الصِّفَةُ السَّادِسَةُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى الْقُدْرَةُ وَ هِيَ صِفَةٌ تُؤَثِّرُ فِي الْمُمْكِنِ الْوُجُوْدَ أَوِ الْعَدَمَ.
“Sifat yang ketujuh yang wajib bagi Allah s.w.t. adalah qudrat dan dia adalah sifat yang memberi bekas pada yang mungkin akan wujūd atau ‘adam.”
Penyandaran ta’tsīr (pemberian bekas) kepada qudrat adalah majāz ‘aqlī dengan hubungan SABABIYYAH atau (الْإِسْنَادُ إِلَى سَبَبِ الْفِعْلِ) ya‘ni penyandaran kepada sebab adanya perbuatan di mana pemberian bekas dengan wujūd atau ‘adam kepada yang mungkin barulah bisa dengan adanya qudrat. Adapun qarīnahnya adalah kemustahilan dari penyandaran ta’tsīr kepada qudrat secara hakikat karena qudrat itu tidak bisa melakukan ta’tsīr kecuali dengan qudrat juga sehingga lazimlah terjadi berdirinya qudrat dengan qudrat (قِيَامُ الْقُدْرَةِ بِالْقُدْرَةِ) dan ini adalah bāthil karena menimbulkan berdirinya ma‘na dengan ma‘na (قِيَامُ الْمَعْنَى بِالْمَعْنَى).
فَتَتَعَلَّقُ بِالْمَعْدُوْمِ فَتُوْجِدُهُ كَتَعَلُّقِهَا بِكَ قَبْلَ وُجُوْدِكَ وَ تَتَعَلَّقُ بِالْمَوْجُوْدِ فَتُعْدِمُهُ كَتَعَلُّقِهَا بِالْجِسْمِ الَّذِيْ أَرَادَ اللهُ إِعْدَامَهُ فَيَصِيْرُ بِهَا مَعْدُوْمًا أَيْ لَا شَيْءٍ.
“Maka ta‘alluq-lah ia (sifat qudrat) dengan yang ma‘dūm maka diapun menjadikannya, seperti ta‘alluq-nya qudrat itu dengan anda sebelum anda ada. Dan ta‘alluq pula ia (qudrat) dengan yang maujūd maka dia meniadakannya, seperti ta‘alluq-nya qudrat itu dengan jisim di mana Allah telah menghendaki untuk meniadakannya, maka jadilah jisim itu ma‘dūm dalam arti “TIDAK ADA SESUATU.”
Arti ta‘alluq adalah:
طَلَبُ الصِّفَةِ أَمْرًا زَائِدًا عَلَى قِيَامِهَا بِالذَاتِ.
“Tuntutan sifat akan perkara yang lebih atas berdirinya dengan dzāt.”
وَ هذَا التَّعَلُّقُ تَنْجِيْزِيٌّ بِمَعْنَى أَنَّهَا تَعَلَّقَتْ بِالْفِعْلِ وَ التَّعَلُّقُ التَّنْجِيْزِيُّ حَادِثٌ.
“Ta‘alluq ini adalah tanjīzī dengan ma‘na bahwa dia (si qudrat) ta‘alluq dengan perbuatan. Dan ta‘alluq tanjīzī tersebut adalah ḥādits.”
وَ لَهَا تَعَلُّقٌ صُلُوْحِيٌّ قَدِيْمٌ وَ هُوَ صَلَاحِيَتُهَا فِي الْأَزَلِ لِلْإِيْجَادِ فَهِيَ صَالِحَةٌ فِي الْأَزَلِ لِأَنْ تُوْجِدَ زَيْدًا طَوِيْلًا أَوْ قَصِيْرًا أَوْ عَرِيْضًا وَ صَالِحَةٌ لِإعْطَائِهِ الْعِلْمَ.
“Dan bagi qudrat itu ada (juga) ta‘alluq shulūḥī qadīm ya‘ni patutnya (qudrat) pada zaman azali untuk menjadikan. Maka qudrat itu patut pada azal untuk menjadikan si Zaid tinggi, pendek atau lebar dan patut (pula) untuk memberinya ‘ilmu.”
وَ تَعَلُّقُهَا التَّنْجِيْزِيَّ مُخْتَصٌّ بِالْحَالِ الَّذِيْ عَلَيْهِ زَيْدٌ.
“Dan ta‘alluq qudrat yang tanjīzī adalah khusus dengan keadaan yang si Zaid berada atasnya.”
Berarti ta‘alluq tanjīzī berbeda dengan ta‘alluq shulūḥī, karena ta‘alluq shulūḥī tidak khusus dengan ḥāl (keadaan sekarang) karena qudrat sebagaimana dia patut untuk memberi si Zaid ‘ilmu juga patut untuk memberi si Zaid kebodohan dan sebagaimana dia patut untuk menjadikan si Zaid tinggi juga patut untuk menjadikannya pendek dan begitu seterusnya.
فَلَهَا تَعَلُّقَانِ تَعَلُّقٌ صُلُحِيٌّ قَدِيْمٌ وَ هُوَ مَا مَرَّ وَ تَعَلُّقٌ تَنْجِيْزِيٌّ حَادِثٌ وَ هُوَ تَعَلُّقُهَا بِالْمَعْدُوْمِ فَتُوْجِدُهُ وَ بِالْمَوْجُوْدِ فَتُعْدِمُهُ.
“Maka bagi qudrat itu ada dua ta‘alluq ya‘ni ta‘alluq shulūḥī qadīm dan pengertiannya sudah lewat dan ta‘alluq tanjīzī ḥādits yaitu ta‘alluqnya si qudrat dengan yang ma‘dūm maka dia menjadikannya dan dengan yang maujūd maka dia meniadakannya.”
وَ هذَا أَعْنيْ تَعَلُّقَهَا بِالْوُجُوْدِ وَ بِالْمَعْدُوْمِ تَعَلُّقٌ حَقِيْقِيٌّ.
“Dan ini yaitu ta‘alluqnya qudrat dengan yang maujūd dan yang ma‘dūm adalah ta‘alluq hakiki.”
وَ لَهَا تَعَلُّقٌ مَجَازِيٌّ وَ هُوَ تَعَلُّقُهَا بِالْمَوْجُوْدِ بَعْدَ وُجُوْدِهِ وَ قَبْلَ عَدَمِهِ كَتَعَلُّقِهَا بِنَا بَعْدَ وُجُوْدِهَا وَ قَبْلَ عَدَمِنَا وَ يُسمَّى تَعَلُّقَ قَبْضَةٍ بِمَعْنَى أَنَّ الْوُجُوْدَ فِيْ قَبْضَةِ الْقُدْرَةِ إِنْ شَاءَ اللهُ أَبْقَاهُ عَلَى وُجُوْدِهِ وَ إِنْ شَاءَ أَعْدَمَهُ بِهَا.
“Dan bagi qudrat itu ada ta‘alluq majāzī ya‘ni ta‘alluqnya qudrat dengan yang maujūd sesudah terwujūdnya dan sebelum ‘adamnya seperti ta‘alluqnya qudrat dengan kita sesudah terwujūdnya kita dan sebelum ‘adamnya kita (artinya sesudah kita ada dan sebelum kita tiada). Dan ta‘alluq itu dinamakan dengan ta‘alluq qabdhah dengan ma‘na bahwa wujūd itu ada pada genggaman qudrat, jika Allah menghendaki maka Dia menetapkannya atas wujūdnya dan jika Allah menghendaki maka Dia meniadakannya dengan qudrat tersebut.”
Berkata Saktanī bahwa rupa dari keadaan ta‘alluq tersebut sebagai ta‘alluq majāzī adalah bahwa ta‘alluqnya itu bukan atas jalan ta’tsīr. Pendapat Saktanī ini ditolak karena melazimkan bahwa penggunaan ta‘alluq atas ta‘alluq ‘ilmu dan seperti itu adalah majāz juga karena tidak adanya ta’tsīr. Namun Saktanī menjawab bahwa pembicaraan mengenai ta‘alluq majāzī ini hanyalah jika dihubungkan kepada qudrat dan iradat.
وَ كَتَعَلُّقِهَا بِالْمَعْدُوْمِ قَبْلَ أَنْ يُرِيْدَ اللهُ تَعَالَى وُجُوْدَهُ كَتَعَلُّقِهَا بِزَيْدٍ فِيْ زَمَنِ الطُّوْفَانِ فَهُوَ تَعَلُّقُ قَبْضَةٍ أَيْضًا بمَعْنَى أَنَّ الْمَعْدُوْمَ فِيْ قَبْضَةِ الْقُدَرَةِ إِنْ شَاءَ اللهُ أَبقَاهُ عَلَى عَدَمِهِ وَ إِنْ شَاءَ أَخْرَجَهُ مِنَ الْعَدَمِ إِلَى الْوُجُوْدِ.
“Dan seperti ta‘alluqnya qudrat itu dengan yang ma‘dūm sebelum Allah s.w.t. menghendaki akan wujūdnya seperti ta‘alluqnya qudrat itu dengan si Zaid pada zaman TAUFĀN (kematian massal) maka dia adalah ta‘alluq qabdhah pula dengan ma‘na bahwa yang ma‘dūm itu ada pada genggaman qudrat, jika Allah menghendaki niscaya Allah menetapkannya atas ‘adamnya dan jika Allah menghendaki niscaya Dia mengeluarkannya dari ‘adam ke maujūd.”
وَ كَتَعَلُّقِهَا بِنَا بَعْدَ مَوْتِنَا وَ قَبْلَ الْبَعْثِ فَيُسَمَّى تَعَلُّقَ قَبْضَةٍ أَيْضًا بِمَعْنَى مَا تَقَدَّمَ.
“Dan seperti ta‘alluqnya qudrat itu dengan kita sesudah kita mati dan sebelum dibangkitkan maka dinamakan dia dengan ta‘alluq qabdhah juga dengan ma‘na seperti apa-apa yang telah terdahulu.”
فَلَهَا سَبْعُ تَعَلُّقَاتٍ تَعَلُّقٌ صُلُوْحِيٌّ قَدِيْمٌ وَ تَعَلُّقُ قَبْضَةٍ وَ هُوَ تَعَلُّقُهَا بِنَا قَبْلَ أَنْ يُرِيْدَ اللهُ وُجُوْدَنَا وَ تَعَلُّقٌ بِالْفِعْلِ وَ هُوَ إيْجَادُ اللهِ تَعَالَى الشَّيْءِ بِهَا وَ تَعَلُّقُ قَبْضَةٍ وَ هُوَ تَعَلُّقُهَا بِالشَّيْءِ بَعْدَ وُجُوْدِهِ وَ قَبْلَ أَنْ يُرِيْدَ اللهُ عَدَدَمَهُ وَ تَعَلُّقٌ بِالْفِعْلِ وَ هُوَ إِعْدَامُ اللهِ الشَّيْءَ بِهَا وَ تَعَلُّقُ قَبْضَةٍ بَعْدَ عَدَمِهِ وَ قَبْلَ الْبَعْثِ وَ تَعَلُّقُ بِالْفِعْلِ وَ هُوَ إِيْجَادُ اللهِ لَنَا يَوْمَ الْبَعْثِ.
“Maka bagi qudrat itu ada tujuh ta‘alluq:
Apabila kita perhatikan akan tujuh macam ta‘alluq, qudrat ini maka dapat disimpulkan bahwa yang tiga macam adalah ta‘alluq tanjīzī ya‘ni: Ta‘alluq dengan yang ma‘dūm secara ‘adam asli atas jalan menjadikan (التَّعَلُّقُ بِالْمَعْدُوْمِ عَدَمًا أَصْلِيًّا عَلَى وَجْهِ الْإِيْجَادِ), sebagaimana pada nomor tiga dan ta‘alluq dengan yang ma‘dūm secara ‘adam ‘ardhī atas jalan menjadikan juga (التَّعَلُّقُ بِالْمَعْدُوْمِ عَدَمًا عَرْضِيًّا عَلَى وَجْهِ الْإِيْجَادِ) sebagaimana pada nomor tujuh serta ta‘alluq dengan yang maujūd atas jalan meniadakan (التَّعَلُّقُ بِالْمَوْجُوْدِ عَلَى وَجْهِ الْإِعْدَامِ) sebagaimana pada nomor lima.
Dan ta‘alluq yang tiga lagi adalah ta‘alluq qabdhah serta ditambah satu ta‘alluq ya‘ni ta‘alluq shulūḥī qadīm.
Yang dimaksud dengan ‘adam asli adalah ketiadaan yang asalnya memang begitu dalam arti tidak pernah didahului oleh ada.
Sedangkan ‘adam ‘ardhī adalah ketiadaan yang muncul belakangan sesudah didahului oleh ada. Maka ‘adam kita pada zaman azali adalah ‘adam asli karena kita memang belum pernah ada.
Sedangkan ‘adam kita di dalam kubur adalah ‘adam ‘ardhī karena sebelumnya kita pernah ada.
لكِنِ التَّعَلُّقُ الْحَقِيْقِيُّ مِنْ ذلِكَ تَعَلُّقَانِ هُوَ إِيْجَادُ اللهِ بِهَا وَ إِعْدَامُهُ بِهَا وَ هذَا عَلَى التَّفْصِيْلِ.
“Akan tetapi ta‘alluq hakiki dari yang demikian itu ada dua ta‘alluq, ya‘ni penjadian Allah dengan qadrat dan peniadaan Allah dengannya. Dan ini adalah secara tafshīl.”
وَ أَمَّا الْإِجْمَالِيُّ فَلَهَا تَعَلُّقَانِ كَمَا هُوَ الشَّائِعُ تَعَلُّقٌ صَلُوْحِيٌّ وَ تَعَلُّقٌ تَنْجِيْزِيٌّ لكِنِ التَّنْجِيْزِيُّ خَاصٌّ بِالْإِيْجَادِ وَ الْإِعْدَامِ.
“Adapun secara ijmālī maka qudrat itu memiliki dua ta‘alluq sebagaimana yang masyhur. Pertama: Ta‘alluq Shulūḥī dan Kedua Ta‘alluq Tanjīzī. Akan tetapi yang tanjīzī khusus dengan menjadikan dan meniadakan.”
وَ أَمَّا تَعَلُّقُ الْقَبْضَةِ فَلَا يُوْصَفَ بِالتَّنْجِيْزيِّ وَ لَا بِالصَّلُوْحِيِّ الْقَدِيْمِ.
“Adapun ta‘alluq qabdhah maka dia tidak disifatkan dengan tanjīzī dan tidak pula dengan shulūḥī qadīm.”
وَ مَا تَقَدَّمَ أَنَّهَا تَتَعَلَّقُ بِالْوُجُوْدِ وَ بِالْعَدَمِ هُوَ رَأْيُ الْجُمْهُوْرِ وَ قَالَ بَعْضُهُمْ لَا تَتَعَلَّقُ بِالْعَدَمِ فَإِذَا أَرَادَ اللهُ عَدَمَ شَخْصٍ مَنَعَ عَنْهُ الْإِمْدَادَتِ الَّتِيْ هِيَ سَبَبٌ فِيْ بَقَائِهِ.
“Dan apa-apa yang telah terdahulu bahwasanya qudrat itu dengan wujūd dan ‘adam adalah pendapat jumhur ‘ulamā’. Dan sebagian mereka berkata: Qudrat itu tidak ta‘alluq dengan ‘adam karena jika Allah menghendaki akan ‘adamnya seseorang maka Dia mencegahnya dari Imdādāt (perkara-perkara yang memanjangkan hidup) yang dia adalah sebab kebaqā’annya.”
Menurut Imām Ḥaramain: Qudrat itu tidak ta‘alluq dengan peniadaan sesuatu (إِعْدَامُ الشَّيْءِ) sesudah wujūdnya karena jika sesuatu itu berupa ‘aradh maka ketiadaannya sesudah wujūdnya adalah wajib karena ‘aradh itu tidak tinggal pada dua masa (Ya‘ni masa diciptakan dan masa ditiadakan) melainkan dengan semata-mata wujūdnya dia akan menjadi tiada. Maka ketiadaan ‘aradh-‘aradh itu adalah satu perkara yang timbul dari tabiatnya maka jadilah ketiadaannya itu wajib dan qudrat tidaklah ta‘alluq dengan perkara yang wajib.
Sedangkan jika sesuatu itu berupa jauhar atau jirim maka kelangsungannya adalah dengan kelangsungan ‘aradh ya‘ni disyaratkan dengan pemanjangan Allah akan ‘aradh baginya. Maka jika Allah menghendaki ketiadaannya ditahanlah dari padanya ‘aradh-‘aradh itu maka menjadi tiadalah jauhar itu pada waktunya dengan wajib sedangkan qudrat tidak ta‘alluq dengan perkara yang wajib. Bandingan yang demikian itu adalah SUMBU LAMPU DENGAN MINYAKNYA maka jauhar itu berkedudukan sebagai sumbu dan ‘aradh-‘aradh berkedudukan sebagai minyak, jika minyak sudah habis maka padamlah sumbu itu dengan sendirinya tanpa perlu kepada seseorang untuk mematikannya.
Tidak ta‘alluqnya qudrat itu dengan peniadaan sesuatu adalah terjadi pada ketiadaan kita yang datang sesudah kita ada (عَدَمُنَا الطَّارِئُ). Adapun ketiadaan kita pada waktu yang sudah ada ketetapan (فِيْمَا لَا يَزَالُ) sebelum wujūdnya kita maka ta‘alluqlah qudrat itu dengannya dalam arti ketiadaan kita itu berada pada qabdhah (genggaman) qudrat.
Jika Allah menghendaki maka qudrat itu menetapkannya dalam keadaan tiada dan pula jika Allah menghendaki maka qudrat itu mengganti ketiadaan itu dengan wujūd kita.
Adapun ketiadaan kita pada waktu azali maka dia adalah wajib, tidak ta‘alluq qudrat dengannya karena kalau tidak seperti itu maka lazimlah qidam kita sedangkan itu mustaḥīl.