PASAL 3
Setelah kaum Muslimin pulang dari Ḥudaibiyah pada akhir tahun keenam hijriah, dan rute-rute perjalanan sudah aman dari gangguan kaum Quraisy, Nabi s.a.w. mengirimkan surat kepada raja-raja di seluruh dunia untuk mengajak mereka masuk Islām. Sejak saat itu Rasūlullāh s.a.w. membuat stempel dari perak guna dicapkan pada semua surat-suratnya. Stempel itu bertuliskan lafal Muḥammad Rasūlullāh.
Rasūlullāh s.a.w. mengutus Dihyah al-Kalbī untuk mengantarkan surat beliau kepada Kaisar Romawi. Beliau memerintahkan supaya surat itu disampaikan melalui pembesar Bashra, selanjutnya pembesar Bashralah yang akan mengantarkannya kepada kaisar Romawi.
Surat tersebut berisi:
Dengan nama Allah, Pengasih dan Penyayang
Dari Muḥammad, hamba Allah dan utusan-Nya kepada Heraklius pembesar Romawi. Salam sejahtera bagi yang mengikuti petunjuk. Dengan ini, saya mengajak Tuan untuk mengikuti ajaran Islam. Peluklah agama Islam, tuan pasti akan selamat. Peluklah Islam, Allah ‘azza wa jalla pasti akan memberi pahala dua kali lipat kepada tuan. Kalau tuan menolak maka dosa para petani menjadi tanggung jawab tuan.
“Katakanlah: “Wahai ahli kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu bahwa tidak ada yang berhak kita ibadahi kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah”. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (Āli ‘Imrān: 64)
Ketika surat Nabi s.a.w. itu sampai ke tangan Kaisar Heraklius, ia berkata: “Carilah seseorang dari kaumnya untuk kita tanyakan kepadanya perihal dirinya (Nabi s.a.w.).”
Pada saat itu, Abū Sufyān bin Ḥarb sedang berada di Syām bersama beberapa orang Quraisy yang sedang berniaga. Kemudian datanglah beberapa orang utusan Kaisar kepada Abū Sufyān, lalu mengajaknya menghadap Kaisar dan Abū Sufyān mau memenuhi ajakan itu.
Tatkala mereka sampai di Baitul Maqdis, Heraklius berbicara dengan mereka melalui penerjemah. Heraklius berkata: “Siapa di antara kalian yang paling dekat hubungannya dengan orang yang mengaku sebagai Nabi itu?” Abū Sufyān menjawab: “Aku.” Karena memang dalam rombongan kafilah tersebut tidak ada orang lain dari kalangan Bani ‘Abdu Manāf kecuali Abū Sufyān sendiri.
Lalu Kaisar berkata kepada Abū Sufyān: “Mendekatlah kepadaku.” Kemudian Kaisar memerintahkan teman-temannya supaya berdiri di belakangnya. Lalu Kaisar berkata kepada penerjemahnya: “Katakanlah kepada teman-temannya, sesungguhnya aku sengaja menaruh lelaki ini (Abū Sufyān) di depan kalian karena kau bermaksud menanyakan kepadanya tentang lelaki tersebut (Nabi Muḥammad) yang mengaku dirinya nabi.
Aku menyuruh kalian berada di belakanya supaya kalian tidak malu kepadanya untuk menyanggah bila ada perkataannya yang dusta.”
Kemudian Kaisar mulai bertanya tentang nasab lelaki tersebut di antara mereka.
Abū Sufyān menjawab: “Dia adalah orang yang mempunyai nasab yang terhormat di antara kami.”
Selanjutnya, Kaisar bertanya: “Apakah ada seseorang dari kalian yang mengatakan hal seperti ini sebelumnya?”
Abū Sufyān menjawab: “Tidak ada.”
Kaisar bertanya lagi: “Apakah kalian pernah menuduhnya melakukan perbuatan dusta sebelum ia mengatakan apa yang dikatakannya sekarang?”
Abū Sufyān menjawab: “Tidak pernah.”
Kaisar bertanya: “Apakah ada di antara kakek moyangnya yang pernah menjadi raja?”
Abū Sufyān menjawab: “Tidak ada.”
Kaisar bertanya lagi: “Orang-orang yang terhormatkah yang mengikutinya atau orang-orang yang lemah?”
Abū Sufyān menjawab: “Tidak, bahkan orang-orang yang lemah.”
Kaisar bertanya lagi: “Apakah pengikutnya bertambah atau berkurang?”
Abū Sufyān menjawab: “Bertambah.”
Kaisar bertanya lagi: “Apakah ada yang murtad disebabkan dongkol terhadap agamanya?”
Abū Sufyān menjawab: “Tidak ada.”
Kaisar bertanya lagi: “Apakah dia pernah berlaku khianat ketika mengadakan perjanjian?”
Abū Sufyān menjawab: “Tidak pernah. Dan sekarang kami sedang mengadakan perjanjian dengannya, dan kami tidak tahu apa yang akan dilakukannya dengan perjanjian itu.”
Kaisar bertanya lagi: “Apakah kalian memeranginya?”
Abū Sufyān menjawab: “Iya.”
Dia bertanya lagi: “Bagaimana kesudahan perang tersebut?”
Abū Sufyān menjawab: “Perang antara kami dan dia silih berganti. Terkadang dia mengalahkan kami terkadang kami yang mengalahkan dia.”
Kaisar bertanya lagi: “Apa yang diperintahkannya kepada kalian?”
Abū Sufyān menjawab: “Dia menyuruh kami: sembahlah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun; ia melarang kami untuk menyembah apa yang disembah oleh nenek moyang kami; memerintahkan shalat, zakat, memelihara kehormatan, menepati perjanjian, dan memelihara amanat.”
Kemudian Kaisar berkata: “Sesungguhnya aku telah bertanya kepadamu tentang keturunan orang itu, lalu kamu mengatakan bahwa orang itu dari keturunan terhormat. Begitulah perihal para Rasūl, mereka dibangkitkan dari kalangan kaumnya yang bernasab terhormat. Dan aku tanya kepadamu apakah pernah ada orang sebelumnya yang mengatakan seperti yang dikatakannya, kamu jawab tidak. Seandainya ada orang lain sebelumnya yang mengatakannya tentu kuanggap orang ini meniru orang sebelumnya yang pernah mengatakan hal serupa. Aku tanyakan apakah kalian pernah menuduhnya berlaku dusta sebelum ia mengatakan apa yang dikatakannya itu. Lalu kamu mengatakan tidak pernah maka aku berkesimpulan, kalau kepada manusia saja dia tidak berani berdusta apalagi berdusta kepada Allah.
Aku juga bertanya kepadamu apakah bapaknya ada yang dari keturunan raja, dan kamu jawab tidak ada. Aku katakan seandainya bapaknya dari keturunan raja, tentu orang ini sedang menuntut kerajaan kakek moyangnya. Dan aku juga telah bertanya kepadamu, apakah yang mengikuti dia orang-orang yang terpandang atau orang-orang yang rendah. Kamu menjawab orang-orang yang rendah yang mengikutinya. Memang mereka itulah yang menjadi para pengikut Rasūl.
Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah bertambah pengikutnya atau berkurang, kamu menjawabnya bertambah. Dan memang begitulah perkara iman hingga menjadi sempurna. Aku juga sudah bertanya kepadamu apakah ada yang murtad disebabkan marah terhadap agamanya. Kamu menjawab tidak ada. Dan memang begitulah iman bila telah masuk dan tumbuh bersemi di dalam hati. Aku juga sudah bertanya kepadamu, apakah kalian memeranginya. Lalu kalian mengiyakan dan sesungguhnya pertempuran antara kalian dan dia silih berganti. Memang demikianlah perihal para rasul, mereka diuji terlebih dahulu, tetapi pada akhirnya merekalah yang menang.
Aku juga sudah bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya kepada kalian, dan kamu menjawab dia memerintahkan kalian untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu apa pun; dia juga memerintahkan kalian untuk menegakkan shalat, menunaikan zakat, memelihara kehormatan, menunaikan janji, dan memelihara amanat. Aku juga telah bertanya kepadamu, apakah dia pernah berlaku khianat, dan kamu jawab tidak pernah. Dan memang begitulah para Rasūl, tidak mungkin berkhianat.
Kini, aku tahu bahwa dia adalah seorang nabi, dan kau mengetahui bahwa ia benar-benar diutus menjadi seorang rasūl. Aku tidak menduga bahwa ia berasal dari kalian. Seandainya semua yang kamu katakan ini benar, pasti ia akan menguasai semua kerajaan yang ada di bawah kakiku ini. Seandainya aku menaatinya, berarti aku memaksakan diriku terhadap hal tersebut.”
Abū Sufyān menuturkan: “Maka gaduhlah orang-orang yang berada di dekatnya dan ramai, tetapi aku tidak tahu apa yang mereka katakan. Lalu pengawal di perintahkan untuk membawa kami keluar.”
Setelah keluar bersama kawan-kawannya, Abū Sufyān berkata: “Sungguh perkara anak Abū Kabsyah (1232) telah membuat takut Raja Bani Ashfar. Ketika di Homsh, Heraklius mengundang para pembesar kerajaan di istananya. Ia memerintahkan agar semua pintu dikunci. Kemudian ia berkata: “Wahai bangsa Romawi, apakah kalian mau memperoleh kemenangan dan kemajuan dan kerajaan kalian tetap kuat maka baiatlah Nabi ini!” Maka gaduhlah mereka bagaikan keledai liar menuju pintu, tapi sudah terkunci. Ketika melihat penentangan mereka itu, Kaisar berkata: “Kembalikan mereka semua kepadaku!” Lalu Kaisar berkata kepada mereka: “Sesungguhnya aku tadi mengucapkan perkataanku tadi hanya untuk menguji seberapa kuat keteguhan kalian memegang agama kalian.” Lalu mereka tenang kembali dan rela kepadanya.
Ternyata kecintaan Kaisar terhadap kerajaannya lebih besar daripada kecintaannya kepada Islam. Oleh sebab itu, ia akan menanggung dosanya sendiri dan dosa rakyatnya seperti yang telah dikatakan oleh Nabi s.a.w. Hanya saja ia menolak Dihyah dengan baik-baik.