Sifat Kesembilan Yang Wajib Bagi Allah – Ilmu – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

27. SIFAT KESEMBILAN YANG WĀJIB BAGI ALLAH S.W.T.

 

الصِّفَةُ التَّاسِعَةُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى الْعِلْمُ وَ هُوَ صِفَةٌ قَدِيْمَةٌ بِذَاتِهِ تَعَالَى مَوْجُوْدَةٌ يَنْكَشِفُ بِهَا الْمَعْلُوْمُ اِنْكِشَافًا عَلَى وَجْهِ الْإِحَاطَةِ مِنْ غَيْرِ سَبْقٍ خَفَاءٍ.

Sifat yang kesembilan yang wajib bagi Allah s.w.t. adalah ‘ILMU. Dan dia adalah sifat yang qadīm yang berdiri dengan dzāt Allah s.w.t. bagi maujūd, yang tersingkap dengannya barang yang maklum dengan sebenar-benar atas jalan yang meliputi dengan tanpa didahului oleh kesamaran.

PENGERTIAN ‘ILMU

وَ تَتَعَلَّقُ بِالْوَاجِبَاتِ و الجَائِزَاتِ وَ الْمُسْتَحِلَاتِ فَيَعْلَمُ ذَاتَهُ تَعَالَى وَ صِفَاتِهِ بِعِلْمِهِ وَ يَعْلَمُ الْمَوْجُوْدَاتِ كُلَّهَا وَ الْمَعْدُوْمَاتِ كُلَّهَا بِعِلْمِهِ وَ يَعْلَمُ الْمُسْتَحِيْلَاتِ بِمَعْنَى أَنَّهُ يَعْلَمُ أَنَّ الشَّرِيْكَ مُسْتَحِيْلٌ عَلَيْهِ تَعَالَى وَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَوْ وُجِدَ لَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ فَسَادٌ تَنَزَّهَ اللهُ عَنِ الشَّرِيْكِ تَعَالَى عُلُوًّا كَبِيْرًا.

Dan ta‘alluq sifat ‘ilmu itu dengan segala perkara yang wajib, segala perkara yang jā’iz dan segala perkara yang mustaḥīl. Maka Dia mengetahui akan dzāt-Nya yang Maha Tinggi dan beberapa sifat-Nya dengan ‘ilmu-Nya. Dan Dia mengetahui beberapa perkara yang maujūd seluruhnya dan beberapa perkara yang ma‘dūm seluruhnya dengan ‘ilmu-Nya, serta Dia mengetahui beberapa perkara yang mustaḥīl dengan ma‘na bahwa Dia mengetahui bahwa sekutu itu mustaḥīl atas Allah s.w.t. dan Dia mengetahui bahwasanya sekutu itu kalau Dia didapatkan niscaya berakibat kerusakan atas-Nya. Maha Suci Allah dari pada sekutu dan Maha Tinggi Dia dengan ketinggian yang besar.”

 

وَ لَهُ تَعَلُّقٌ تَنْجِيْزِيٌّ قَدِيْمٌ فَقَطْ فَاللهُ تَعَالَى يَعْلَمُ هذِهِ الْمَذْكُوْرَاتِ أَزَلًا عِلْمًا تَامًّا لَا عَلَى سَبِيْلِ الظَّنِّ وَ الشَّكِّ لِأَنَّ الظَّنَّ وَ الشَّكَّ مُسْتَحِيْلَانِ عَلَيْهِ تَعَالَى.

Dan bagi ‘ilmu itu ta‘alluq tanjīzī qadīm saja. Maka Allah s.w.t. mengetahui akan segala yang tersebut ini pada zaman azali dengan pengetahuan yang sempurna. Bukan atas jalan zhann (perkiraan) dan syakk (keraguan) karena zhann dan syakk itu keduanya mustahil atas Allah s.w.t.

 

وَ مَعْنَى قَوْلِهِمْ مِنْ غَيْرِ سَبْقٍ خَفَاءٍ أَنَّهُ تَعَالَى يَعْلَمُ الْأَشْيَاءَ أَزَلًا وَ لَيْسَ اللهُ تَعَالَى كَانَ يَجْهَلُهَا ثُمَّ عَلِمَهَا تَنَزَّهَ سُبْحَانَهُ وَ تَعَالَى عَنْ ذلِكَ.

Dan ma‘na perkataan mereka: “Dengan tidak didahului kesamaran” adalah bahwa Allah s.w.t. mengetahui akan sesuatu pada zaman azali dan tidaklah Allah s.w.t. itu jahil padanya terlebih dahulu kemudian Dia mengetahuinya, Maha Suci Allah s.w.t. dari yang demikian itu.”

 

وَ أَمَّا الْحَادِثُ فَيْجْهَلُ الشَّيْءَ ثُمَّ يَعْلَمُهُ وَ لَيْسَ لِلْعِلْمِ تَعَلُّقٌ صُلُوْحِيٌّ بِمَعْنَى أَنَّهُ صَالِحٌ لِأَنْ يَنْكَشِفُ بِهِ كَذَا لِأَنَّهُ يَقْتَضِيْ أَنَّ كَذَا لَمْ يَنْكَشِفْ بِالْفِعْلِ وَ عَدَمُ انْكِشَافِهِ بِالْفِعْلِ جَهْلٌ تَنَزَّهَ اللهُ تَعَالَى عَنْهُ.

Adapun yang baru itu maka dia jahil dulu terhadap sesuatu kemudian dia mengetahuinya, Dan ‘ilmu itu tidak memiliki ta‘alluq shulūḥī dengan ma‘na bahwa Allah patut agar tersingkap dengannya yang seperti ini….. karena akan menuntut bahwa yang seperti ini tidak pernah tersingkap dengan perbuatan sedangkan ketiadaan tersingkapnya dengan perbuatan adalah satu kejahilan. Maha Suci Allah s.w.t. dari padanya.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *