20. SIFAT KETIGA YANG WĀJIB BAGI ALLAH
الصِّفَةُ الثَّالِثَةُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى الْبَقَاءُ وَ مَعْنَاهُ عَدَمُ الْآخِرِيَّةِ لِلْوُجُوْدِ.
“Sifat ketiga yang wājib bagi Allah s.w.t. adalah Baqā’ dan ma‘nanya adalah: Tidak ada akhir bagi wujūd.”
PENGERTIAN BAQĀ’
فَمَعْنَى كَوْنِ اللهِ تَعَالَى بَاقِيًا أَنَّهُ لَا آخِرَ لِوُجُوْدِهِ.
“Maka ma‘na keadaan Allah s.w.t. itu Baqā’ (kekal) adalah bahwa Dia tidak ada akhir bagi wujūd-Nya.”
DALĪL ATAS BAQĀ’NYA ALLAH
وَ الدَّلِيْلُ عَلَى بَقَائِهِ تَعَالَى أَنَّهُ لَوُجَازَ أَنْ يُلْحِقَهُ الْعَدَمُ لَكَانَ حَادِثًا فَيَفْتَقِرُ إِلَى مُحْدِثٍ وَ يَلْزَمُ الدَّوْرُ أَوِ التَّسَلْسُلُ وَ قَدْ تَقَدَّمَ تَعْرِيْفُ كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا فِيْ دَلِيْلِ الْقِدَمِ.
“Dan dalīl atas baqā’-Nya Allah s.w.t. adalah: bahwa kalau boleh Allah itu dihubungi oleh ketiadaan (‘adam) niscaya jadilah Dia baru (ḥādits) maka dia membutuhkan kepada muḥdits dan lazimlah Daur dan Tasalsul. Dan telah terdahulu ta‘rīf masing-masing dari keduanya pada dalīl Qidam.”
وَ تَوْضِيْحُهُ أَنَّ الشَّيْءَ الَّذِيْ يَجُوْزُ عَلَيْهِ الْعَدَمُ يَنْتَفِيْ عَنْهُ الْقِدَمُ لِأَنَّ كُلَّ مَنْ لَحِقَهُ الْعَدَمُ يَكُوْنُ وُجُوْدُهُ جَائِزًا وَ كُلُّ جَائِزٍ الْوُجُوْدِ يَكُوْنُ حَادِثًا وُ كُلُّ حَادِثٍ يَفْتَقِرُ إِلَى مُحْدَثٍ وَ هُوَ تَعَالَى ثَبَتَ لَهُ الْقِدَمُ بِالدَّلِيْلِ الْمُتَقَدِّمِ وَ كُلُّ مَا ثَبَتَ لَهُ الْقِدَمُ اسْتَحَالَ عَلَيْهِ الْعَدَمُ فَدَلِيْلُ الْبَقَاءِ لَهُ تَعَالَى هُوَ دَلِيْلُ الْقِدَمِ.
“Dan penjelasannya adalah bahwa sesuatu yang boleh atasnya ‘adam maka dia terhapus dari qidam karena setiap dzāt yang bisa dihubungi ‘adam jadilah wujūdnya jā’iz dan setiap yang jā’iz wujūd adalah ḥādits dan setiap yang ḥādits membutuhkan kepada Muḥdits. Dan Dia Allah s.w.t. telah tetap bagi-Nya qidam dengan dalīl yang terdahulu dan setiap sesuatu yang telah tetap baginya qidam niscaya mustaḥīl atas-Nya ‘adam. Maka dalīl baqā’ bagi Allah s.w.t. adalah dalīl qidam.”
KESIMPULAN DALĪL BAQĀ’
وَ حَاصِلُهُ أَنْ تَقُوْلَ لَوْ لَمْ يَجِبْ لَهُ الْبَقَاءُ بِأَنْ كَانَ يَجُوْزُ عَلَيْهِ الْعَدَمُ لَانْتَفَى عَنْهُ الْقِدَمُ وَ الْقِدَمُ لَا يَصِحُّ انْتِفَائُهُ عَنْهُ تَعَالَى لِلدَّلِيْلِ الْمُتَقَدِّمِ.
“Dan kesimpulannya adalah bahwa anda berkata: Kalau tidak wājib bagi Allah itu baqā’ dengan bahwa boleh atas-Nya ‘adam niscaya Dia terhapus dari qidam, sedangkan qidam itu tidak sah (shaḥḥ) dihilangkan dari Allah s.w.t. karena dalīl yang terdahulu.”
وَ هذَا هُوَ الدَّلِيْلُ الْإِجْمَالِيُّ لِلْبَقَاء الَّذِيْ يَجِبُ عَلَى كُلِّ شَخْصٍ أَنْ يَعْلَمَهُ.
“Dan inilah dalīl ijmālī bagi baqā’ yang wājib atas setiap orang untuk mengetahuinya.”
وَ هكَذَا كُلُّ عَقِيْدَةٍ يَجِبُ أَنْ يَعْلَمَهَا وَ يَعْلَمَ دَليْلَهَا الْإِجْمَالِيَّ فَإِذَا عَرَفَ بَغْضَ الْعَقَائِدِ بِدَلِيْلِهِ وَ لَمْ يَعْرِفِ الْبَاقِيَ بِدَلِيْلِهِ لَمْ يَكْفِ فِي الْإِيْمَانِ عَلَى رَأْيِ مَنْ لَمْ يَكْتَفِ بِالتَّقْلِيْدِ.
“Dan begitu juga tiap-tiap ‘aqīdah, wājib untuk mengetahuinya dan mengetahui akan dalīlnya yang ijmālī. Maka jika dia mengetahui sebagian ‘aqīdah-‘aqīdah dengan dalīlnya sedangkan dia tidak mengetahui yang lain beserta dalīlnya, tidaklah cukup pada iman berdasarkan pendapat orang yang tidak mencukupkan dengan taqlīd.”