(الْأَوَّلُ) مِنَ الصِّفَاتِ الْوَاجِبَةِ لَهُ تَعَالَى: الْوُجُوْدُ وَ اخْتُلِفَ فِيْ مَعْنَاهُ فَقَالَ غَيْرُ الْإِمَامِ الْأَشْعَرِيْ وَ مَنْ تَبِعَهُ: الْوُجُوْدُ هِيَ الْحَالُ الْوَاجِبَةُ لِلذَّاتِ مَا دَامَتِ الذَّاتُ وَ هذِهِ الْحَالُ لَا تُعَلَّلُ بِعِلَّةِ.
“Yang pertama dari sifat-sifat yang wajib bagi Allah s.w.t. adalah wujūd. Dan diperselisihkan perihal ma‘nanya. Maka berkatalah selain Imām Asy‘arī (ya‘ni Imām ar-Rāzī) dan para pengikutnya: Wujūd itu adalah hal yang wājib bagi dzāt selama tetap dzāt itu dan hal ini tidak disebabkan dengan satu sebab.”
وَ مَعْنَى كَوْنِهَا حَالًا أَنَّهَا لَمْ تَرْتَقِ إِلَى دَرَجَةِ الْمَوْجُوْدِ حَتَّى تُشَاهَدَ وَ لَمْ تَنْحَطَّ إِلَى دَرَجَةِ الْمَعْدُوْمِ حَتَّى تَكُوْنَ عَدَمًا مَحْضًا بَلْ هِيَ وَاسِطَةٌ بَيْنَ الْمَوْجُوْدِ وَ الْمَعْدُوْمِ.
“Dan ma‘na dari keadaan wujūd itu sebagai ḥāl adalah bahwa wujūd itu tidak naik ke derajat maujūd (yang diadakan) sehingga dia dapat disaksikan dan tidak menurun ke derajat ma‘dūm (ditiadakan) sehingga di tidak ada sama sekali, melainkan dia ada di tengah-tengah antara maujūd dan ma‘dūm.”
Perlu diketahui bahwa segala sesuatu itu ada 4 bagian: Maujūd, Ma‘dūm, Ḥāl dan Amrun I‘tibārī. Maujūd adalah sesuatu yang sah (shaḥḥ) melihatnya dan dia adalah yang paling tinggi derajatnya. Ma‘dūm adalah sesuatu yang tidak ada ketetapan baginya dan dia adalah yang paling rendah derajatnya.
Ḥāl adalah sesuatu yang ada ditengah-tengah antara maujūd dan ma‘dūm dan dia lebih rendah derajatnya daripada maujūd dan lebih tinggi daripada ma‘dūm dan juga amrun i‘tibārī.
Amrun i‘tibārī (perkara yang berdasarkan pandangan) ada dua macam: Ikhtirā’ī dan Intizā’ī. Ikhtirā’ī adalah sesuatu yang tidak mempunyai kepastian pada dirinya melainkan dia itu dikira-kirakan oleh orang dan diada-adakan, seperti bakhilnya orang yang mulia dan mulianya orang yang bakhil. Intizā’ī adalah sesuatu yang mempunyai kepastian pada dirinya seperti mulianya orang yang mulia dan bakhilnya orang yang bakhil.
فَوُجُوْدُ زَيْدٍ مَثَلًا حَالٌ وَاجِبَةٌ لِذَاتِهِ أَيْ لَا تَنْفَكُّ عَنْهَا وَ مَعْنَى قَوْلِهِمْ لَا تُعَلَّلَ بِعِلَّةٍ أَنَّهَا لَمْ تَنْشَأْ عَنْ شَيْءٍ بِخِلَافِ كَوْنِ زَيْدٍ قَادِرًا مَثَلًا فَإِنَّهُ نَشَأَ عَنْ قُدْرَتِهِ.
“Maka wujūd si Zaid umpamanya adalah suatu ḥāl yang wājib bagi dzātnya dalam arti tidak terlepas ḤĀL itu dari dzāt tersebut. Dan ma‘na perkataan mereka dengan (لَا تُعَلَّلَ بِعِلَّةٍ) “tidak disebabkan dengan satu sebab” adalah bahwa ḥāl itu tidak timbul dari sesuatu (selain dzāt). Berbeda dengan keadaan si Zaid berkuasa umpamanya maka sesungguhnya keadaan seperti itu adalah timbul dari kekuasaannya.”
فَيَكُوْنُ زَيْدٍ قَادِرًا مَثَلًا وَ وُجُوْدُهُ حَالَانِ قَائِمَانِ بِذَاتِهِ غَيْرُ مَحْسُوْسَيْنِ بِحَاسَّةٍ مِنَ الْحَوَاسِ الْخَمْسِ إِلَّا أَنَّ الْأَوَّلَ لَهُ عِلَّةٌ يَنْشَأُ عَنْهَا وَ هِيَ الْقُدْرَةُ وَ الثَّانِيْ لَا عِلَّةَ لَهُ.
“Maka keadaan si Zaid itu berkuasa umpamanya dan wujūdnya adalah dua ḥāl yang berdiri dengan dzātnya yang tidak dapat dicapai keduanya itu dengan salah satu daripada indera yang lima. Akan tetapi yang pertama mempunyai sebab yang dia timbul daripadanya dan sebab itu adalah qudrat (kekuasaan), sedangkan yang kedua tidak mempunyai sebab.”
وَ هذَا ضَابِطٌ لِلْحَالِ النَفْسِيَّةِ وَ كُلُّ حَالٍ قَائِمَةٍ بِذَاتٍ غَيْرُ مُعَلَّلَةٍ بِعِلَّةٍ تُسَمَّى صِفَةً نَفْسِيَّةً وَ هِيَ الَّتِيْ لَا تُعْقَلُ الذَّاتُ بِدُوْنِهَا أَيْ لَا تُتَصَوَّرُ الذَاتُ بِالْعَقْلِ وَ تُدْرَكُ إِلَّا بِصِفَتِهَا النَّفْسِيَّةِ كَالتَّحَيُّزِ لِلْجِرْمِ فَإِنَّكَ إِنْ تَصَوَّرْتَهُ وَ أَدْرَكْتَهُ أَدْرَكْتَ أَنَّهُ مُتَحَيِّزٌ.
“Dan inilah dhābit (kaidah) bagi ḤĀL NAFSIYYAH. Dan setiap ḥāl yang berdiri dengan dzāt dalam keadaan tidak disebabkan dengan satu sebab dinamakan dengan sifat nafsiyyah. Dan dia (sifat nafsiyyah itu) adalah sesuatu yang dzāt tidak bisa difahami dengan tanpa dia, artinya tidak ditashawwur akan dzāt itu ya‘ni tidak dapatkan dia kecuali dengan sifatnya yang nafsiyyah seperti taḥayyuz (mengambil tempat) bagi jirim. Maka sesungguhnya jika engkau telah mentashawwurnya ya‘ni engkau telah mendapatkannya (jirim tersebut) niscaya engkau dapatkan bahwa dia itu memang mengambil tempat.”
Jadi dapat diketahui melalui ibarat ini bahwa dhābit dari pada ḤĀL NAFSIYYAH ada dua ya‘ni:
Sebab dinamakan wujūd itu dengan ḤĀL NAFSIYYAH (mengenai diri) adalah karena Ḥāl tersebut hanya melazimi diri ya‘ni dzāt. Berbeda dengan ḤĀL MA‘NAWIYYAH karena dia di samping melazimi dzāt juga melazimi beberapa ma‘na. Pada ibarat tersebut kata-kata (تُدْرَكُ) adalah tafsiran dari kata (تُتَصَوَّرُ). Demikian pula kata (أَدْرَكْتَهُ) adalah tafsiran bagi kata (تَصَوَّرْتَهُ).
وَ عَلَى هذَا الْقَوْلِ وَ هُوَ كُوْنُ الْوُجُوْدِ حَالًا فَذَاتُ اللهِ تَعَالَى غَيْرُ وُجُوْدِهِ ذَاتُ الْحَوَادِثِ غَيْرُ وُجُوْدَاتِهَا.
“Dan berdasarkan pendapat ini ya‘ni keadaan wujūd itu sebagai ḤĀL maka dzāt Allah s.w.t. adalah selain wujūd-Nya dan dzāt segala yang baru adalah selain wujūd-wujūdnya.”
وَ قَالَ الْأَشْعَرِيُّ وَ مَنْ تَبِعَهُ الْوُجُوْدُ عَيْنُ الْمَوْجُوْدِ فَعَلَى هذَا وُجُوْدُ اللهِ عَيْنُ ذَاتِهِ غَيْرُ زَائِدٍ عَلَيْهِ فِي الْخَارِجِ وَ وُجُوْدُ الْحَادِثِ عَيْنُ ذَاتِهِ.
“Dan berkata Imām Asy‘arī dan para pengikutinya: Wujūd adalah maujūd itu sendiri, maka berdasarkan pendapat ini wujūd Allah adalah dzāt-Nya sendiri, tidak lebih atasnya di luar dan wujūd yang baru itu adalah dzātnya sendiri.”
وَ عَلَى هذَا لَا يَظْهَرُ عَدُّ الْوُجُوْدِ صِفَةً لِأَنَّ الْوُجُوْدَ عَيْنُ الذَّاتِ وَ الصِّفَةُ غَيْرُ الذَّاتِ.
“Berdasarkan ini, tidaklah jelas menganggap wujūd itu sebagai sifat karena wujūd itu adalah dzāt itu sendiri sedangkan sifat adalah selain dzāt.”
بِخِلَافِهِ عَلَى الْقَوْلِ الْأَوَّلِ فَإِنَّ جَعْلَهُ صِفَةً ظَاهِرٌ.
“Lain halnya atas pendapat yang pertama, maka sesungguhnya menjadikan wujūd itu sebagai sifat adalah jelas.”
وَ مَعْنَى وُجُوْبِ الْوُجُوْدِ لَهُ تَعَالَى عَلَى الْأَوَّلِ أَنَّ الصِّفَةَ النَّفْسِيَّةَ الَّتِيْ هِيَ حَالٌ ثَابِتَةٌ لَهُ تَعَالَى وَ مَعْنَاهُ عَلَى الثَّانِيْ أَنَّ ذَاتَهُ تَعَالَى مَوْجُوْدَةٌ مُحَقَّقَةٌ فِي الْخَارِجِ بِحَيْثُ لَوْ كُشِفَ عَنَّا الْحِجَابُ لَرَأَيْنَاهَا.
“Dan ma‘na wājibnya wujūd bagi Allah s.w.t. berdasarkan pendapat yang pertama adalah bahwa sifat nafsiyyah yang dia itu berupa ḤĀL adalah tetap bagi Allah s.w.t. Dan ma‘nanya berdasarkan pendapat yang kedua adalah bahwa dzāt Allah itu maujūd serta taḥqīq (dapat dipastikan dengan dalīl) di luar sekira kalau disingkapkan ḥijāb untuk kita niscaya kita dapat melihatnya.”
فَذَاتُ اللهِ تَعَالَى مُحَقَّقَةٌ إِلَّا أَنَّ الْوُجُوْدَ غَيْرُهَا عَلَى الْأَوَّلِ وَ هِيَ هُوَ عَلَى الثَّانِيْ.
“Maka dzāt Allah s.w.t. itu adalah taḥqīq (berdasarkan dari dua pendapat tersebut). Akan tetapi wujūd adalah selain dzāt menurut pendapat yang pertama dan dzāt itu adalah wujūd menurut pendapat yang kedua.”
وَ الدَّلِيْلُ عَلَى وُجُوْدِهِ تَعَالَى: حُدُوْثُ الْعَالَمِ أَيْ وُجُوْدُهُ بَعْدَ عَدَمٍ وَ الْعَالَمُ أَجْرَامٌ كَالذَّوَاتِ وَ أَعْرَاضٌ كَالْحَرَكَةِ وَ السُّكُوْنِ وَ الْأَلْوَانِ.
“Dan dalīl atas wujūdnya Allah s.w.t. adalah barunya alam ini ya‘ni wujūdnya sesudah ‘adam atau adanya sesudah tidak ada. Dan alam adalah AJRĀM (jama‘ dari (جِرْمٌ)) seperti dzāt-dzāt dan A‘RĀDH (jama‘ dari (عَرَضٌ)) seperti gerakan, diam dan warna-warna.”
Mengenai jirim maka sudah berlalu ta‘rīfnya, baik ta‘rīf secara hakekat maupun ta‘rīf secara tamtsīl. Adapun mengenai ‘Aradh maka ta‘rīfnya adalah: (مَا قَامَ بِغَيْرِهِ مِنَ الصِّفَاتِ الْحَادِثَةِ.) “Sesuatu yang berdiri dengan selainnya berupa sifat-sifat yang baru”. Ta‘rīf ini adalah dengan hakekat. Adapun ta‘rīfnya dengan tamtsīl maka seperti yang terdapat dalam ibarat ya‘ni bergerak, diam dan warna-warna, di mana semua ini adalah sifat-sifat yang baru yang harus berdiri dengan selainnya (ya‘ni dzāt).”
وَ إِنَّمَا كَانَ حُدُوْثُ الْعَالَمِ دَلِيْلًا عَلَى وُجُوْدِ اللهِ تَعَالَى لِأَنَّهُ لَا يَصِحُّ أَنْ يَكُوْنَ حَادِثَةً بِنَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ مُوْجِدٍ يُوْجِدُ قَبْلَ وُجُوْدِهِ كَانَ وُجُوْدُهُ مُسَاوَيًا لِعَدَمِهِ فَلَمَّا وُجِدَ وَ زَالَ عَدَمُهُ عَلِمْنَا أَنَّ وُجُوْدَهُ تَرَجَّحَ عَلَى عَدَمِهِ وَ قَدْ كَانَ هذَا الْوُجُوْدُ مُسَاوِيًا لِلْعَدَمِ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يَكُوْنَ تَرَجَّحَ عَلَى الْعَدَمِ بِنَفْسِهِ.
“Hanya saja barunya alam ini sebagai dalīl atas wujūdnya Allah s.w.t. karena tidaklah sah (shaḥḥ) bahwa alam ini (baru) dengan sendirinya, dengan tanpa mūjid (penjadi) yang menjadikannya, karena alam ini sebelum wujūdnya, adalah wujūdnya itu sama dengan ‘adamnya (ketiadaannya). Maka tatkala didapatkan alam ini dan telah lenyap ‘adamnya tahulah kita bahwa wujūdnya menjadi lebih unggul (tarajjuh) atas ‘adamnya, sedangkan dahulu wujūd itu adalah sama bagi ‘adam, maka tidaklah sah (shaḥḥ) bahwa wujūd tersebut menjadi lebih unggul atas ‘adam dengan sendirinya.”
فَتَعَيَّنَ أَنَّ لَهُ مُرَجِّحًا غَيْرَهُ وَ هُوَ الَّذِيْ أَوْجَدَهُ لِأَنَّ تَرَجُّحَ أَحَدِ الْأَمْرَيْنِ الْمُتَسَاوِيَيْنِ مِنْ غَيْرِ مُرَجَّحٍ مُحَالٌ.
“Maka nyatalah bahwa wujūd itu mempunyai murajjih yang lain daripadanya. Dan dialah si Murajjih itu yang telah menjadikannya (lebih unggul) karena unggulnya salah satu dari dua perkara yang sama dengan tanpa murajjih adalah mustaḥīl.”
مَثَلًا زَيْدٌ قَبْلَ وُجُوْدِهِ يَجُوْزُ أَنْ يُوْجَدَ فِيْ سَنَةٍ كَذَا وَ يَجُوْزُ أَنْ يُبْقَى عَلَى عَدَمِهِ فَوُجُوْدُهُ مُسَاوِيًا لِعَدَمِهِ.
“Umpamanya: Zaid, sebelum wujūdnya boleh dijadikan pada tahun…. (sekian) dan boleh pula dikekalkan atas ‘adamnya, maka wujūdnya adalah sama bagi ‘adamnya (karena sama-sama boleh).”
فَلَمَّا وُجِدَ وَ زَالَ عَدَمُهُ فِي الزَّمَنِ الَّذِيْ وُجِدَ فِيْهِ عَلِمْنَا أَنَّ وُجُوْدَهُ بِمُوْجِدٍ لَا مِنْ نَفْسِهِ.
“Maka tatkala didapatkan si Zaid itu dan telah lenyap ‘adamnya di zaman yang dia didapatkan di dalamnya. Tahulah kita bahwa wujūd-nya itu dengan mūjid bukan dari dirinya sendiri.”
فَحَاصِلُ الدَّلِيْلِ أَنْ تَقُوْلَ الْعَالَمُ مِنْ أَجْرَامٍ وَ أَعْرَاضٍ حَادِثٌ أَيْ مُوْجَدٌ بَعْدَ عَدَمٍ وَ كُلُّ حَادِثٍ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ مُحْدَثٍ.
“Maka kesimpulan dalīl itu adalah bahwa anda berkata: Alam berupa Ajrām dan A‘rādh adalah ḥādits dalam arti dijadikan sesudah tidak ada. Dan setiap yang ḥādits (yang baru) pasti dia mempunyai muḥdits (ya‘ni yang menjadikan ḥādits).”
فَيُنْتَجُ أَنَّ الْعَالَمَ لَا بُدَّ لَهُ مِنْ مُحْدِثٍ وَ هذَا الَّذِيْ يُسْتَفَادُ بِالدَّلِيْلِ الْعَقْلِيِّ.
“Maka disimpulkan bahwa alam ini pasti memiliki muḥdits. Dan ini adalah yang dapat difahami dengan dalīl ‘aqlī.”
وَ أَمَّا كَانَ كَوْنُ الْمُحْدِثِ يُسَمَّى بِلَفْظِ الْجَلَالَةِ الشَّرِيْفِ وَ بِبَقِيَّةِ الْأَسْمَاءِ فَهُوَ مُسْتَفَادٌ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ عَلَيْهِمْ أَفْضَلُ الصَّلَاةِ وَ السَّلَامِ فَتَنَبَّهْ لِهذِهِ الْمَسْئَلَةِ.
“Dan adapun keadaan muḥdits itu diberi nama dengan lafzh-ul-Jalālah yang mulia dan dengan nama-nama lainnya maka dia baru dapat difahami dari para Nabi semoga atas mereka itu shalawat dan salam maka ingat-ingatlah anda pada masalah ini”.
وَ هذَا الدَّلِيْلُ الَّذِيْ سَبَقَ وَ هُوَ حُدُوْثُ الْعَالَمِ دَلِيْلُ وُجُوْدِهِ تَعَالَى.
“Dan dalīl yang telah lalu ini ya‘ni barunya alam adalah dalīl wujūdnya Allah s.w.t.”