5. Qiyāmuhu bi Nafsih.
[صـــ] (وَ قِيَامُهُ تَعَالَى بِنَفْسِهِ أَيْ لَا يَفْتَقِرُ إِلَى مُحَلٍّ وَ لَا مُخَصِّصٍ)
(5). Qiyāmuhu bi Nafsih. (Kemandirian Allah dengan Dzātnya). Maksudnya Ia tidak membutuhkan maḥall (dzāt lain yang menjadi tempat Dzāt-Nya) dan mukhashshish (dzāt lain yang mewujudkan-Nya).
Syarḥ.
[شــــ] يَعْنِيْ أَنَّهُ مِمَّا يَجِبُ لَهُ تَعَالَى أَنْ يَقُوْمَ بِنَفْسِهِ، أَيْ بِذَاتِهِ؛ وَ مَعْنَى قِيَامِهِ تَعَالَى بِنَفْسِهِ سَلْبُ افْتِقَارِهِ لِشَيْءٍ مِنَ الْأَشْيَاءِ، فَلَا يَفْتَقِرُ تَعَالَى إِلَى مَحَلٍّ، أَيْ ذَاتٍ سِوَى ذَاتِهِ، يُوْجَدُ فِيْهَا كَمَا تُوْجَدُ الصِّفَةُ فِي الْمَوْصُوْفِ، لِأَنَّ ذلِكَ لَا يَكُوْنُ إِلَّا لِلصِّفَاتِ، وَ هُوَ تَعَالَى ذَاتُ مَوْصُوْفٍ بِصِفَةٍ، وَ لَيْسَ جَلَّ وَ عَزَّ بِصِفَةٍ كَمَا تَدَّعِيْهِ النَّصَارَى وَ مَنْ فِيْ مَعْنَاهُمْ مِنَ الْبَاطِنِيَّةِ أَهْلَكَ اللهُ تَعَالَى جَمِيْعَهُمْ. وَ سَيَأْتِيْ بُرْهَانُ ذلِكَ عِنْدَ تَعَرُّضِنَا إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَالَى لِلْبَرَاهِيْنِ.
Maksudnya, di antara sifat yang wajib bagi Allah ta‘ālā adalah Allah mandiri dengan diri-Nya, maksudnya Dzāt-Nya. Maksud mandirinya Allah ta‘ālā dengan Dzāt-Nya adalah menafikan butuhnya Allah pada sesuatu apapun. Maka Allah ta‘ālā tidak membutuhkan pada mahall, yaitu dzāt selain-Nya di mana Allah wujud di dalamnya, sebagaimana sifat yang wujud pada hal yang disifatinya. Sebab kebutuhan semacam itu hanya untuk sifat, sementara Allah ta‘ālā adalah Dzāt yang disifati dengan suatu sifat. Allah jalla wa ‘azza bukan suatu sifat sebagaimana anggapan orang-orang Nashrānī dan sekte Bāthiniyyah yang sepaham dengan mereka – semoga Allah ta‘ālā membinasakan mereka – . Dalilnya akan disebutkan pada penjelasanku tentang berbagai dalil, in syā’ Allāh ta‘ālā.
وَ كَذَا لَا يَفْتَقِرُ تَعَالَى إِلَى مُخَصِّصٍ، أَيْ فَاعِلٍ يُخَصِّصُهُ بِالْوُجُوْدِ، لَا فِيْ ذَاتِهِ وَ لَا فِيْ صِفَةٍ مِنْ صِفَاتِهِ لِوُجُوْبِ الْقِدَمِ وَ الْبَقَاءِ لِذَاتِهِ تَعَالَى وَ لِجَمِيْعِ صِفَاتِهِ، وَ إِنَّمَا يَحْتَاجُ إلَى الْمُخَصِّصِ، أَيِ الْفَاعِلِ، مَنْ يَقْبَلُ الْعَدَمَ، وَ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ لَا يَقْبَلُهُ، فَإِذًا يَسْتَحِيْلُ عَلَى مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ الْاِفْتِقَارُ عُمُوْمًا.
Begitu pula Allah ta‘ālā tidak butuh kepada mukhashshish, yaitu pelaku yang mewujudkannya, tidak butuh dalam dzāt, dan satu sifat pun dari sifat-sifatNya, karena wajibnya qidam dan baqā’ bagi Dzāt Allah ta‘ālā dan semua sifat-Nya. Yang butuh kepada mukhashshish adalah dzāt yang menerima ketiadaan (mungkin menjadi tidak ada), sedangkan Allah jalla wa ‘azza tidak mungkin menerimanya. Bila demikian, maka secara umum mustahil bagi Allah jalla wa ‘azza membutuhkan dzāt lain.
وَ بِهذَا تَعْرِفُ أَنَّ مُرَادَنَا بِالْمَحَلِّ فِيْ أَصْلِ الْعَقِيْدَةِ الذَّاتُ، وَ مُرَادَنَا بِالْمُخَصِّصِ الْفَاعِلُ. فَبِعَدَمِ افْتِقَارِهِ تَعَالَى إِلَى مَحَلٍّ، أَيْ ذَاتٍ أُخْرَى، لَزِمَ أَنَّهُ جَلَّ وَ عَزَّ ذَاتٌ لَا صِفَةٌ، وَ بِعَدَمِ افْتِقَارِهِ تَعَالَى إِلَى مُخَصِّصٍ، أَيْ فَاعِلٍ، لَزِمَ أَنَّ ذَاتَهُ جَلَّ وَ عَزَّ لَيْسَتْ كَسَائِرِ الذَّوَاتِ الَّتِيْ لَا تَفْتَقِرُ هِيَ أَيْضًا إِلَى مَحَلٍّ كَالْأَجْرَامِ مَثَلًا، لِأَنَّ هذِهِ وَ إِنْ كَانَتْ مُسْتَغْنِيَةً عَنِ الْمَحَلِّ، أَيْ عَنْ ذَاتٍ تَقُوْمُ بِهَا قِيَامَ الصِّفَةِ بِالْمَوْصُوْفِ، فَهِيَ مُفْتَقِرَةٌ ابْتِدَاءً وَ دَوَامًا افْتِقَارًا ضَرُرِيًا لَازِمًا إِلَى الْمُخَصِّصِ، أَيِ الْفَاعِلِ، وَ هُوَ مَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ، فَإِذًا الْقِيَامُ بِالنَّفْسِ هُوَ عِبَارَةٌ عَنِ الْغِنَى الْمُطْلَقِ، وَ ذلِكَ لَا يُمْكِنُ أَنْ يَكُوْنَ إِلَّا لِمَوْلَانَا جَلَّ وَ عَزَّ.
Dengan penjelasan ini anda ketahui, sungguh maksudku dengan kata al-‘Aqīdah, adalah dzāt; sedangkan maksudku dengan kata mukhashshish adalah fā‘il (pelaku yang mewujudkannya). Maka dengan ketidakbutuhan Allah ta‘ālā pada maḥall, maksudnya dzāt lain, tetaplah bahwa Allah jalla wa ‘azza bukan sifat; dan dengan ketidakbutuhan Allah ta‘ālā pada mukhashshish, maksudnya fā‘il (pelaku yang mewujudkannya), tetaplah bahwa Dzāt Allah jalla wa ‘azza tidak seperti dzāt lain yang juga tidak membutuhkan pada maḥall seperti berbagai jirm upamanya, meskipun berbagai jirim ini tidak membutuhkan maḥall, maksudnya dari dzāt yang menjadi tempat eksistensinya, sebagaimana eksistensi sifat pada sesuatu yang disifatinya, namun untuk permulaan dan keberlangsungannya secara pasti membutuhkan pada mukhashshish, yakni fā‘il, yaitu Allah jalla wa ‘azza. Bila demikian, maka qiyāmu bin-nasf merupakan ungkapan dari kemandirian secara mutlak, yang tidak mungkin kecuali bagi Allah jalla wa ‘azza.
قَالَ جَلَّ وَ عَزَّ قَائِلٍ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَنْتُمُ الْفُقَرَاءُ إِلَى اللهِ، وَ اللهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ (361) وَ قَالَ تَعَالَى: اللهُ الصَّمَدُ لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ وَ لَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ (372).
Allah Yang Maha Agung berfirman: “Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allah; dan Allah Dialah yang Maha Kaya (tidak membutuhkan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” Allah berfirman pula: “Allah adalah Tuhan yang segala sesuatu bergantung kepada-Nya. Dia tiada beranak dan tidak pula diperanakkan, dan tidak ada seorangpun yang setara dengan-Nya.”
فَأَثْبَتَ تَعَالَى بِقُوْلِهِ: اللهُ الصَّمَدُ، افْتِقَارَ كُلِّ مَا سِوَاهُ إِلَيْهِ جَلَّ وَ عَزَّ. إِذِ الصَّمَدُ هُوَ الَّذِيْ يُصْمَدُ إِلَيْهِ فِي الْحَوَائِجِ، أَيْ يُقْصَدُ فِيْهَا، وَ مِنْهُ تُسْئَلُ. وَ لَا شَكَّ أَنَّ كُلَّ مَا سِوَاهُ تَعَالَى صَامِدٌ لَهُ، أَيْ مُفْتَقِرٌ إِلَيْهِ ابْتِدَاءً وَ دَوَامًا بِلِسَانِ حَالِهِ أَوْ بِلِسَانِ مَقَالِهِ أَوْ بِهِمَا مَعًا.
Dengan firman-Nya: (اللهُ الصَّمَدُ) Allah menetapkan butuhnya selain Allah kepada-Nya jalla wa ‘azza. Sebab makna (الصَّمَدُ) adalah Dzāt yang dituju dalam berbagai kebutuhan, maksudnya yang menjadi rujukan berbagai kebutuhan, dan dari-Nya berbagai kebutuhan diminta. Tidak diragukan, sungguh setiap selain Allah ta‘ālā adalah dzāt yang butuh kepada-Nya, maksudnya mulai dari awal dan pada keberlanjutannya membutuhkan kepada Allah dengan kondisinya, ucapannya, atau dengan keduanya secara bersamaan.
وَ أَثْبَتَ تَعَالَى بِقَوْلِهِ: “لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ” وُجُوْبَ اسْتِغْنَائِهِ جَلَّ وَ عَزَّ عَنِ الْمُؤْثِرِ وَ الْأَثَرِ، فَلَا حَاجَةَ للهِ تَعَالَى إِلَى الْمُؤْثِرِ، وَ لَا عِلَّةَ لِوُجُوْدِهِ جَلَّ وَ عَزَّ. وَ إِلَيْهِ الْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ تَعَالَى: “وَ لَمْ يُوْلَدْ”، أَيْ لَمْ يَتَوَلَّدْ وُجُوْدُهُ تَعَالَى عَنْ شَيْءٍ، أَيْ لَا سَبَبَ لِوُجُوْدِهِ تَعَالَى لِوُجُوْبِ قِدَمِهِ وَ بَقَائِهِ.
Dengan firman-Nya: (لَمْ يَلِدْ وَ لَمْ يُوْلَدْ), Allah menetapkan wajibnya ketidakbutuhan Allah jalla wa ‘azza pada mu’atstsir dan atsar. Maka tidak ada kebutuhan bagi Allah ta‘ālā kepada mu’atstsir, dan tidak ada ‘illat bagi wujud-Nya jalla wa ‘azza. Pada pemahaman itu isyarat firman Allah ta‘ālā: (وَ لَمْ يُوْلَدْ), maksudnya wujud-Nya tidak terlahirkan dari sesuatu pun. Artinya tidak ada sebab bagi wujud-Nya, karena wajibnya qidam dan baqā’ bagi-Nya.
وَ كَذلِكَ لَا حَاجَةَ لَهُ تَعَالَى إِلَى الْأَثَرِ، وَ هُوَ مَا أَوْجَدَ تَعَالَى مِنَ الْحَوَادِثِ، وَ لَا غَرَضَ لَهُ جَلَّ وَ عَزَّ فِيْ شَيْءٍ مِنْهَا، تَعَالَى عَنِ الْأَغْرَاضِ وَ الْأَعْرَاضِ، وَ لَا مُعِيْنَ لَهُ تَعَالَى فِيْ شَيْءٍ مِنْهَا، بَلْ هُوَ جَلَّ وَ عَزَّ فَاعِلٌ بِمَحْضِ الْاِخْتِيَارِ بِلَا وَاسِطَةٍ وَ لَا مُعَالِجَةٍ وَ لَا عِلَّةٍ. وَ إِلَيْهِ الْإِشَارَةُ بِقُوْلِهِ تَعَالَى: “لَمْ يَلِدْ” أَيْ لَمْ يَتَوَلَّدْ وُجُوْدُ شَيْءٍ عَنْ ذَاتِهِ الْعَلِيَّةِ، بِأَنْ يَكُوْنَ بَعْضًا مِنْهُ أَوْ نَاشِئًا عَنْهُ مِنْ غَيْرِ قَصْدٍ أَوْ نَاشِئًا عَنْهُ تَعَالَى بِاسْتِعَانَةٍ مِمَّنْ يُزَاوِجُهُ عَلَى ذلِكَ، أَوْ ثَمَّ غَرَضٌ يَحْمِلُ عَلَى ذلِكَ، كَمَا هُوَ شَأْنُ الزَّوْجَيْنِ وَ نَحْوِهِمَا بِالنِّسْبَةِ لِلْوَلَدِ وَ نَحْوِهِ فِيْ جَمِيْعِ مَا ذُكِرَ.
Begitu pula tidak ada kebutuhan bagi Allah ta‘ālā pada atsar, yaitu makhluk yang diwujudkan-Nya; tidak ada tujuan bagi-Nya jalla wa ‘azza dalam suatu makhluk pun – Maha Luhur Allah dari berbagai tujuan dan harta benda – ; dan tidak ada penolong bagi-Nya dalam suatu makhluk pun, justru Allah jalla wa ‘azza adalah Dzāt yang menciptakannya, dengan murni pilihan-Nya tanpa perantara, aktifitas (bergerak dan diam), maupun alasan. Pada pemahaman seperti itu isyarat firman Allah ta‘ālā: (لَمْ يَلِدْ) maksudnya tidak ada sesuatupun yang terlahir dari Dzāt-Nya Yang Maha Luhur, yaitu menjadi bagian dari-Nya, muncul dari-Nya tanpa sengaja, muncul dari-Nya dengan pertolongan orang yang menikahi-Nya untuk mewujudkannya, atau di situ ada tujuan yang mengarahkan-Nya untuk mewujudkannya, sebagaimana kondisi suami istri dan semisalnya dalam penisbatannya terhadap anak, dan semisalnya dalam hal yang telah disebutkan.
إِذْ لَوْ كَانَ تَعَالَى كَذلِكَ لَزِمَ أَنْ يُمَاثِلُ الْحَوَادِثُ، كَيْفَ وَ هُوَ تَبَارَكَ لَيْسَ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ فَلَا وَالِدَ إِذَنْ وَ لَا صَاحِبَةَ وَ لَا وَلَدَ وَ لَا مُمَثِلَةَ بَيْنَهُ وَ بَيْنَ الْحَوَادِثِ بِوَجْهٍ مِنَ الْوُجُوْهِ، فَتَبَارَكَ اللهُ رَبُّ الْعَالَمِيْنَ.
Sebab, andaikan Allah ta‘ālā demikian adanya, maka pasti menyamai makhluk. Bagaimana hal itu benar, sementara Allah tabaraka tiada satu makhlukpun yang sepadan dengan-Nya. Bila demikian maka tidak ada orang tua, teman, anak baginya, dan tidak ada kesamaan antara Allah dan makhluk dari satu sisi pun tabārakallāhu rabb-ul-‘ālamīn.