Sifat Ketiga Belas Yang Wajib Bagi Allah – Kalam – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

31. SIFAT KETIGA BELAS YANG WĀJIB BAGI ALLAH S.W.T.

 

الصِّفَةُ الثَّالِثَةُ عَشْرَةَ مِنْ صِفَاتِهِ تَعَالَى الْكَلَامُ وَ هِيَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ قَائِمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى لَيْسَتْ بِحَرْفٍ وَ لَا صَوْتٍ مُنَزَّهَةٌ عَنِ التَّقَدُّمِ وَ التَّأَخُّرِ وَ الْإِعْرَابِ وَ الْبِنَاءِ بِخِلَافِ كَلَامِ الْحَوَادِثِ.

Sifat ke-13 dari sifat-sifat Allah s.w.t. adalah KALĀM. Dan dia adalah sifat yang qadīm yang berdiri dengan dzāt Allah s.w.t. tidak dengan huruf dan tidak pula dengan suara, disucikan daripada terdahulu dan terkemudian serta dari i‘rāb dan binā’. Berlawanan dengan kalam segala yang baru.

 

وَ لَيْسَ الْمُرَادُ بِكَلَامِهِ تَعَالَى الْوَاجِبِ لَهُ تَعَالَى الْأَلْفَاظَ الشَّرِيْفَةَ الْمُنَزَّلَةَ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ لِأَنَّ هذِهِ حَادِثَةٌ وَ الصِّفَةُ الْقَائِمَةُ بِذَاتِهِ تَعَالَى قَدِيْمَةٌ.

Dan bukanlah yang dimaksudkan dengan kalam Allah s.w.t. yang wājib bagi Allah s.w.t. itu adalah lafal-lafal mulia yang diturunkan atas Nabi s.a.w. karena (lafal-lafal mulia) ini adalah baru sedangkan sifat yang berdiri dengan dzāt Allah s.w.t. itu adalah qadīm.”

 

وَ هذِهِ مُشْتَمِلَةٌ عَلَى تَقَدُّمٍ وَ تَأَخُّرٍ وَ إعْرَابٍ وَ سُوَرٍ وَ آيَاتٍ وَ الصِّفَةُ الْقَدِيْمَةُ خَالِيَةٌ عَنْ جَمِيْعِ ذلِكَ فَلَيْسَ فِيْهَا آيَاتٌ وَ لَا سُوَرٌ وَ لَا إِعْرَابٌ لِأَنَّ هذِهِ تَكُوْنُ لِلْكَلَامِ الْمُشْتَمِلِ عَلَى حُرُوْفٍ وَ أَصْوَاتٍ وَ الصِّفَةُ الْقَدِيْمَةُ مُنَزَّهَةٌ عَنِ الْحُرُوْفِ وَ الْأَصْوَاتِ كَمَا تَقَدَّمَ.

Dan (lafal-lafal mulia) ini mengandung atas taqaddum (terdahulu) dan ta’akhkhur (terkemudian) dan i‘rāban serta surat-surat dan ayat-ayat, sedangkan sifat yang qadīm adalah kosong dari semua itu maka tidak ada padanya ayat-ayat dan surat-surat serta i‘rāban karena keadaan ini adalah untuk kalām yang mengandung atas huruf-huruf dan suara-suara sedangkan sifat yang qadīm tersucikan daripada huruf-huruf dan suara-suara sebagaimana terdahulu.”

 

وَ لَيْسَتْ هذِهِ الْأَلْفَاظُ الشَّرِيْفَةُ دَالَّةً عَنِ الصِّفَةِ الْقَدِيْمَةِ بِمَعْنَى أَنَّ الصِّفَةَ الْقَدِيْمَةَ تُفْهَمُ مِنْهَا بَلْ مَا يُفْهَمُ مِنْ هذِهِ الْأَلْفَاظِ مُسَاوٍ لِمَا يُفْهَمُ مِنَ الصِّفَةِ الْقَدِيْمَةِ لَوْ كُشِفَ عَنَّا الْحِجَابُ وَ سَمِعْنَاهَا.

Dan bukankah lafal-lafal mulia ini adalah petunjuk atas sifat yang qadīm dengan ma‘na bahwa sifat yang qadīm itu difahami daripadanya melainkan apa yang difahami dari lafal-lafal ini menyamai bagi apa yang difahami dari sifat yang qadīm kalau saja disingkapkan (dibukakan) bagi kita akan ḥijāb itu dan kita dapat mendengarnya.”

 

فَحَاصِلُهُ أَنَّ الْأَلْفَاظَ هذِهِ تَدُلُّ عَلَى مَعْنًى وَ هذَا الْمَعْنَى مُسَاوٍ لِمَا يُفْهَمُ مِنَ الْكَلَامِ الْقَدِيْمِ الْقَائِمِ بِذَاتِهِ تَعَالَى فَاحْرَصْ عَلَى هذَا الْفَرْقِ فَإِنَّهُ يَغْلُطُ فِيْهِ كَثِيْرٌ.

Maka kesimpulannya bahwa lafal-lafal ini menunjukkan ma‘na dan ma‘na ini menyamai bagi apa yang difahami dari kalām qadīm yang berdiri dengan dzāt Allah s.w.t. maka peliharalah perbedaan ini karena sesungguhnya sering keliru padanya kebanyakan orang.”

 

وَ يُسَمَّى كُلٌّ مِنَ الصِّفَةِ الْقَدِيْمَةِ وَ الْأَلْفَاظِ الشَّرِيْفَةِ قُرْآنًا وَ كَلَامَ اللهِ إِلَّا أَنَّ الْأَلْفَاظَ الشَّرِيْفَةَ مَخْلُوْقَةٌ مَكْتُوْبَةٌ فِي اللَّوْحِ الْمَحْفُوْظِ نَزَلَ بِهَا جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ بَعْدَ أَنْ نُزِّلَتْ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدَرِ فِيْ بَيْتِ الْعِزَّةِ مَحَلٌّ فِيْ سَمَاءِ الدُّنْيَا كُتِبَتْ فِيْ صُحُفٍ وَ وُضِعَتْ فِيْهِ.

Dan dinamakan setiap dari sifat yang qadīm dan lafal-lafal yang mulia itu dengan nama Qur’ān dan Kalāmullāh. Akan tetapi lafal-lafal yang mulia itu adalah makhlūq (diciptakan) serta tertulis pada lauḥ-ul-maḥfūzh yang diturunkan melalui Jibrīl a.s. atas Nabi s.a.w. sesudah dia diturunkan pada Lailat-ul-Qadar di BAIT-UL-‘IZZAH, satu tempat di langit dunia dalam keadaan tertulis pada shaḥīfah-shaḥīfah (lembaran-lembaran) dan diletakkan di dalamnya (ya‘ni di dalam Bait-ul-‘Izzah itu).”

 

قِيْلَ نُزِّلَتْ فِيْ بَيْتِ الْعِزَّةِ دَفْعَةً وَاحِدَةً ثُمَّ نُزِّلَتْ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فِيْ عِشْرِيْنَ سَنَةً وَ قِيْلَ فِيْ ثَلَاثٍ وَ عِشْرِيْنَ وَ قِيْلَ فِيْ خَمْسٍ وَ عِشْرِيْنَ.

Dikatakan: Lafal-lafal yang mulia itu diturunkan di Bait-ul-‘Izzah secara sekaligus, kemudian diturunkan atas Nabi s.a.w. selama 20 tahun dan dikatakan selama 23 tahun dan ada lagi dikatakan selama 25 tahun.”

 

وَ قِيْلَ كَانَ يُنَزِّلُ فِيْ بَيْتِ الْعِزَّةِ فِيْ لَيْلَةِ الْقَدَرِ بقَدْرِ مَا يُنَزَّلُ كُلَّ سَنَةٍ وَ لَمْ يُنَزَّلْ فِيْ بَيْتِ الْعِزَّةِ دَفْعَةً وَاحِدَةً.

Dan pendapat lain mengatakan Qur’ān itu diturunkan di Bait-ul-‘Izzah pada Lailat-ul-Qadar dengan ukuran apa-apa yang akan diturunkan pada setiap tahun dan dia tidak diturunkan di Bait-ul-‘Izzah secara sekaligus.”

 

وَ الَّذِيْ نُزِّلَ عَلَيْهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ اللَّفْظُ وَ الْمَعْنَى وَ قِيْلَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْمَعْنَى فَقَطْ.

Dan yang diturunkan atas Nabi s.a.w. adalah lafal dan ma‘na. Dikatakan bahwa yang diturunkan atas Nabi itu adalah ma‘na saja.”

 

وَ اخْتَلَقَ الْقَائِلُوْنَ بِهذَا فَقَالَ بَعْضُهُمْ عَبَّرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنِ الْمَعْنَى بِالْأَلْفَاظِ مِنْ عِنْدِهِ وَ قِيْلَ الَّذِيْ عَبَّرَ عَنْهَا جِبْرِيْلُ عَلَيْهِ السَّلَامُ.

Dan telah berselisih orang-orang yang berpendapat dengan ini (bahwa yang diturunkan itu ma‘na saja). Maka sebagian mereka berkata: Nabi s.a.w. meng‘ibaratkan (menyatakan) tentang ma‘na itu dengan lafal-lafal dari dirinya. Dan dikatakan bahwa yang meng‘ibaratkan (ma‘na) dengan lafal-lafal itu adalah Jibrīl a.s.”

 

وَ التَّحْقِيْقُ أَنَّهَا نُزِّلَتْ لَفْظًا وَ مَعْنًى وَ بِالْجُمْلَةِ فَالصِّفَةُ الْقَائِمَةُ بِذَاتِهِ تَعَالَى قَدِيْمَةٌ لَيْسَتْ بِحَرْفٍ وَ لَا صَوْتٍ.

Dan yang benar adalah bahwa lafal-lafal yang mulia itu diturunkan dengan lafal dan ma‘nanya. Dengan sejumlah keterangan itu maka sifat yang berdiri dengan dzāt Allah s.w.t. adalah qadīm, tidak dengan huruf dan tidak pula dengan suara.”

 

وَ اسْتَشْكَلَ الْمُعْتَزِلَةُ وُجُوْدَ كَلَامٍ مِنْ غَيْرِ حُرُوْفٍ فَأَجَابَ أَهْلُ السُّنَّةِ بِأَنَّ حَدِيْثَ النَّفْسِ كَلَامٌ يَتَكَلَّمُ بِهِ الشَّخْصُ فِيْ نَفْسِهِ مِنْ غَيْرِ حَرْفٍ وَ لَا صَوْتٍ فَقَدْ وُجِدَ كَلَامٌ مِنْ غَيْرِ حَرْفٍ وَ لَا صَوْتٍ.

Dan Mu‘tazilah menganggap sulit adanya kalām tanpa huruf. Maka Ahl-us-Sunnah menjawab bahwa bisikan jiwa adalah kalām yang seseorang bercakap-cakap dengannya dalam jiwanya tanpa huruf dan suara, maka sungguh telah didapatkan kalām tanpa huruf dan suara.”

 

إِنَّ الْكَلَامَ لَفِيْ الْفُؤَادِ وَ إِنَّمَا
جُعِلَ اللِّسَانُ عَلَى الْفُؤَادِ دَلِيْلًا.

Sesungguhnya kalām itu benar-benar di dalam hati dan lidah itu hanyalah dijadikan sebagi dalil atas apa yang ada di dalam hati.”

 

وَ لَيْسَ مُرَادُ أَهْلِ السُّنَّةِ تَشْبِيْهَ كَلَامِهِ تَعَالَى بِحَدِيْثِ النَّفْسِ لِأَنَّ كَلَامَهُ تَعَالَى قَدِيْمٌ وَ حَدِيْثَ النَّفْسِ حَادِثٌ بَلْ مُرَادُهُمُ الرَّدُّ عَلَى الْمُعْتَزِلَةِ فِيْ قَوْلَهِمْ لَا يُوْجَدُ كَلَامٌ مِنْ غَيْرِ حَرْفٍ وَ لَا صَوْتٍ.

Dan bukanlah maksud Ahl-us-Sunnah itu menyamakan Kalām Allah s.w.t. dengan bisikan jiwa karena Kalām Allah s.w.t. itu qadīm dan bisikan jiwa adalah baru tetapi maksud mereka itu adalah menolak atas Mu‘tazilah dalam hal ucapan mereka (bahwa) tidaklah didapatkan kalām tanpa huruf dan tanpa suara.”

DALIL WAJIBNYA KALĀM BAGI ALLAH.

وَ دَلِيْلُ وُجُوْبِ الْكَلَامِ لَهُ تَعَالَى قَوْلُهُ تَعَالَى وَ كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا فَقَدْ أَثْبَتَ لِنَفْسِهِ كَلَامًا.

Dan dalil wajibnya kalām bagi Allah s.w.t. adalah firman Allah s.w.t. (وَ كَلَّمَ اللهُ مُوْسَى تَكْلِيْمًا) = Dan Allah telah berbicara pada Mūsā dengan sebenar-benar pembicaraan” Maka sungguh, Allah telah menetapkan Kalām bagi diri-Nya.”

Dalam hal ayat tersebut Mu‘tazilah tidak mengambil kesimpulan sebagaimana Ahl-us-Sunnah ya‘ni Allah menetapkan bagi diri atau dzāt-Nya melainkan Mu‘tazilah berpendapat bahwa tidak ada kalām bagi dzāt Allah itu sebagaimana juga sifat-sifat ma‘ānī yang lain (tidak ada bagi Allah)..

Mereka (ya‘ni Mu‘tazilah) menafsirkan ayat tersebut dengan ma‘na bahwa Allah menciptakan kalām itu pada satu jirim dan memperdengarkannya kepada Nabi Mūsā.

 

وَ الْكَلَامُ يَتَعَلَّقُ بِمَا يَتَعَلَّقُ بِهِ الْعِلْمُ مِنَ الْوَاجِبِ وَ الْجَائِزِ وَ الْمُسْتَحِيْلِ لكِنْ تَعَلُّقُ الْعِلْمِ بِهَا تَعَلُّقُ انْكِشَافٍ بِمَعْنَى أَنَّهَا مُنْكَشِفَةٌ لَهُ تَعَالَى بِعِلْمِهِ وَ تَعَلُّقُ الْكَلَامُ بِهَا تَعَلُّقُ دَلَالَةٍ بِمَعْنَى أَنَّهُ لَوْ كُشِفَ عَنَّا الْحِجَابُ وَ سَمِعْنَا الْكَلَامَ الْقَدِيْمَ لَفَهِمْنَاهَا مِنْهُ.

Dan kalām itu ta‘alluq dengan apa-apa yang ‘ilmu ta‘alluq dengannya dari sifat pada wājib, jā’iz dan mustaḥīl. Akan tetapi ta‘alluqnya ‘ilmu dengan tiga perkara itu adalah ta‘alluq inkisyāf dengan ma‘na bahwa dia itu tersingkap bagi Allah s.w.t. dengan ‘ilmu-Nya, sedangkan ta‘alluqnya kalām dengan tiga perkara itu adalah ta‘alluq dalālah dengan ma‘na bahwa kalau disingkap ḥijāb dari kita dan kita mendengar kalam yang qadīm niscaya kita dapat memahaminya dari kalām itu.”

 

Dapat difahami dari ‘ibārat di atas bahwa ‘ilmu dalam kalām sama dalam hal muta‘allaq (tempat ta‘alluq) meskipun berbeda dalam hal ta‘alluqnya. Dalam masalah ini, terdapat satu pertanyaan yang masyhur di tengah-tengah masyarakat ya‘ni: bahwa menetapkan ta‘alluq pada azal bagi kalam, lazim atasnya bahwa kalam itu ta‘alluq pada azal dengan perintah, larangan, pengkhabaran dan pertanyaan serta yang lain dari itu sebagaimana dia adalah madzhabnya Ahl-ul-Ḥaqq. Maka lazimlah dari yang demikian itu tetapnya perintah tanpa ada yang diperintah serta tetapnya larangan tanpa ada yang dilarang dan begitu seterusnya dan setiap yang demikian itu adalah sia-sia, tidak sah (shaḥḥ) nisbatnya pada yang Maha Bijaksana.” Dan untuk pertanyaan tersebut ada beberapa jawaban yang masyhur, di antaranya adalah sebagaimana dikatakan oleh SA‘DĪ bahwa kesia-siaan itu tidaklah lāzim kecuali kalau dikhithāb akan yang Ma‘dūm dengan tanpa mentaqdīrkan wujūdnya serta akan menjadikannya sebagai orang yang ahli untuk dikhithāb. Adapun beserta pentaqdīran yang demikian itu maka tidaklah lāzim kesia-siaan sebagaimana pada khithāb Nabi s.a.w. dengan segala perintah dan larangan kepada setiap mukallaf hingga hari kiamat dan bagi Allah-lah perumpamaan yang tertinggi dan bagi rasūl-Nya. Seperti yang dikutip dari syarah Matan Jauharah.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *