(1). Sunnah membaca basmalah ketika akan mandi dianalogikan dengan sunnah membaca basmalah ketika wudhū’. Hal ini sesuai dengan hadits yang menyatakan:
كُلُّ امْرٍ ذِيْ بَالٍ لَا يُبْدَأُ فِيْهِ بِبِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيْمِ فَهُوَ أَقْطَع.
“Setiap perbuatan baik yang tidak diawali dengan bismillāh-ir-raḥmān-ir-raḥīm adalah terputus (tidak berkah).”
Imām an-Nawawī menyebutkan hadits ini di dalam al-Adzkār, yaitu pada bahasan “Awwalu Ḥamdillāhi ta‘ālā [Permulaan Memuji Allah ta‘ālā]”. Dia menyebutkan beberapa riwayat tentang hadits itu, lalu berkomentar: “Kami meriwayatkan kalimat ini dalam kitab al-Arba‘īn karya al-Ḥāfizh ‘Abd-ul-Qādir ar-Rahawī. Hadits ini berkualitas ḥasan. Ia dirawikan dengan riwayat tersambung (maushūl) dan terlepas (mursal). Sanad (mata rantai perawi) pada riwayat yang tersambung berkualitas baik.”
***
(1). Sunnah ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh ‘Ā’isyah pada penjelasan sebelumnya, yaitu: “Apabila Nabi s.a.w. mandi junub, beliau memulai dengan membasuh dua (telapak) tangannya, lalu berwudhū’ seperti wudhū’ untuk shalat, kemudian…..” (al-Bukhāri, al-Ghusl, Bab “Al-Wudhū’u Qabl-al-Ghusl”, hadits no. 245, 246).
***
(1). Sunnah ini merupakan sikap menghindar dari perbedaan pendapat dengan ulama yang mewajibkannya, yaitu Madzhab Mālikī.
***
(1). Sunnah ini telah dijelaskan pada pembahasan wudhū’. Menurut Madzhab Mālikī, berurut-urut dalam mengerjakan fardhu dan sunnah wudhū’ adalah wajib. Maksud berurut-urut (muwālāt, tatābu‘) adalah tidak ada jeda antara membasuh bagian tubuh yang satu dan bagian tubuh yan lain. (Penjelasan sunnah no. 3 dan no. 4 dapat anda rujuk ke kitab: Al-Fawākih-ud-Dawānī, juz 1, hal. 175).
***
(1). Maksudnya, bagian tubuh yang kanan, baik yang terlihat maupun yang tertutup. Dalam sebuah hadits, ‘Ā’isyah r.a. mengatakan:
كَانَ النَّبِيُّ (ص) إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ دَعَا بِشَيْءٍ نَحْوَ الْحِلَابِ، فَأَخَذَ بِكَفِّهِ فَبَدَأَ بِشِقِّ رَأْسِهِ الْأَيْمَنِ ثُمَّ الْأَيْسَرِ، فَقَالَ بِهِمَا عَلَى وَسَطِ رَأْسِهِ.
“Apabila Nabi s.a.w. mandi junub, beliau meminta bak air seukuran wadah untuk memerah susu unta, lalu mengambil airnya dengan telapak tangannya. Setelah itu, beliau menyela-nyela kepala bagian kanan lalu bagian kiri. Kemudian, beliau menuangkan air ke kepala dengan kedua tangannya.”
Dalam hadits lain, ‘Ā’isyah r.a. menceritakan:
كُنَّا إِذَا أَصَابَتْ إِحْدَانَا جَنَابَةٌ، أَخَذَتْ بِيَدَيْهَا ثَلَاثًا فَوْقَ رَأْسِهَا، ثُمَّ تَأْخُذُ بِيَدِهَا عَلَى شِقِّهَا الْأَيْمَنِ وَ بِيَدِهَا الْأُخْرَى عَلَى شِقِّهَا الْأَيْسَرِ.
“Apabila salah seorang dari kami (istri Nabi) sedang junub, ia akan menuangkan air dengan tangannya di atas kepalanya sebanyak tiga kali, lalu menuangkan air dengan tangannya ke bagian kanan tubuhnya, kemudian menuangkan air ke bagian kiri tubuhnya.” (al-Bukhārī, al-Ghusl, Bab “Man Bada’a bil-Ḥilābi awith-Thībi ‘ind-al-Ghusl”, hadits no. 273; Muslim, al-Ḥaidh, Bab “Shifati Ghusl-il-Janābah”, hadits no. 318).
Dalil lain adalah kandungan hadits ‘Ā’isyah r.a. yang secara umum menceritakan:
كَانَ النَّبِيُّ (ص) يُعْجِبُهُ التَّيَمُّنُ فِيْ تَنَعُّلِهِ وَ تَرَجُّلِهِ وَ طُهُوْرِهِ وَ فِيْ شَأْنِهِ كُلِّهِ.
“Nabi s.a.w. sangat menyukai sikap mendahulukan bagian yang kanan (tayammun) ketika memakai sandal; menyisir rambut (tarajjul), bersuci, dan dalam setiap melakukan kebaikan.” (al-Bukhārī, al-Wudhū’, Bab “at-Tayammunu fil-Wudhū’i wal-Ghusl”, hadits no. 166; Muslim, ath-Thahārah, Bab “at-Tayammunu fith-Thuhūri wa Ghairih”, hadits no. 268).
Makna “at-tayammun” adalah mendahulukan bagian yang kanan dalam melakukan sesuatu atau memulai bersuci dengan anggota bagian kanan. Makna “tarajjul” adalah mengurai rambut dan meminyakinya (membasahinya). Maksud “bersuci” ialah membersihkan tubuh dari hadats dan selainnya. Termasuk bersuci adalah wudhū’ dan mandi.