Sifat Kesepuluh Yang Wajib Bagi Allah – Hayat – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

28. SIFAT KESEPULUH YANG WĀJIB BAGI ALLAH S.W.T.

 

الصِّفَةُ الْعَاشِرَةُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى الْحَيَاةُ وَ هِيَ صِفَةٌ تُصَحِّحَ لِمَنْ قَامَتْ بِهِ الْإِدْرَاكَ كَالْعِلْمِ وَ السَّمْعِ وَ الْبَصَرِ أَيْ يَصِحُّ أَنْ يَتَّصِفَ بِذلِكَ.

Sifat kesepuluh yang wajib bagi Allah s.w.t. adalah ḤAYĀT (hidup). Dan dia adalah satu sifat yang menshaḥīḥkan bagi orang yang dia (Ḥayāt itu) berdiri dengannya akan idrāk (pencapaian) seperti ‘ilmu, sama‘ dan bashar dalam arti dia shaḥḥ (sah) untuk bersifat dengan yang demikian itu.

PENGERTIAN SIFAT ḤAYĀT

Maksudnya: Ḥayāt itu adalah satu sifat yang apabila dia berada pada seseorang maka pantaslah orang itu untuk bersifat dengan idrāk seperti mengetahui, mendengar dan melihat.

وَ لَا يَلْزَمُ مِنَ الْحَيَاةِ الْاِتِّصَافُ بِالْإِدْرَاكِ بِالْفِعْلِ وَ هِيَ لَا تَتَعَلَّقُ بِشَيْءٍ مَوْجُوْدٍ أَوْ مَعْدُوْمٍ.

Dan tidak lazim dari ḥayāt itu bersifat dengan idrāk tersebut dengan perbuatan. Dan dia (ḥayāt itu) tidak ta‘alluq dengan sesuatu baik yang maujūd ataupun yang ma‘dūm.”

Maksudnya: Tidaklah mesti bahwa orang yang punya ḥayāt itu akan senantiasa bersifat dengan idrāk, dengan perbuatan dalam arti dia mempunyai telinga yang mana dia bisa berbuat dengan telinga itu untuk mendengar dan mempunyai mata yang mana dia bisa berbuat dengan mata itu untuk melihat serta mempunyai akal pikiran yang mana dia bisa berbuat dengannya untuk memperoleh pengetahuan. Hal yang demikian itu disebabkan oleh karena bisa jadi orang yang punya ḥayāt itu tidak bersifat dengan idrak dengan perbuatan. Artinya ada orang yang punya telinga tapi dia tidak bisa berbuat dengan telinga itu untuk mendengar dan ada orang yang punya mata tapi dia tidak bisa berbuat dengan mata itu untuk melihat serta ada orang yang punya akal pikiran tapi dia tidak bisa berbuat dengannya untuk memperoleh pengetahuan.

Sebab dari tidak ta‘alluqnya sifat ḥayāt itu dengan semua itu adalah karena hayat itu tidak menuntut perkara yang lebih atas berdirinya dengan dzātnya melainkan dia adalah satu sifat yang membenarkan atau membolehkan orang yang dia tempati untuk bersifat dengan idrāk sehingga orang yang dia tempati itu menjadi orang yang mengetahui, orang yang mendengar dan orang yang melihat.

DALĪL ATAS WAJIBNYA QUDRAT, IRĀDAT, ‘ILMU DAN ḤAYĀT.

وَ الدَّلِيْلُ عَلَى وُجُوْبِ الْقُدْرَةِ وَ الْإِرَادَةِ وَ الْعِلْمِ وَ الْحَيَاةِ وُجُوْدُ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ لِأَنَّهُ لَوِ انْتَفَى شَيْءٌ مِنْ هذِهِ الْأَرْبَعَةِ لَمَا وُجِدَ مَخْلُوْقٌ فَلَمَّا وُجِدَتِ الْمَخْلُوْقَاتُ عَرَفْنَا أَنَّ اللهَ تَعَالَى مُتَّصِفٌ بِهذِهِ الصِّفَاتِ.

Dan dalil atas wajibnya qudrat, irādat, ‘ilmu dan ḥayāt adalah wujūdnya sekalian makhlūq ini karena kalau terhapus sesuatu dari yang empat ini niscaya tidak didapatkan satu makhlūq pun. Maka tatkala didapatkan sekalian makhlūq ini tahulah kita bahwa Allah s.w.t. bersifat dengan sifat-sifat ini.”

 

وَ وَجْهُ تَوَقُّقِ وُجُوْدِ هذِهِ الْمَخْلُوْقَاتِ عَلَى هذِهِ الْأَرْبَعِ أَنَّ الَّذِيْ يَفْعَلُ شَيْئًا لَا يَفْعَلُهُ إِلَّا إِذَا كَانَ عَالِمًا بِالْفِعْلِ ثُمَّ يُرِيْدُ الْأَمْرَ الَّذِيْ يَفْعَلُهُ وَ بَعْدَ إِرَادَتِهِ يُبَاشِرُ فِعْلَهُ بِقُدْرَتِهِ وَ مِنَ الْمَعْلُوْمِ أَنَّ الْفَاعِلَ لَا بُدَّ وَ أَنْ يَكُوْنَ حَيًّا.

Dan bentuk dari tergantungnya wujūd sekalian makhlūq ini atas yang empat ini adalah bahwa orang yang mengerjakan sesuatu tidaklah dia akan mengerjakannya kecuali jika dia mengetahui dengan perbuatan (ya‘ni sesuatu itu) kemudian dia menghendaki perkara yang akan dia kerjakan itu dan sesudah menghendakinya maka dia akan langsung mengerjakannya dengan qudratnya dan sudah merupakan barang yang ma‘lūm bahwa yang mengerjakan tersebut haruslah orang yang hidup.”

 

وَ الْعِلْمُ وَ الْإرَادَةُ وَ الْقُدْرَةُ تُسَمَّى صِفَات التَّأْثِيْرِ لِتَوَقُّفِ التَّأْثِيْرِ عَلَيْهَا لِأَنَّ الَّذِيْ يُرِيْدُ شَيْئًا وَ يَقْصِدُهُ لَا بُدَّ وَ أَنْ يَكُوْنَ عَالِمًا بِهِ قَبْلَ قَصْدِهِ لَهُ ثُمَّ بَعْدَ قَصْدِهِ لَهُ يُبَاشِرُ فِعْلَهُ.

Dan ‘ilmu, ‘irādah serta qudrat itu dinamakan dengan sifat-sifat ta’tsir karena bergantungnya ta’tsir atas sifat tersebut karena orang yang menghendaki sesuatu ya‘ni memakasudkannya pastilah dia orang yang telah mengetahui dengan sesuatu tersebut sebelum dia bermaksud kepadanya, kemudian sesudah dia bermaksud kepadanya dia langsung mengerjakannya.”

 

مَثَلًا إِذَا كَانَ شَيْءٌ فِيْ بَيْتِكَ وَ اَرَدْتَ أَخْذَهُ فَعِلْمُكَ سَابِقٌ عَلَى إِرَادَتِكَ لِأَخْذِهِ وَ بَعْدَ إِرَادَتِكَ أَخْذَهُ بَأْخُذُهُ بِالْفِعْلِ.

Umpamanya: jika ada sesuatu di rumah anda dan anda mengambilnya maka ‘ilmu anda mendahului kehendak anda untuk mengambil sesuatu itu dan sesudah anda berkeinginan mengambilnya anda pun mengambilnya dengan perbuatan.”

 

فَتَعَلُّقُ هذِهِ الصِّفَاتِ عَلَى التَّرْتِيْبِ فِيْ حَقِّ الْحَادِثِ فَأَوَّلًا يُوْجَدُ الْعِلْمُ بِالشَّيْءِ ثُمَّ قَصْدُهُ ثُمَّ فِعْلُهُ.

Maka ta‘alluq sifat-sifat ini adalah berdasarkan tertib atau berurutan pada hak yang baru. Maka yang pertama didapatkan adalah ‘ilmu terhadap sesuatu kemudian qasad (kehendaknya) kemudian perbuatannya.”

 

وَ أَمَّا فِيْ حَقِّهِ تَعَالَى لَا تَرْتِيْبَ فِيْ صِفَاتِهِ إِلَّا فِي التَّعَقُّلِ فَأَوَّلًا تَتَعَقَّلُ أَنَّ الْعِلْمَ سَابِقٌ ثُمَّ الْإِرَادَةَ ثُمَّ الْقُدْرَةَ.

Adapun di dalam haknya Allah s.w.t., tidak ada tertib (urutan) pada sifat-sifatNya kecuali dalam akal atau pemikiran saja. Maka yang pertama anda fikir bahwa ‘ilmu itu mendahului, kemudian irādah, kemudian qudrat.”

 

أَمَّا فِي التَّأْثِيْرِ فِي الْخَارِجِ فَلَا تَرْتِيْبَ فِيْ صِفَاتِهِ تَعَالَى فَلَا يُقَالُ تَعَلُّقُ الْعِلْمِ بِالْفِعْلِ ثُمَّ الْإِرَادَةِ ثُمَّ الْقُدْرَةِ لِأَنَّ هذَا فِيْ حَقِّ الْحَادِث وَ إِنَّمَا التَّرْتِيْبُ بِحَسْبِ تَعَقُّلِنَا فَقَطْ.

Adapun pada pemberian bekas dan kenyataan di luar (ya‘ni pada taḥaqquq) maka tidak ada tertib pada sifat-sifat Allah s.w.t. Maka tidak dikatakan: ta‘alluq ‘ilmu itu dengan perbuatan kemudian ta‘alluq irādah, kemudian ta‘alluq qudrat karena ini adalah pada hak yang baru dan tertib itu hanya berdasarkan ta‘alluq (pemikiran) kita saja.”

 

Jadi ta‘alluq-nya sifat-sifat ‘ilmu, irādah, dan qudrat pada hak yang baru adalah berdasarkan tertib baik pada ta‘aqqul (pemikiran) maupun pada taḥaqquq (kenyataan di luar). Sedangkan pada hak Allah s.w.t. ta‘alluqnya sifat-sifat itu tidak berdasarkan tertib (urutan) kecuali pada ta‘aqqul saja.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *