Sifat Pertama Yang Wajib Bagi Allah – Wujud – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam (2/2)

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

Rangkaian Pos: Sifat Pertama Yang Wajib Bagi Allah - Wujud - Terjemah Kifayat-ul-'Awam

DALĪL ATAS BARUNYA ALAM.

 

وَ أَمَّا الدَّلِيْلُ عَلَى حُدُوْثِ الْعَالَمِ فَاعْلَمْ أَنَّ الْعَالَمَ أَجْرَامٌ وَ أَعْرَاضٌ فَقَطْ كَمَا تَقَدَّمَ وَ الْأَعْرَاضُ كَالْحَرَكَةَ وَ السَّكُوْنِ حَادِثَةٌ بِدَلِيْلِ أَنَّكَ تُشَاهِدُهَا مُتَغَيِّرَةً مِنْ وُجُوْدٍ إِلَى عَدَمٍ وَ مِنْ عَدَمٍ إِلَى وُجُوْدٍ كَمَا تُرَاهُ فِيْ حَرَكَةِ زَيْدٍ.

Adapun dalīl atas barunya alam maka ketahuilah bahwa alam itu terdiri dari ajrām dan a‘rādh saja, sebagaimana yang telah terdahulu dan a‘rādh itu seperti bergerak dan diam adalah baru dengan dalīl bahwa anda dapat menyaksikannya berubah-ubah dari ada kepada tidak ada dan dari tidak ada kepada ada sebagaimana yang dapat anda lihat pada gerakan si Zaid.”

فَإِنَّهَا تَنْعَدِمُ إِنْ كَانَ سَاكِنًا وَ سُكُوْنِهِ يَنْعَدِمُ إِنْ كَانَ مُتَحَرِّكًا.

Maka sesungguhnya gerakan itu menjadi tidak ada jika dia diam. Dan (juga sebagaimana yang anda lihat pada) diamnya (si Zaid) di mana dia menjadi tidak ada jika dia bergerak.

فَسُكُوْنُهُ الَّذِيْ بَعْدَ حَرَكَتِهِ وُجِدَ بَعْدَ أَنْ كَانَ مَعْدُوْمًا بِالْحَرَكَةِ وَ حَرَكَتُهُ الَّتِيْ بَعْدَ سُكُوْنِهِ وُجِدَتْ بَعْدَ أَنْ كَانَتْ مَعْدُوْمَةً بِسُكُوْنِهِ.

Maka diamnya, si Zaid yang ada sesudah bergeraknya didapatkan sesudah diamnya itu ma‘dūm dengan gerakan dan bergeraknya si Zaid yang ada sesudah diamnya didapatkan sesudah gerakannya itu ma‘dūm dengan diamnya.”

وَ الْوُجُوْدُ بَعْدَ الْعَدَمِ هُوَ الْحُدُوْثُ فَعَلِمْتَ أَنَّ الْأَعْرَاضَ حَادِثَةٌ.

Sedangkan ada sesudah tidak ada adalah baru, maka anda tahu bahwa a‘rādh itu baru.”

وَ الْأَجْرَامُ مُلَازِمَةٌ لِلْأَعْرَاضِ لِأَنَّهُ لَا تَخْرُجُ عَنْ حَرَكَةٍ وَ سُكُوْنٍ وَ كُلُّ مَا لَازَمَ الْحَادِثُ فَهُوَ حَادِثٌ أَيْ مَوْجُوْدٌ بَعْدَ عَدَمٍ فَالْأَجْرَامُ حَادِثٌ أَيْضًا كَالْأَعْرَاضِ.

Dan Ajrām itu adalah sesuatu yang melazimi (menetapi) bagi A‘rādh karena dia tidak keluar dari gerakan dan diam. Sedangkan setiap sesuatu yang melazimi ada yang baru maka diapun menjadi baru, dalam arti ada sesudah tidak ada. Maka Ajrām pun baru jug seperti A‘rādh.”

فَحَاصِلُ: الدَّلِيْلُ أَنْ تَقُوْلَ الْأَجْرَامُ مُلَازِمَةٌ لِلْأَعْرَاضِ الْحَادِثَةِ وَ كُلُّ مَا لَازَمَ الْحَادِثَ حَادِثٌ فَيُنْتَجُ أَنَّ الْأَجْرَامَ حَادِثَةٌ.

Maka kesimpulan dalīl ini adalah bahwa anda berkata: Ajrām itu melazimi bagi A‘rādh yang baru dan setiap sesuatu yang melazimi akan yang baru adalah baru, maka disimpulkan bahwa Ajrām itu baru.”

 

KESIMPULAN DALĪL WUJŪD

 

وَ حُدُوْثُ الْأَمْرَيْنِ أَعْنِي الْأَجْرَامَ وَ الْأَعْرَاضَ أَيْ وُجُوْدُهُمَا بَعْدَ عَدَمٍ، دَلِيْلُ وُجُوْدِهِ تَعَالَى لِأَنَّ كُلَّ حَادِثٍ لَا بَدَّ لَهُ مِنْ مُحْدِثٍ وَ لَا مُحْدِثَ لِلْعَالَمِ إِلَّا اللهُ تَعَالَى وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ كَمَا سَيَأْتِيْ فِيْ دِلِيْلِ الْوَحْدَانِيَّةِ لَهُ تَعَالَى.

Dan barunya dua perkara itu ya‘ni Ajrām dan A‘rādh dalam arti: KEDUANYA ITU ADA SESUDAH TIDAK ADA, adalah dalīl bagi wujūdnya Allah s.w.t. karena setiap yang baru (ḥādits) pasti ada dzāt yang menjadikannya baru (Muḥdits) dan tidak ada dzāt yang menjadikan baru bagi alam ini kecuali Allah s.w.t. Yang Esa serta tidak ada sekutu bagi-Nya sebagaimana akan datang (keterangannya) pada dalīl waḥdāniyyah bagi Allah s.w.t.

وَ هذَا هُوَ الدَّلِيْلُ الْإِجْمَالِيُّ الَّذِيْ يَجِبُ عَلَى كُلِّ مُكَلَّفٍ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى مَعْرِفَتُهُ كَمَا يَقُوْلُ ابْنُ الْعَرَبِيِّ وَ السَّنُوْسِيِّ وَ يُكَفِّرَانِ مَنْ لَمْ يَعْرِفْهُ فَاحْذَرْ أَنْ يَكُوْنَ فِيْ إِيْمَانِكَ خِلَافٌ.

Dan ini adalah dalīl ijmālī yang wājib atas setiap mukallaf dari laki-laki dan perempuan untuk mengetahuinya sebagaimana dikatakan oleh Ibn-ul-‘Arabī dan Sanūsī. Dan keduanya mengkafirkan orang yang tidak mengetahuinya (dalīl ijmālī tersebut). Maka hati-hatilah bahwa di dalam imanmu itu ada khilāf (perselisihan ‘ulamā’ mengenai telah tsubūt atau tidaknya).”

 

MATHĀLIB SAB‘AH.

 

Ketahuilah bahwa pada dalīl kebaruan alam ini terdapat 7 pokok pembicaraan yang terkenal dengan sebutan MATHĀLIB SAB‘AH yaitu:

  1. Tetapnya sesuatu yang lebih atas Ajrām yang diibaratkan dengan A‘rādh.
  2. Tetapnya keadaan A‘rādh itu tidak berdiri dengan sendirinya.
  3. Tetapnya keadaan A‘rādh itu tidak berpindah-pindah dari satu jirim ke jirim yang lain.
  4. Tetapnya keadaan A‘rādh itu tidak bersembunyi.
  5. Tetapnya keadaan Ajrām sebagai yang melazimi bagi A‘rādh itu.
  6. Tetapnya keadaan yang qadīm menjadi tidak tiada.
  7. Mustaḥīl-nya segala yang baru itu, tidak ada permulaan baginya.

Semua itu telah dikumpulkan oleh sebagian ‘ulamā’ melalui ucapannya:

زِيْدَ مَ قَامَ مَا انْتَقَلْ مَا كَمِنَا مَا انْفَكَّ لَا عُدْمَ قَدِيْمٍ لَاحِنَا.

Perkara yang lebih itu tidak berdiri dengan sendirinya, dia tidak berpindah-pindah, dia tidak bersembunyi, dia tidak terlepas, tidak ada ‘adam bagi yang qadīm dan tidak ada segala yang baru itu yang tidak mempunyai permulaan baginya.”

– Lafal (زِيْدَ) adalah isyārat kepada yang pertama dan merupakan bantahan kepada Filosof yang tidak menerima tetapnya sesuatu yang lebih atas Ajrām sehingga sah (shaḥḥ) pendalilan dengannya atas barunya Ajrām. Dalīl tetapnya sesuatu yang lebih ya‘ni A‘rādh adalah penyaksian (مُشَاهَدَةُ).

– Lafal (مَ قَامَ) (dengan membuang alif pada (مَا) karena wazan) adalah isyārat kepada yang kedua dan merupakan bantahan kepada mereka yang tidak menerima ketiadaan A‘rādh (عَدَمُ الْأَعْرَاضِ) dengan alasan bolehnya dia berdiri dengan sendirinya jika jirim tidak bersifat dengannya. Dalīl bahwa A‘rādh itu tidak berdiri dengan sendirinya adalah: “Tidak masuk akal adanya sifat dengan tanpa maushūf (yang disifati), maka tidak masuk akal adanya gerakan dengan tanpa yang bergerak umpamanya.

– Lafal (مَا انْتَقَلْ) adalah isyārat kepada yang ketiga dan merupakan bantahan bagi mereka yang tidak menerima (عَدَمُ الْأَعْرَاضِ) dengan alasan bolehnya dia berpindah dari satu jirim ke jirim yang lain. Dalil bahwa dia tidak berpindah adalah: jika dia berpindah maka jadilah dia sesudah berpisah dengan yang pertama dan sebelum sampai pada yang kedua berdiri dengan sendirinya sedangkan keadaannya yang seperti itu sudah dibatalkan.

– Lafal (مَا كَمِنَا) adalah isyārat pada yang keempat dan merupakan batahan kepada mereka yang tidak menerima (عَدَمُ الْأَعْرَاضِ) dengan alasan bolehnya dia bersembunyi pada jirim. Maka gerakan itu bersembunyi pada jirim jika dia diam. Dalīl bahwa dia tidak bersembunyi adalah lazim atasnya berkumpul dua yang berlawanan sedangkan yang seperti itu adalah batal.

– Lafal (مَا انْفَكَّ) adalah isyārat kepada yang kelima dan merupakan bantahan kepada mereka yang tidak menerima “Pelaziman jirim bagi “‘aradh” dengan alasan bolehnya” ‘aradh itu terlepas dari jirim. Dalīl bahwa dia tidak terlepas dari jirim adalah: Tidak masuk akal adanya jirim yang kosong dari gerakan dan kosong pula dari tanpa gerakan karena mustaḥīl terangkatnya dua yang berlawanan.

– Lafal (لَا عُدْمَ قَدِيْمٍ) adalah isyārat kepada yang keenam dan merupakan bantahan kepada mereka yang tidak menerima barunya a‘rādh dengan alasan bahwa sesuatu itu qadīm dan menerima ketiadaan. Dalīl bahwa yang qadīm itu tidak menerima ketiadaan adalah: Bahwa yang qadīm itu tidak ada wujūdnya kecuali wajīb maka dia tidak menerima ketiadaan.

– Lafal (لَاحِنَا) yang merupakan potongan dari perkataan (لَا حَوَادِثَ لَا أَوَّلَ لَهَا) “tidak ada segala yang baru, tidak ada permulaan baginya” adalah isyārat kepada yan ketujuh dan merupakan bantahan bagi mereka yang tidak menerima bahwa (لَا حَوَادِثَ لَا أَوَّلَ لَهَا) dengan alasan bolehnya ‘Aradh itu sebagai (حَوَادِثُ لَا أَوَّلَ لَهَا) “segala yang baru yang tidak ada permulaan baginya” maka jadilah yang melaziminya itu qadīm. Dalīl bahwasanya (لَا حَوَادِثَ لَا أَوَّلَ لَهَا) adalah jika sesuatu itu (حَوَادِثُ) lazimlah dia memiliki permulaan.

Maka perkataan mereka dengan (لَا حَوَادِثَ لَا أَوَّلَ لَهَا) menimbulkan adanya perlawanan (tanāqud).

 

CATATAN:

Berkata Syaikh Bajūrī bahwa MATHĀLIB SAB‘AH ini tidak dapat diketahui kecuali oleh orang-orang yang rāsikh (mantap, kokoh) atau yang sangat dalam ‘ilmu-nya.

Dan Sanūsī berkata: Bahwa dengan MATHĀLIB SAB‘AH inilah si mukallaf akan selamat dari pintu Jahannam yang tujuh.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *