Sifat Wajib, Mustahil, dan Ja’iz bagi para Rasul – Terjemah Tauhid Sabilul Abid KH. Sholeh Darat

TERJEMAH TAUHID

سَبِيْلُ الْعَبِيْدِ عَلَى جَوْهَرَةِ التَّوْحِيْدِ
Oleh: Kiyai Haji Sholeh Darat
Mahaguru Para Ulama Besar Nusantara
(1820-1903 M.)

Penerjemah: Miftahul Ulum, Agustin Mufrohah
Penerbit: Sahifa Publishing

Rangkaian Pos: 003 Tentang Kenabian (Nabawiyyat) - Terjemah Tauhid Sabilul Abid

Sifat Wajib, Mustahil, dan Jā’iz bagi para Rasūl

 

Setelah selesai membahas sesuatu yang wajib, mustahil, dan jā’iz bagi Allah. Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī membahas sesuatu yang wajib, mustahil, dan ja’iz bagi para rasūl yang agung.

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ وَاجِبٌ فِيْ حَقِّهِمِ الْأَمَانَةْ وَ صِدْقُهُمْ وَضِفْ لَهَا الْفَطَانَةْ

Wajib pada hak para rasūl sifat amānah (tepercaya) dan shiddiq (jujur) mereka, serta gabungkan baginya fathānah (cerdas).

Para rasūl wajib memiliki sifat amānah, yakni kepercayaan Allah s.w.t. Maksudnya, para rasūl bisa menjaga zhahir dan bathinnya dengan menjauhi larangan Allah dan melaksanakan perintah-Nya.

Para rasul juga wajib memiliki sifat shiddiq, yakni jujur dan benar. Maksudnya, sesuai antara perkataan dengan realitas yang ada.

Juga wajib bagi para rasūl memiliki sifat fathānah, yakni cerdas. Maksudnya, waspada dan teliti agar dapat menolak dan mematikan argumentasi musuh.

Penjalasan

Seorang mukallaf wajib meyakini bahwa para rasūl memiliki sifat amānah, yaitu terpercaya, tidak akan pernah melakukan larangan Allah, seperti sesuatu yang haram, makruh, dosa-dosa kecil, apalagi dosa-dosa besar, baik dosa lahir maupun dosa batin, seperti takabbur, hasud, ujub, riya’, dan selainnya.

Perbuatan para nabi dan rasūl hanya berkisar pada sesuatu yang wajib atau sunnah, boleh selain keduanya tapi untuk pembelajaran, seperti bolehnya melakukan sesuatu yang makruh untuk mengajarkan bahwa sesuatu itu diperbolehkan (tapi makruh). (991).

Seorang mukallaf tidak boleh meyakini bahwa Nabi Ādam a.s. melakukan kemaksiatan karena memakan buah terlarang, tapi wajib menakwilkannya, bahwa pada hakikatnya hal itu memang diperintahkan. Jika belum mengerti ta’wil, jangan mendengarkan cerita para Nabi yang melakukan sesuatu yang secara lahir seperti melakukan maksiat, seperti cerita saudara-saudara Nabi Yūsuf a.s. (mengikuti pendapat yang menyatakan mereka adalah Nabi), cerita Nabi Yūsuf a.s. dengan Siti Zulaikha, cerita Nabi Dāwūd a.s., semuanya wajib di-ta’wil. Jika belum mengerti ta’wil, sebaiknya jangan mendengarkan cerita-cerita tersebut. Begitu juga cerita para Nabi yang beredar tanpa adanya sumber berita yang valid, sama sekali tidak boleh mendengarkannya, karena banyak yang tidak sesuai dengan kenyataan, banyak dusta di dalamnya.

Para nabi dan rasūl wajib memiliki sifat shiddīq, yakni benar dalam menyampaikan sesuatu dan apa yang dikatakan sesuai dengan kenyataan yang ada. Jika para nabi dan rasūl tidak shiddīq, maka semua ajaran Allah berarti dusta, padahal Allah telah bersaksi atas kebenaran para nabi dan rasūl dengan memberikan mu‘jizat, sebagaimana pengakuan Allah: “Hambaku telah benar dalam pengakuannya sebagai utusan-Ku.

Para nabi dan rasūl wajib memiliki sifat fathānah, artinya cerdas, punya ingatan kuat dan waspada, agar bisa menolak argumentasi orang-orang kafir.

Dalil bahwa para rasūl memiliki sifat fathānah adalah firman Allah s.w.t.:

وَ تِلْكَ حُجَّتُنَا آتَيْنَاهَا إِبْرَاهِيْمَ عَلَى قَوْمِهِ.

Dan itulah ḥujjah Kami yang Kami berikan kepada Ibrāhīm untuk menghadapi kaumnya (dalam masalah planet dan perbintangan)”. (QS. al-An‘ām [6]: 83).

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ مِثْلُ ذَا تَبْلِيْغُهُمْ لِمَا أَتَوْا وَ يَسْتَحِيْلُ ضِدُّهَا كَمَا رَوَوْا

Seumpamaan ini adalah penyampaian wahyu mereka terhadap segala sesuatu yang mereka bawa. Dan mustahillah lawan dari semua sifat-sifat ini sebagaimana para ‘ulamā’ telah meriwayatkannya.

Selain wajib memiliki tiga sifat yang telah disebutkan, para rasūl juga wajib memiliki sifat tablīgh, yakni menyampaikan sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan kepada kaumnya. Seperti menyampaikan rukun Islam, rukun Iman, hukum-hukum syariat dan ajaran agama Islam. Jika para rasul tidak bersifat tablīgh, berarti mereka kitmān (menyimpan), sedangkan kitmān dilaknat oleh Allah. Oleh karena itu, para rasūl wajib menyampaikan risālah yang dibawanya.

Mustahil bagi para rasūl memiliki kebalikan dari empat sifat di atas (amānah, shiddīq, fathānah, dan tablīgh). Kebalikan sifat amānah adalah khiyānah (berkhianat), kebalikan shiddīq adalah kadzib (bohong), kebalikan sifat fathānah adalah ghaflah (pelupa, tidak pandai), kebalikan sifat tablīgh adalah kitmān (menyembunyikan hukum-hukum syariat yang diperintahkan untuk disampaikan kepada kaumnya). Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh para ‘ulamā’ dari nash al-Qur’ān, Ḥadīts, dan Ijma‘.

 

Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī berkata:

وَ جَائِزٌ فِيْ حَقِّهِمْ كَالْأَكْلِ وَ كَالْجِمَاعِ لِلنِّسَا فِي الْحِلِّ

Dan jā’iz pada hak seluruh rasūl seperti makan dan jima‘ (berhubungan badan) kepada perempuan-perempuan yang halal (digauli).

Lafazh (جَائِزٌ) menjadi khabar muqaddam, lafazh (كَالْأَكْلِ) menjadi mubtada’ mu’akhkhar.

Makan dan minum adalah sesuatu yang jā’iz bagi para rasūl, begitu pula menjima‘ wanita dengan cara yang halal, baik dengan pernikahan maupun kepemilikan, seperti budak perempuan.

Penjelasan

Setelah selesai menjelaskan sesuatu yang wajib dan mustahil bagi para rasūl, Syaikh Ibrāhīm al-Laqqānī menjelaskan sesuatu yang jā’iz bagi para rasūl. Sifat jā’iz bagi para rasūl adalah memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya, seperti makan, tidur, sakit, menjima‘ wanita yang dihalalkan, baik dengan cara menikah maupun kepemilikan, dengan syarat wanita tersenut mu’minah, bukan kāfir kitābī atau majusi, juga budak budak jariyah, karena para rasūl tidak dikhawatirkan melakukan zina. Para rasūl tidak mengalami bermimpi keluar air mani.

Syarat bolehnya para rasul memiliki sifat-sifat manusia pada umumnya adalah sifat-sifat tersebut tidak sampai mengurangi derajat mereka, sebagaimana telah dijelaskan. Apabila sifat-sifat kemanusiaan itu bisa mengurangi derajat dan membuat manusia benci, maka tidak diperbolehkan, seperti gila, kusta, kulit belang, buta, dan sifat-sifat lain yang menjadikan masyarakat benci dan menjauh.

Sayyidinā Syu‘aib a.s. dan Ya‘qūb a.s. tidaklah buta, tetapi hanya karena terlalu banyak air mata yang keluar sehingga penglihatan keduanya tertutupi.

Catatan:

  1. 99). Tuḥfat al-Murīd, hal. 200.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *