‘Ulamā’ Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah menyatakan bahwa akar dan pohon kekufuran ada 6 (enam) perkara. Seorang muslim wajib mengetahui, menjauhi, dan mencegahnya agar tidak ada orang yang terjerumus ke dalam kekufuran. Adapun 6 hal tersebut adalah: (761), (772).
Ini adalah penyebab kufurnya ahli filsafat yang berkeyakinan bahwa Allah s.w.t. menciptakan sesuatu karena tuntutan pasti dari dzāt. Wujudnya alam raya ini merupakan efek dari wujudnya Allah, bukan diciptakan oleh Allah. Oleh karena itu, mereka meyakini bahwa alam raya ini qadīm (dahului) dan mengingkari sifat qudrah, irādah, dan semua sifat-sifat Allah.
تَعَالَى عَنْ ذلِكَ عُلُوًّا كَبِيْرًا.
“Allah Maha Suci dari itu semua dengan kesucian yang agung.”
Ini penyebab kufurnya golongan Barāhimah (nama Barāhimah berasal dari salah satu nama berhala yang disembah di Negara Yaman, yang bernama buhram). Kafir Barāhimah termasuk golongan ahli filsafat. Mereka meyakini mustahil jika ada manusia yang mengaku menjadi utusan Allah. Sebab, bagaimana bisa dia bertemu dengan Allah? selain itu, apa gunanya ada utusan Allah? Sebab, urusan kebaikan dan keburukan cukup menggunakan akal. Sebagaimana telah dijelaskan di Bab Kufur.
Ini merupakan penyebab kufurnya orang-orang penyembah patung dan berhala, mereka hanya mengikuti tradisi leluhurnya. Allah berfirman:
إِنَّا وَجَدْنَا آبَاءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَ إِنَّا عَلَى آثَارِهِمْ مُقْتَدُوْنَ.
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (QS. az-Zukhruf [43]: 23).
Dalam masalah akidah, tidak diperbolehkan taqlīd. Orang-orang ‘Arab membuat sebuah peribahasa:
لَا فَرْقَ بَيْنَ مُقَلِّدٍ يُنْقَادُ وَ بَهِيْمَةٍ تُقَادُ.
“Tak ada bedanya antara seorang yang bertaqlid yang tunduk dengan hewan peliharaan yang dituntun.”
Ini merupakan penyebab kufurnya golongan Thabā‘ī dan para pengikutnya, termasuk juga orang-orang mu’min yang bodoh. Mereka meyakini adanya hubungan antara makan dengan rasa kenyang, minum dengan rasa segar, kain dengan tertutupnya aurat, matahari dengan sinar yang terang, dan hal-hal lainnya.
Ini merupakan penyebab kufurnya orang-orang karena kebodohannya, mereka meyakini sesuatu tanpa mengerti dan memahami kebenarannya. Tak cukup di situ, mereka juga mengajarkan keselahan yang mereka yakini pada orang lain. Karenanya dinamakan jahl murakkab. Seperti keyakinan para ahli filsafat bahwa cakrawala memiliki kekuatan untuk memengaruhi yang lain dan mereka juga meyakini bahwa alam ini qadīm (dahulu).
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْش اسْتَوَى.
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang bersemayam di atas ‘Arsy.” (QS. Thāhā [20]: 5).
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الْأَرْضَ فَإِذَا هِيَ تَمُوْرُ.
“Apakah engkau merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir-balikkan bumi bersama engkau, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS. al-Mulk [67]: 16).
قَالَ: يَا إِبْلِيْسُ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ أَسْتَكْبَرْتَ أَمْ كُنْتَ مِنَ الْعَالِيْنَ.
“Allah berfirman: “Hai Iblīs, apakah yang menghalangi engkau sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku. Apakah engkau menyombongkan diri ataukah engkau (merasa) termasuk orang-orang yang (lebih) tinggi?” (QS. Shād [38]: 75).
Orang awam diharamkan menafsirkan al-Qur’ān sendiri tanpa mengikuti penafsiran para ‘ulamā’, juga diharamkan memberi makna lafazh al-Qur’ān dengan makna yang berbeda dari makna yang diberikan oleh para ‘ulamā’ tafsir. Sebab, dalam al-Qur’ān ada ayat-ayat muḥkam dan ada ayat-ayat mutasyābih. Ayat muḥkam adalah ayat-ayat yang jelas maknanya dan tidak membingungkan, seperti firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas engkau berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum engkau agar engkau bertaqwā.” (QS. al-Baqarah [1]: 183).
وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ غَفُوْرٌ رَحِيْمٌ.
“Dan bertaqwālah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Anfāl [8]: 69).
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوْفٍ أَوْ تَسْرِيْحٌ بِإِحْسَانٍ.
“Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma‘rūf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (QS. al-Baqarah [2]: 229).
Adapun ayat mutasyābih adalah ayat-ayat yang jika dilihat dari segi zhahirnya akan menimbulkan arti yang membingungkan, dan baru akan menemukan kejelasan setelah melihat penafsiran para ‘ulamā’ Salaf. Contoh ayat-ayat mutasyābih telah disebutkan.
Karena adanya ayat-ayat mutasyābih tersebut, orang yang tidak mengerti tata bahasa ‘Arab diharamkan belajar, apalagi mengajarkan tafsir al-Qur’ān. Begitu pula menafsiri al-Qur’ān dengan pikirannya sendiri, tanpa mengikuti penafsiran para ‘ulamā’ salaf, karena hal ini termasuk dosa besar yang dapat menyebabkan kekufuran. Karenanya berhati-hatilah dalam mempelajari al-Qur’ān.
Orang yang berpegang pada zhahirnya teks tanpa mempelajari penafsiran para ‘ulamā’ salaf akan tersesat. Sesatnya orang-orang bodoh karena mereka hanya mendengarkan dan membaca zhahirnya teks al-Qur’ān dan hadits, begitu pula orang selain orang ‘Arab yang tidak mengerti tata bahasa ‘Arab, seperti hadits:
الْإِنْسَانُ سِرِّيْ وَ أَنَا سِرُّهُ.
“Manusia adalah rahasia-Ku dan Aku rahasianya.”
Lafazh-lafazh al-Qur’ān dan hadits yang mutasyabih tidak boleh diartikan dengan hanya melihat pada zhahirnya lafazh, bahkan para ‘ulamā’ menyatakan: “Orang awam tidak boleh membaca kitab-kitab orang khāsh, apalagi khawāsh-ul-khawāsh (838), karena dikhawatirkan akan salah paham dan bisa menjadikannya kufur”. Wallāhu a‘lam.
اللهُمَّ اجْعَلْنَا مِنَ النَّاجِحِيْنَ.
“Ya Allah, jadikanlah kami sebagai golongan orang-orang yang selamat.”
Adapun kewajiban orang Ahl-us-Sunnah wal-Jamā‘ah adalah meyakini bahwa sebagian perbuatan seorang hamba ada yang bersifat ikhtiyārī, tapi dia tidak kuasa menciptakan sendiri melainkan dengan sifat qudrah Allah yang bersifat qadīm, sebagian yang lain bersifat idhthirārī (keharusan), seperti orang yang gemetar. Terdapat perbedaan yang jelas antara gerakan orang yang memukul dengan orang yang gemetar, orang yang memukul bergerak dengan pilihannya sendiri sedangkan orang yang gemetar bergerak secara idhthirārī (keharusan).
Dinamakan murakkab karena ada dua jahl, tidak mengerti akan sesuatu dan tida mengerti bahwa dirinya tidak mengerti.
(Syaikh Ibrāhīm al-Bajūrī, Tuḥfah al-Murīd ‘alā Jauharah at-Tauḥīd, taḥqīq: Dr. ‘Alī Jum‘ah, Kairo – Mesir, Darussalam, 2002, hal. 54.)