Suluk – Unsur-unsur Tarekat – Sabil-us-Salikin

Sabīl-us-Sālikīn – Jalan Para Sālik
Ensiklopedi Tharīqah/Tashawwuf

 
Tim Penyusun:
Santri Mbah KH. Munawir Kertosono Nganjuk
Santri KH. Sholeh Bahruddin Sengonagung Purwosari Pasuruan
 
Penerbit: Pondok Pesantren NGALAH

Rangkaian Pos: Unsur-unsur Thariqah - Sabil-us-Salikin

Sulūk

(Dalam wacana sufi, perjalanan dalam menempuh jalan-jalan menuju Tuhan disebut dengan sulūk. Adapun orang yang melakukan perjalanan disebut sālik.)

Asas pertama tharīqah adalah al-Irādah, yaitu kehendak atau kemauan bulat untuk selalu mendekatkan diri kepada Allāh s.w.t. dengan menapaki jalan-jalan (menuju-Nya) secara sungguh-sungguh sedemikian rupa sehingga yang bersangkutan benar-benar mengalami dan merasakan (kehadiran) Tuhan (Rukun Iḥsān: Seolah-olah beribadah melihat Allāh s.w.t. apabila tidak maka sadarilah bahwa Allāh s.w.t. melihatnya). Perintah Tuhan mengenai hal ini sangat jelas ketika berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللهَ وَ ابْتَغُوْا إِلَيْهِ الْوَسِيْلَةَ وَ جَاهِدُوْا فِيْ سَبِيْلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ﴿٣٥﴾

Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allāh, dan carilah wasilah, serta bersungguh-sungguhlah menapaki jalan-jalan (menuju kepada)-Nya agar kamu memperoleh kemenangan atau kesuksesan.” (al-Mā’idah, 5:35).

Sebenarnya tidak hanya manusia yang diperintahkan Tuhan untuk menapaki jalan-jalanNya, lebah pun bahkan menjadi objek yang dikhitāb Tuhan dengan perintah yang sama melalui wahyu yang disampaikan kepadanya, maka tempuhlah jalan-jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan untukmu.

ثُمَّ كُلِيْ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ فَاسْلُكِيْ سُبُلَ رَبِّكِ ذُلُلًا يَخْرُجُ مِنْ بُطُونِهَا شَرَابٌ مُّخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ فِيْهِ شِفَاء لِلنَّاسِ إِنَّ فِيْ ذلِكَ لَآيَةً لِّقَوْمٍ يَتَفَكَّرُوْنَ ﴿٦٩﴾

Kemudian makanlah dari tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang telah dimudahkan (bagimu). Dari perut lebah itu keluar minuman (madu) yang bermacam-macam warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.” (al-Naḥl, 16: 69).

Dalam kasus lebah ini terdapat tanda ketuhanan yang layak direnungkan oleh murid (orang yang berkehendak bulat bertemu dengan Tuhan). Perjalanan menuju Tuhan tidak mungkin dapat dilakukan, dan jalan-jalan menuju Tuhan pun tidak akan pernah tersingkap, kecuali dengan mujāhadah (perjuangan yang sungguh-sungguh) yang dimotori oleh irādah tersebut. Hal ini ditegaskan Tuhan dalam sebuah firman-Nya:

وَ الَّذِيْنَ جَاهَدُوْا فِيْنَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا وَ إِنَّ اللهَ لَمَعَ الْمُحْسِنِيْنَ ﴿٦٩﴾

Dan orang-orang yang bermujāhadah di dalam Kami, kepada mereka Kami benar-benar menunjukkan jalan-jalan menuju Kami; sesungguhnya Allāh benar-benar bersama dengan orang yang mengalami ihsan (beribadah seolah-olah melihat Allāh).” (al-‘Ankabūt, 29: 69).

Latihan kejiwaan

Di dalam sulūk, para sālik menyibukan diri dengan riyādhah (latihan kejiwaan) dalam rangka pendekatan diri kepada Allāh (at-Taqarrub ilallāh) melalui pengamalan ibadah-ibadah farā’idh (wajib) dan nawāfil (sunnah), semua aktivitas ini dilakukan di atas fondasi dzikrullāh, di samping dzikrullāh itu sendiri dijadikan sebagai amalan yang berdiri sendiri, lepas dari ibadah-ibadah lainnya, sebagai wujud konkret pengamalan firman Allāh s.w.t. dalam sebuah hadits qudsi yang diriwayatkan Imām al-Bukhārī dan Muslim:

حَدَّثَنَا عُمَرُ بْنُ حَفْصٍ حَدَّثَنَا أَبِيْ حَدَّثَنَا الْأَعْمَشُ سَمِعْتُ أَبَا صَالِحٍ عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يَقُوْلُ اللهُ تَعَالَى: أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِيْ بِيْ وَ أَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِيْ فَإِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِيْ نَفْسِيْ وَ إِنْ ذَكَرَنِيْ فِيْ مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِيْ مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَ إِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَ إِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَ إِنْ أَتَانِيْ يَمْشِيْ أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً، (سنن الترمذي، ج 4، ص: 418، رقم: 3603، صحيح البخاري، ج 4، ص: 541، رقم: 7405).

Aku sesuai dengan prasangka hamba-Ku kepada-Ku, dan Aku bersamanya ketika ia berdzikir kepada-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam dirinya, maka Aku berdzikir kepadanya dalam diri-Ku; jika ia berdzikir kepada-Ku dalam suatu kelompok, maka Aku berdzikir kepadanya dalam kelompok yang lebih baik daripada mereka. Jika ia mendekat kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekat kepadanya sehasta; jika ia mendekat kepada-Ku sehasta; maka Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (Sunan at-Tirmidzī, juz 4, halaman: 418, nomor: 3603, Shaḥīḥ al-Bukhārī, juz 4, halaman: 541, nomor: 7405).

Intinya semua sunnah Nabi sebagai model al-Qur’ān yang hidup, nyata, dan sempurna, yang dalam bahasa ‘Ā’isyah diungkapkan dengan redaksi akhlak Nabi adalah al-Qur’ān, (Musnad Aḥmad, juz 6, halaman: 91, al-Mu‘jam al-Awsath, juz 1, halaman: 30), diwujudkan secara konkret dan sungguh-sungguh dalam sulūk. Berkekalan dalam wudhu’, berdzikir dalam setiap keadaan (berdiri, duduk dan berbaring), berjamā‘ah dalam semua salat wajib, menjaga moderasi antara lapar dan kenyang, menghiasi waktu malam dengan berbagai ibadah dan shalat sunnah, mengosongkan qalbu dari selain Allāh s.w.t., mengarahkan segenap konsentrasi dan perhatian sebagian contoh sunnah Nabi yang dipraktekkan dalam sulūk.

Sulūk sekaligus merupakan jalan menuntut ilmu dan ma‘rifah yang dengannya Allāh s.w.t. melempangkan jalan menuju surga yang notabene jalan menuju Allāh s.w.t. sendiri karena surga tidak ada kecuali di sisi Allāh. Sebuah Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imām al-Bukhārī, Muslim, dan imam-imam Hadits lainnya, mendukung kenyataan ini:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا مِنْ طُرُقِ الجَنَّةِ

Barang siapa yang menempuh jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allāh memudahkan baginya jalan menuju surga.” (Sunan at-Tirmidzī, juz 5, halaman: 48, Sunan Ibn Mājah, juz 1, halaman: 71).