Surat-Surat Sang Sufi | Pendahuluan (5/5)

Muhammad Ibn Abbad
Penerjemah : M.S. Nasrullah
Penyunting : Ilyas Hasan
Disunting ulang oleh M. Yudhie Haryono
Penerbit : Hikmah

Surat-Surat Ibn ‘Abbad

Ibn ‘Abbad bukanlah sufi ternama pertama yang menggunakan surat-menyurat sebagai salah satu cara utamanya untuk berkomunikasi. Abu Nashr Al-Sarraj (meninggal 998) menyimpan bagian-bagian dari surat-surat yang ditulis oleh sejumlah sufi kenamaan kepada orang-orang yang amat ahli di jalan sufi.67 Karena sebagian besar surat-surat itu ditulis untuk sufi-sufi ulung, maka isinya cenderung agak esoteris dan terlalu sensitif bagi masyarakat awam. Sebagian surat itu ditulis untuk kelompok-kelompok sufi. A.H. Abdel-Kaher telah menghimpun dan menerjemahkan beberapa surat Junayd, yang juga ditulis untuk sufi-sufi mapan dalam kehidupan spiritual.68

Dua sufi sangat terkenal lainnya menulis surat-surat yang berupa kategori kedua, surat-menyurat dengan pejabat-pejabat pemerintah. Dalam sebuah himpunan surat-surat Al-Ghazali, terlihat Al-Ghazali “menegur penguasa-penguasa Seljuq” dan menteri-menteri mereka agar jangan membiarkan korupsi, nepotisme, pilih-kasih, kezaliman dan penyuapan terjadi, yang merupakan penyakit utama masyarakat pada masa itu.”69

Sufi Persia, Jalal Al-Din Rumi (meninggal 1273) membina hubungan surat-menyurat dengan beberapa penguasa lokal di ibukota Seljuq Turki di Konya. Sekitar seratus lima puluh surat Rumi masih ada, meskipun belum diterjemahkan ke bahasa Inggris.70

Jenis ketiga korespondensi sufi adalah antara guru dan murid. Paul Jackson, S.J.-seorang misionaris-ed., baru-baru ini telah menerjemahkan Seratus Surat71 sufi India. Syarat Al-Din Maniri. Maniri menulis surat berbahasa Persia selama akhir abad ketigabelas dan awal abad keempatbelas. Bagian-bagian dari surat-surat Ibn ‘Al-‘Arif dan Syadzili itu juga bernada dan berkandungan non esoteris dan pada umumnya praktis.

Yang khas dalam korespondensi Ibn ‘Abbad adalah, bahwa disini kita mendapatkan dua koleksi lengkap surat-surat yang masih utuh yang dimaksudkan untuk menerangkan pokok-pokok spiritualitas sufi kepada individu-individu yang sedang berjuang mengatasi masalah-masalah pribadi. Dua koleksi ini mencakup lima puluh empat surat: tiga puluh delapan dalam “Koleksi Kecil” (RS), yang diterjemahkan di sini. Semuanya disusun antara sekitar 1365 dan 1375 dari Sale untuk sahabat-sahabat di Fez. Nwiya-seorang orientalis-ed. juga telah menerbitkan beberapa surat yang ditulis setelah 1375, sebagai lampiran pada kedua edisi koleksi kecilnya. Dia mengatakan bahwa surat-surat itu merupakan sumber istimewa sedemikian, sehingga “memberikan pengetahuan tentang Ibn ‘Abbad, yang lebih sempurna dibandingkan pengetahuan kita tentang sufi lainnya.”72

Tiga puluh delapan surat dalam koleksi besar barangkali ditulis selama dua atau dua setengah tahun, dari 1372 sampai 1374. Tiga puluh satu yang pertama ditujukan kepada Yahya Al-Sarraj. Kepada Yahya ini pula Ibn ‘Abbad menulis Surat ke-7 hingga ke-15 dalam terjemahan (buku tersaji di depan pembaca) ini. Terlihat jelas dari RS bahwa Yahya dan Ibn ‘Abbad memperkuat hubungan mereka, terutama selama Ibn ‘Abbad tinggal di Fez dari 1370 sampai 1372. Sebab pada sebuah surat dalam RS, Ibn ‘Abbad menunjukkan bahwa dia merasa tidak cukup kenal dengan korespondennya untuk membahas masalah-masalah tertentu yang sangat berbeda tentang hubungan mereka, meskipun memberikan lebih banyak informasi tentang Yahya ketimbang Ibn ‘Abbad.

Dari surat-surat berikutnya itu, kita dapat mengetahui upaya Yahya untuk mencari nafkah, dan krisis hati nuraninya berkaitan dengan apakah dia dapat menekuni ilmu eksoteris, seperti ilmu hadis, karena dekadensi umum banyak orang yang menekuni studi-studi seperti itu sudah sedemikian, sehingga Yahya hampir tidak dapat berharap akan memperoleh kebaikan dari studi-studi itu. Yahya cenderung ke solusi-solusi yang ekstrim, sehingga dia bahkan menjual kitab koleksi hadis Imam Malik miliknya, Al-Muwaththa’. Dia kemudian menyesal telah menjualnya. Akhirnya, Yahya tidak dapat menghindar dari pesona studi-studi hadis. Dua tahun setelah meninggal Ibn ‘Abbad, dia Menyusun sebuah ikhtisar tentang hadis-hadis yang telah disampaikan oleh Ibn ‘Abbad kepadanya.73

RS Ibn ‘Abbad juga mengandung informasi tentang macam-macam masalah yang menjadi perhatian para ahli di sekitar istana sultan. Tak sedemikian lagi Ibn ‘Abbad secara pribadi tidak memakai spekulasi seperti itu, sekali demikian dia mencoba menanggapi masalah-masalah yang para korespondennya meminta untuk memberikan penilaian bagi mereka. Paul Nwiya telah mengikhtisarkan beberapa masalah utama yang dibahas di sana.

Sebagian orang berdebat tentang apakah jiwa akan mengalami derita mendalam ketika meninggalkan dunia ini dan ketika melewati alam barzakh. Sebuah wilayah yang memisahkan dunia ini dari dunia ruh suci. Ibn ‘Abbad mengakui bahwa dia tidak memiliki jawaban yang jelas, namun dia menawarkan analogi dengan pendapat yang lazim dianut bahwa jiwa meninggalkan raga selama tidur-penderitaan itu merupakan sesuatu yang berhubungan dengan raga-maka begitu pula keadaannya ketika jiwa meninggalkan raga dan melewati alam barzakh.

Sebagian lagi mempertanyakan apakah wali dapat bertemu atau melihat malaikat. Ibn ‘Abbad mengatakan bahwa ini mungkin, karena sebagian percaya bahwa melihat atau bertemu Allah pun mungkin saja terjadi. Selanjutnya, beberapa Sahabat nabi melihat malaikat, meskipun mereka tidak melhatnya “dalam bentuk yang asli”; dan karena semua muslim juga mendapatkan berkah Nabi, seperti yang didapat para Sahabat itu, maka secara teori tentunya hak istimewa itu juga dimiliki semua Muslim. Dia menambahkan bahwa Abu Al-Hasan Al-Syadzili melihat malaikat dalam bentuk seekor burung putih besar, namun tidak ada riwayat yang mengatakan bahwa ada wali yang pernah melihat malaikat dalam bentuk aslinya, sebab hanya para nabilah yang dapat melihat malaikat dalam bentuk aslinya.

Soal lain berkaitan dengan masyarakat Yahudi di Fez, Penguasa Almuhadiyah telah mencabut hak pemberi suara dari orang Yahudi. Namun penguasa Mariniyah mengembalikan banyak dari hak-hak mereka sebelumnya. Masyarakat Yahudi merupakan satu-satunya kaum non-Muslim di Fez. Mereka memiliki kemerdekaan beragama, selama mempraktikkan agama mereka secara pribadi. Sangatlah mungkin bahwa pertanyaan selanjutnya yang diajukan kaum Yahudi yang telah masuk Islam: Apakah Muhammad itu lebih unggul daripada Musa sebagai nabi?

Jawaban Ibn ‘Abbad adalah bahwa mengklaim Musa itu lebih unggul daripada Muhammad, berarti melakukan fitnah. Muhammad telah menyatakan dengan jelas bahwa dirinya itu lebih unggul, namun beliau tidak melakukannya semata-mata karena keinginan untuk memajukan jalan pribadinya. Menurut Ibn ‘Abbad, seandainya Nabi Muhammad Saw. demi mencari nama lalu membujuk kaum Yahudi di Madinah, tentu beliau akan mengatakan bahwa Musa adalah pemimpin para Nabi. Bahwa beliau menyatakan dirinya itu lebih unggul, sekalipun mendapatkan tantangan keras, membuktikan kebenaran klaimnya. Nabi-nabi sebelumnya telah meramalkan akan ada seorang Nabi yang lebih besar, berarti sama saja dengan mengakui bahwa Muhammad tidak memiliki misi untuk membawa orang non-Muslim ke dalam Islam, dan mengakui keunggulan Judaisme atas Islam. Akhirnya, Al-Quran menyatakan bahwa tidak semua nabi itu sama derajatnya; tapi karena ketidaksamaan derajat itu tidak berarti ketidaksempurnaan pada diri nabi, maka tidak ada gunanya terlalu memuji Muhammad sedemikian, sampai-sampai merusak citra nabi-nabi lainnya.

Alim-alim Fez ini mengajukan banyak pertanyaan lain tentang status spiritual dan moral pribadi. Misalnya, mereka bertanya apakah orang miskin yang banyak menderita di dunia ini lebih unggul dibanding orang kaya yang bersikap masa bodoh di dunia. Mereka berdebat tentang apakah orang yang menyingkirkan segenap hartanya dan memberikannya kepada orang lain itu lebih baik dibanding orang yang memberikan hanya kelebihan dari hartanya. Dalam semua kasus seperti itu, prinsip pokok Ibn ‘Abbad kelihatannya begini: Penampilan lahiriah kondisi seseorang itu tidak penting; yang menjadi persoalan adalah apakah orang itu benar-benar setia kepada kondisinya, apa pun yang akan terjadi.74

Tujuh yang terakhir dalam RS ditujukan kepada orang yang tidak jelas identitasnya. Dua di antaranya penting, karena ditujukan kepada seseorang yang telah meninggalkan praktik agama. Dalam surat pertama di antara dua surat itu, nada penulisnya dapat dikatakan cukup lembut; pada yang kedua, dia jauh lebih keras.75

Nwiya menggambarkan enam belas surat dalam RS itu sebagai “risalah-risalah kecil tentang spiritualitas. . .” dan bukan semata-mata surat-surat bersahabat yang kiasan-kiasannya tak dapat dipahami karena hilangnya surat-surat yang mereka jawab, seperti yang terjadi pada Koleksi Besar.”76 Ibn ‘Abbad menggunakan superscription (kata-kata yang ditulis di atas atau di luar sesuatu, seperti alamat di amplop surat misalnya-penerj.) ringkas, dan ini menekankan bahwa surat-suratnya itu berkualitas seperti risalah. Enam surat pertama ditulis untuk Muhammad Ibn Adibah, seorang faqih yang rupanya tinggal di fez setelah beremigrasi dari Andalusia atau Tlemcen. Ibrahim Al-Syathibi (meninggal 1388), seorang faqih dari Granada yang terkenal dengan karyanya di bidang ushul (prinsip-prinsip hukum), menerima Surat ke-16, yang ditulis sekitar 1375 di Fez. Lima belas surat pertama dalam RS ditulis ketika Ibn ‘Abbad pertama tinggal di Sale, mungkin sebelum 1368.77 Telah saya sertakan dalam kepala tiap-tiap surat, nama si penerima surat, berdasarkan keterangan Nwiya. [*]

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *