Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:
……………………. | وَ بَرِّئَنْ لِعَائِشَةْ مِمَّا رَمَوْا. |
“………………………………….. Serta bebaskanlah Siti ‘Ā’isyah dari apa yang telah mereka tuduhkan.”
Wahai mukallaf, yakinilah dengan pasti bahwa Sayyidah ‘Ā’isyah, terbebas dari prasangka buruk dan dari tuduhan orang-orang munafiq dan orang-orang Yahudi yang tidak berdasarkan bukti.
Asal cerita ini adalah hadits yang menceritakan bahwa telah menjadi kebiasaan Rasūlullāh s.a.w. mengundi para istrinya saat akan berangkat berperang, siapa yang keluar undiannya, akan ikut beliau berperang. Ketika Beliau akan keluar berperang dengan Bani Musthaliq, undian jatuh pada Sayyidah ‘Ā’isyah binti ash-Shiddīq.
Setelah selesai perang, dalam perjalanan pulang, karena waktu sudah malam, orang-orang muslim berhenti di suatu tempat dekat Madīnah untuk beristirahat. Sayyidah ‘Ā’isyah keluar dari sekedup haudaj (1251)-nya ke tempat yang tidak terlihat oleh orang-orang muslim untuk membuang hajat. Setelah selesai, beliau kembali ke sekedup, lantas beliau sadar kalau kalungnya terjatuh di tempat buang hajat, beliau pun kembali lagi untuk mencarinya. Selang beberapa saat, Rasūlullāh berangkat bersama para sahabat, sekedup haudaj Sayyidah ‘Ā’isyah pun diangkat ke atas unta karena disangka beliau sudah berada di dalamnya, padahal ‘Ā’isyah masih di luar untuk mencari kalungnya.
Setelah kalung yang dicarinya ketemu, ‘Ā’isyah kembali ke tempat sekedupnya, ternyata sudah tidak ada satu orang pun di sana. Lantas beliau duduk di situ karena sangat lelah, kemudian tertidur. Beberapa saat kemudian, sahabat Shafwān memang selalu paling akhir karena bertugas mengecek melihat ada orang tertidur, yang ternyata adalah Sayyidah ‘Ā’isyah. Shafwān bisa tahu karena dia pernah melihat wajah ‘Ā’isyah sebelum ayat hijab turun.
Shafwān segera membalikkan badannya, lalu untanya didudukkan di samping ‘Ā’isyah, dengan suara keras dia berkata: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn” untuk membangunkan ‘Ā’isyah. ‘Ā’isyah pun terbangun dan segera menaiki onta tersebut, lalu Shafwān menuntun onta sambil membalikkan badannya. Selama dalam perjalanan tidak ada percakapan sama sekali antara Shafwān dan ‘Ā’isyah kecuali kata-kata: “Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji‘ūn”.
Mendekati masuknya waktu Zhuhur, tepat tengah hari, keduanya sampai di permukiman tempat istirahat kaum muslimin, sedangkan orang-orang sudah istirahat. Saat melihat Shafwān dengan menuntun unta yang ditunggangi oleh Sayyidah ‘Ā’isyah, orang-orang munafiq langsung berprasangka buruk, terutama pimpinan mereka, yaitu ‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl. Sebagian orang mu’min yang lemah imannya juga ikut-ikutnya berprasangka buruk.
Setelah Rasūlullāh sampai di Madīnah, beliau mengumpulkan para sahabat dan orang-orang muslim, beliau bersabda: “Wahai seluruh kaum muslimin, siapakah yang mau memberiku pengakuan dari seorang lelaki (‘Abdullāh bin Ubay bin Salūl) yang telah menyakiti keluargaku. Sungguh demi Allah, aku tidak mengetahui sesuatu pun dari keluargaku kecuali kebaikan. Mereka telah menceritakan mengenai seorang lelaki (Shafwān bin Mu‘aththal as-Sulamī) yang aku tidak mengetahui dari dirinya juga kecauli kebaikan”. Kemudian turunlah surah an-Nūr ayat 11-20:
إِنَّ الَّذِيْنَ جَاؤُوْا بِالْإِفْكِ عُصْبَةٌ مِّنْكُمْ لَا تَحْسَبُوْهُ شَرًّا لَّكُمْ بَلْ هُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ مَّا اكْتَسَبَ مِنَ الْإِثْمِ وَ الَّذِيْ تَوَلَّى كِبْرَهُ مِنْهُمْ لَهُ عَذَابٌ عَظِيْمٌ……إلى: وَ لَوْ لَا فَضْلُ اللهِ عَلَيْكُمْ وَ رَحْمَتُهُ وَ أَنَّ الله رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ.
“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya ‘adzab yang besar.” (QS. an-Nūr [24]: 11) sampai……. “Dan sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu semua, dan Allah Maha Penyantun dan Maha Penyayang, (niscaya kamu akan ditimpa ‘adzab yang besar).” (QS. an-Nūr [24]: 20).
Akhirnya Sayyidah ‘Ā’isyah terselamatkan dari prasangka dan tuduhan orang-orang munāfiq. Karenanya, barang siapa yang menuduh Sayyidah ‘Ā’isyah r.a. dengan tuduhan-tuduhan palsu maka ia benar-benar dihukumi kufur.
Seorang mukallaf wajib meyakini kesucian Sayyidah ‘Ā’isyah dari tuduhan orang-orang munāfiq. Tatkala turun ayat-ul-Barā’ah tersebut, Sayyidinā Abū Bakar r.a. berkata kepada putrinya: “Wahai ‘Ā’isyah, berterimakasihlah kepada Nabi Muḥammad”. Sayyidah ‘Ā’isyah menjawab: “Tidak, demi Allah, aku tidak akan berterimakasih kecuali hanya kepada Allah s.w.t. yang sudah menyatakan kesucianku”. Itu terjadi ketika Sayyidah ‘Ā’isyah sedang dalam kondisi tenggelam dalam musyāhadah (1262) pada Allah s.w.t. sehingga tidak ada yang terlihat kecuali Allah s.w.t. (1273)