesalahan-kesalahan yang telah engkau katakan ini, baik secara langsung atau secara tersirat. Dengan kata lain, engkau jangan sekadar memandangnya secara dangkal, sebab nanti engkau bakal cenderung melebih-lebihkannya, dan dengan begitu menafsirkan cara hidupmu sebagai perilaku yang jahat dan bodoh. Engkau akan membayangkan kesalahan-kesalahan yang sesungguhnya tidak ada, dan melihat penyakit di dalam apa yang sesungguhnya adalah obat.

Pengetahuan mendalam sang hamba tentang keadaan spiritualnya dalam melihat mana kebaikan dan mana kejahatan, mana yang relatif baik dan mana yang relatif jahat, merupakan salah satu pengetahuan paling penting dan amat langka. Sekarang ini, pengetahuan seperti itu sedikit sekali dijumpai. Orang-orang yang oleh orang banyak dipandang memiliki pengetahuan mendalam seperti ini dalam bentuknya yang paling canggih-sesungguhnya berurusan dengan soal-soal hipotesis dan pengetahuan formal, yang sama sekali tidak berkaitan dengan “Kebenaran Mistik”. Dalam keadaan seperti itu, sang pencari hanya makin bertambah bingung dan terhina saja ketika dia melihat suasana.

Betapa memilukan tiadanya orang-orang yang menjadi mercusuar dan benteng pertahanan.

Awan hujan, kota-kota, karang-karang menjulang tinggi di lembah.

Betapa memilukan padamnya kedamaian dan ketenangan.

Bagi kita malam tak bakal berubah jadi siang, sampai nasib menapaki jalannya.

Kini qalbu hanyalah bara api, mata kita hanyalah segenap linangan air mata.1

Ada dua cara pendekatan dalam menelaah kesalahan-kesalahan yang engkau jelaskan itu. Pertama, adalah menganggap kesalahan-kesalahan itu sebagai sifat-sifat yang telah dimaksudkan dan diciptakan Allah dalam dirimu. Yang kedua, adalah memandangnya sebagai dinisbahkan kepadamu oleh Hukum Wahyu. Perkataan seseorang, “Semuanya itu dimaksudkan oleh-Nya, tapi tidak harus dinisbahkan kepada-Nya” menunjukkan dua pendekatan ini.2

Pendekatan pertama tidak menganggap pujian dan celaan berasal dari manusia. Allah Swt. sajalah yang harus dipuji. Engkau harus puas dengan ketentuan-Nya, dan tunduk pada keputusan dan kehendak-Nya. Singkirkan tentang keresahanmu tentang hal itu sekarang ini, dan arahkan perhatianmu pada apa yang harus engkau telaah.

Menurut sudut pandang kedua, kesalahan memang patut dicela. Engkau harus bertobat atas kesalahan dan merasa sedih serta menyesalinya. Jika engkau berhasil engkau akan beroleh ganjaran berlimpah berupa karunia abadi serta beroleh keridhaan Tuhanmu lantaran telah melakukan apa yang telah Dia perintahkan . Ini tidak berarti engkau mesti khawatir jika sakit atau kelelahan menimpamu selama terjadi berbagai peristiwa. Akan tetapi, jika engkau tidak cukup merasa menyesal, dan sifat kemanusianmu mengalahkan dirimu, serta nafasmu menguasaimu, maka segeralah, segeralah mencari perlindungan kepada Tuhanmu. Akui kelemahan dan kefakiranmu, serta mintalah karunia-Nya, dengan rendah hati dan penuh penyesalan menghadap keharibaan-Nya sebagai seseorang yang berada dalam kesulitan . Mesti begitu, janganlah menghadapi keadaan ini dengan cara seperti yang engkau katakan : “seakan-akan engkau mati tenggelam dalam gelombang, atau menjadi mangsa empuk binatang buas, atau menjadi seorang tawanan yang disiksa, atau seseorang yang dihukum mati.”

Setelah engkau memasuki keadaan tobat ini, bergembiralah, sebab engkau bakal mencapai kedudukan, begitu mulia, yang nilainya hanya diketahui para wali. Seseorang yang mencapai keadaan ini permintaannya berhak dikabulkan dan keinginannya dipenuhi. Janji harus dipenuhi demi keadilan, dan Allah Swt. tidak mengingkari Janji-Nya. Seorang alim yang berpandangan seperti ini sampai-sampai mengatakan bahwa seseorang yang memiliki keadaan itu tidak usah meminta orang lain agar mendoakannya. Dia mengatakan, “Terkabulnya doa terletak pada doanya sendiri, bukan pada orang lain.”

(bersambung)

Catatan:

  1. Nwiya mencatat (RS2 30) bahwa As Sya’rani menisbahkan bait-bait itu ke Al-Junayd (Thabaqah Al-Kubra [Kairo, 13555 H], jilid I, hlm, 74).
  2. Jelas ini mengacu pada gagasan iktisab. Menurut teolog Al-Asy’ari (wafat 935 M), Allah menciptakan semua perbuatan, dan perbuatan-perbuatan itu kemudian diperoleh orang yang bertanggung jawab secara moral. DS 30-32 meringkaskan pemahaman sufi tentang konsep itu : “Mereka sepakat bahwa setiap tarikan nafas yang mereka lakukan, setiap pandangan yang mereka buat, dan setiap gerakan yang mereka lakukan, adalah melalui kemampuan yang diciptakan Allah dalam diri mereka, dan kemampuan yang diciptakan untuk mereka bersamaan dengan perbuatan-perbuatan mereka…. Mereka sepakat bahwa mereka diamati perbuatan-perbuatan dan manfaat (iktisab) dalam artian yang sesungguhnya, yang untuk itu mereka diberi pahala atau dihukum… makna istilah ‘iktisab’ adalah, bahwa seseorang berbuat melalui kemampuan yang diciptakan (oleh Tuhan),”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *