الصِّفَةُ السَّادِسَةُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى الْوَحْدَانِيَّةُ فِي الذَّاتِ وَ الصِّفَاتِ وَ الْأَفْعَالِ بِمَعْنَى عَدَمِ التَّعَدُّدِ.
“Sifat keenam yang wājib bagi Allah s.w.t. adalah: Waḥdāniyyah (Esa) pada dzat, sifat-sifat dan perbuatan dengan arti: TIDAK BERBILANG.”
وَ مَعْنَى كُوْنِ اللهِ تَعَالَى وَاحِدًا فِيْ ذَاتِهِ أَنَّ ذَاتَهُ تَعَالَى لَيْسَتْ مُرَكَّبَةً مِنْ أَجْزَاءٍ وَ التَّرْكِيْبُ يُسَمَّى كَمًّا مُتَّصِلًا وَ بِمَعْنَى أَنَّهُ لَيْسَ ذَاتٌ في الْوُجُوْدِ لَا فِي الْإِمْكَانِ تَشْبِهُ ذَاتَهُ تَعَالَى وَ هذِهِ الْمُشَابَهَةُ الْمُسْتَحِيْلَةُ تُسَمَّى كَمًّا مُنْفَصِلًا فَالْوَحْدَانِيَّةُ فِي الذَّاتِ نَفَتِ الْكَمَّيْنِ الْمُتَّصِلِ فِي الذَّاتِ وَ الْمُنْفَصِلِ فِيْهَا.
“Dan ma‘na keadaan Allah s.w.t. itu Esa pada dzāt-Nya adalah bahwa dzāt Allah s.w.t. itu tidak tersusun dari bagian-bagian (ajzā’) dan TARKĪB atau susunan itu dinamakan dengan Kamm Muttashil. Dan juga dengan ma‘na bahwa tidak ada dzāt pada yang maujūd ini, tidak pula pada yang mumkin yang menyerupai akan dzāt-Nya Allah s.w.t. dan KESERUPAAN yang mustaḥīl ini dinamakan dengan Kamm munfashil. Maka Waḥdāniyyah pada dzāt menghilangkan dua Kamm ya‘ni yang muttashil pada dzāt dan yang munfashil padanya (ya‘ni pada dzāt).”
وَ مَعْنَى وَحْدَتِهِ تَعَالَى فِي الصِّفَات أَنَّهُ لَيْسَ لَهُ تَعَالَى صِفَتَانِ مُتَّفِقَتَانِ فِي الْاسْمِ وَ الْمَعْنَى كَقُدْرَتَيْنِ وَ عِلْمَيْنِ وَ إِرَادَتَيْنِ فَلَيْسَ لَهُ تَعَالَى إِلَّا قُدْرَةٌ وَاحِدَةٌ وَ إِرَادَةٌ وَاحِدَةٌ وَ عِلْمٌ وَاحِدٌ خِلَافًا لِأَبِيْ سَهْلٍ الْقَائِلِ بِأَنَّ لَهُ تَعَالَى عُلُوْمًا بِعَدَدِ الْمَعْلُوْمَاتِ وَ هذَا أَعْنِي التَّعَدُّدَ فِي الصِّفَاتِ يُسَمَّى كَمًّا مُتَّصِلًا فِي الصِّفَاتِ.
“Dan ma‘na keesaan Allah s.w.t. pada sifat adalah bahwa Allah s.w.t. itu tidak memiliki dua sifat yang bersesuaian pada nama dan ma‘na seperti dua qudrat, dua ‘ilmu dan dua iradat. Maka tidaklah ada bagi Allah s.w.t. kecuali satu qudrat, satu iradat dan satu ‘ilmu. Berbeda halnya dengan Abū Sahal yang berkata bahwa Allah s.w.t. itu memiliki beberapa ‘ilmu sebanyak bilangan yang diketahui. Dan ini ya‘ni berbilang pada sifat dinamakan dengan Kamm Muttashil pada sifat.”
وَ بِمَعْنَى أَنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ صِفَةٌ تُشْبِهُ صِفَةً مِنْ صِفَاتِهِ تَعَالَى وَ هذَا أَعْنِيْ كَوْنَ لِأَحَدٍ صِفَةً إِلَى آخِرِهِ يُسَمَّى كَمًّا مُنْفَصَلًا فِي الصِّفَاتِ فَالْوَحْدَةُ فِي الصِّفَاتِ نَفَتِ الْكَمَّ الْمُتَّصِلَ وَ الْمُنْفَصِلَ فِيْهَا.
“Dan berarti juga bahwa tidak ada seseorang yang memiliki sifat yang menyerupai satu sifat dari sifat-sifatNya Allah s.w.t. Dan ini ya‘ni adanya seseorang yang memiliki sifat – hingga akhirnya – (Ya‘ni yang menyerupai akan satu sifat dari sifat-sifatNya Allah s.w.t.) dinamakan dengan Kamm Munfashil pada sifat. Maha Esa pada sifat itu menghapus akan Kamm Muttashil dan Munfashil padanya.”
وَ مَعْنَى وَحْدَتِهِ تَعَالَى فِي الْأَفْعَالِ أَنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ مِنَ الْمَخْلُوْقَاتِ فِعْلٌ لِأَنَّهُ تَعَالَى الْخَالِقُ لِأَفْعَالِ الْمَخْلُوْقَاتِ مِنَ الْأَنْبِيَاءِ وَ الْمَلَائِكَةِ وَ غَيْرِهَا.
“Dan ma‘na keesaan Allah s.w.t. pada Af‘āl (perbuatan) adalah bahwa tidak ada seseorang di antara semua makhlūq ini yang memiliki satu perbuatan, karena Allah s.w.t. yang menciptakan perbuatan-perbuatan semua makhlūq dari sekalian para Nabi, para Malaikat dan yang lainnya.”
وَ أَمَّا مَا يَقَعُ مِنْ مَوْتِ شَخْصٍ أَوْ إِيْذَائِهِ عِنْدَ اعْتِرَاضِهِ مَثَلًا عَلَى وَلِيٍّ مِنَ الْأَوْلِيَاءِ فَهُوَ بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى يَخْلُقُهُ عِنْدَ غَضَبِ الْوَلِيِّ عَلَى هذَا الْمُعْتَرِضِ.
“Adapun sesuatu yang terjadi berupa matinya seseorang atau kesakitannya ketika dia menentang umpamanya atas seorang wali dari para wali (Allah) maka dia adalah dengan ciptaan Allah yang menciptakannya ketika marahnya sang wali atas orang yang menentang ini.”
وَ لَا تُفَسَّرُ الْوَحْدَةُ فِي الْأَفْعَالِ بِقَوْلِكَ لَيْسَ لِغَيْرِ اللهِ فِعْلٌ كَفِعْلِهِ لِأَنَّهُ يَقْتَضِيْ أَنَّهُ لِغَيْرِ اللهِ فِعْلٌ لكِنَّهُ لَيْسَ كَفِعْلِ اللهِ وَ هُوَ بَاطِلٌ بَلْ هُوَ اللهُ تَعَالَى الْخَالِقُ لِلْأَفْعَالِ كُلِّهَا.
“Dan tidak ditafsirkan akan keesaan pada af‘āl itu dengan perkataan anda: “Tidak ada bagi selain Allah itu perbuatan yang seperti perbuatan-Nya.” Karena perkataan anda itu menuntut bahwa bagi selain Allah ada perbuatan, akan tetapi tidak seperti perbuatan Allah dan dia (perkataan anda) itu adalah bathil. Melainkan Dialah Allah s.w.t. yang menciptakan perbuatan-perbuatan itu seluruhnya.”
فَالَّذِيْ وَقَعَ مِنْكَ مِنْ حَرَكَةِ يَدِكَ عِنْدَ ضَرْبِ زَيْدٍ مَثَلًا بِخَلْقِ اللهِ تَعَالَى قَال اللهُ تَعَالَى وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَ مَا تَعْلَمُوْنَ.
“Maka sesuatu yang terjadi dari anda berupa gerakan tangan anda ketika memukul si Zaid umpamanya adalah dengan ciptaan Allah s.w.t. Allah s.w.t. telah berfirman: “Dan Allah-lah yang telah menciptakan kamu dan (menciptakan) apa-apa yang kamu perbuat”.”
وَ كَوْنُ غَيْرِ اللهِ تَعَالَى لَهُ فِعْلٌ يُسَمَّى كَمًّا مُنْفَصِلًا فِي الْأَفْعَالِ.
“Dan keadaan selain Allah s.w.t. itu ada yang memiliki perbuatan dinamakan Kamm Munfashill pada af‘āl.”
فَالْوَحْدَانِيَّةُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى نَفَتِ الْكَمُوْمَ الْخَمْسَةَ الْمُسْتَحِيْلَةَ فَالْكَمُّ الْمُتَّصِلُ فِي الذَّاتِ تَرْكِيْبُهَا مِنْ أَجْزَاءٍ وَ الْكَمُّ الْمُنْفَصِلُ فِيْهَا أَنْ يَكُوْنَ لَهَا ذَاتٌ تُسْبِهُهَا وَ الْكَمُّ الْمُتَّصِلُ فِي الصِّفَاتِ أَنْ يَكُوْنَ لَهُ تَعَالَى قُدْرَتَانِ مَثَلًا وَ الْكَمُّ الْمُنْفَصِلُ فِيْهَا أَنْ يَكُوْنَ لِغَيْرِهِ تَعَالَى صِفَةٌ تُسْبِهُ صِفَةً مِنْ صِفَاتِهِ تَعَالَى وَ الْكَمُّ الْمُنْفَصِلُ فِي الْأَفْعَالِ أَنْ يَكُوْنَ لِغَيْرِهِ تَعَالَى فِعْلٌ.
“Maka waḥdāniyyah yang wajib bagi Allah s.w.t. menghapus lima Kamm yang mustaḥīl. Maka Kamm Muttashil pada dzat adalah bersusunnya (dzāt Allah s.w.t. itu) dari bagian-bagian dan Kamm munfashil pada dzāt adalah bahwa ada bagi dzāt Allah satu dzāt yang menyerupainya, dan Kamm Muttashil pada sifat yakni bahwa Allah s.w.t. itu mempunyai dua qudrat umpamanya dan Kamm Munfashil pada sifat ya‘ni bahwa selain Allah s.w.t. itu mempunyai sifat yang menyerupai akan satu sifat dari beberapa sifat Allah s.w.t., dan Kamm Munfashil pada af‘āl ya‘ni bahwa selain Allah s.w.t. itu mempunyai perbuatan.”
وَ هذِهِ الْكُمُوْمُ الْخَمْسَةُ انْتَفَتْ بِالْوَحْدَانِيَّةِ لَهُ سُبْحَانَهُ وَ مَعْنَى الْكَمِّ الْعَدَدُ.
“Dan Kamm-kamm yang lima ini telah terhapus dengan waḥdāniyyah yang wajib bagi Allah s.w.t. Dan ma‘na dari pada Kamm adalah bilangan.”
وَ الدَّلِيْلُ عَلَى وُجُوْبِ الْوَحْدَانِيَّةِ لَهُ تَعَالَى وُجُوْدُ الْعَالَمِ.
“Dan dalīl atas wajibnya Waḥdāniyyah bagi Allah s.w.t. adalah ADANYA ALAM INI.”
فَلَوْ كَانَ لَهُ شَرِيْكٌ فِي الْأُلُوْهِيَّة لَا يَخْلُو الْأَمْرُ إِمَّا أَنْ يَتَّفِقَا عَلَى وُجُوْدِ الْعَالَم بِأَنْ يَقُوْلَ أَحَدُهُمَا أَنَا أُوْجِدُهُ وَ يَقُوْلُ الْآخَرُ أَنَا أُوْجِدُهُ مَعَكَ لِنَتَعَاوَنَ عَلَيْهِ وَ إِمَّا أَنْ يَخْتَلِفَا فَيَقُوْلُ أَحَدُهُمَا أَنَا أُوْجِدُ الْعَالَمَ بِقُدْرَتِيْ وَ يَقُوْلُ الْآخَرُ أَنَا أُرِيْدُ عَدَمَ وُجُوْدِهِ.
“Maka kalau Allah itu memiliki Syarīk (sekutu) di dalam sifat Ketuhanan niscaya tidaklah lepas dari perkara: Adakalanya sepakat keduanya (Allah dan Syarīk) atas wujūdnya alam dengan bahwa berkata salah satunya: “Saya akan menjadikan alam” dan berkata yang lainnya: “Saya akan menjadikannya bersamamu agar kita dapat saling membantu atasnya”. Dan adakalanya berselisih keduanya, lantas berkata salah satunya: “Saya akan menjadikan alam dengan kekuasaanku” dan berkata yang lainnya: “Saya menginginkan ketiadaan wujūdnya.”
فَإِنِ اتَّفَقَا عَلَى وُجُوْدِ الْعَالَمِ بِأَنْ أَوْجَدَاهُ مَعًا وَ وُجِدَ بِفِعْلِهِمَا لَزِمَ اجْتِمَاعُ مُؤَثِّرَيْنِ عَلَى أَثَرٍ وَاحِدٍ وَ هُوَ مُحَالٌ.
“Dan jika sepakat keduanya atas wujūdnya alam dengan bahwa keduanya menjadikan alam ini secara bersama dan didapatkan alam ini dengan (sebab) perbuatan keduanya niscaya lazimlah berkumpulanya dua yang memberi bekas di atas satu bekas dan dia adalah mustaḥīl.”
وَ إِنِ اخْتَلَفَا فَلَا يَخْلُوْ إِمَّا أَنْ يَنْفُذَ مُرَادُ أَحَدِهِمَا أَوْ لَا يَنْفُذَ مُرَادُ أَحَدِهِمَا فَإِنْ نَفَذَ مُرَادُ أَحَدِهِمَا دُوْنَ الْآخَرِ كَانَ الَّذِيْ لَمْ يَنْفُذْ مُرَادُهُ عَاجِزًا وَ قَدْ فَرَضْنَا أَنَّهُ مُسَاوٍ فِي الْأُلُوْهِيَّة لِمَنْ نَفَذَ مُرَادُهُ فَإِذَا ثَبَتَ الْعَجْنُ لِهذَا ثَبَتَ الْعَجْزُ لِلْآخَرِ لِأَنَّهُ مِثْلُهُ وَ إِنْ لَمْ يَنْفُذْ مُرَادُهُمَا كَانَا عَاجِزَيْنِ.
“Dan jika berselisih keduanya, maka tidaklah lepas: Adakalanya lulus kehendak salah satunya atau tidak lulus kehendak salah satunya. Maka jika lulus kehendak salah satunya tanpa yang lain, niscaya yang tidak lulus kehendaknya itu lemah sedangkan kita sudah mewajibkan bahwa dia sederajat dalam sifat ketuhanan kepada yang lulus kehendaknya itu. Maka jika telah tetap kelemahan pada yang ini seperti itu dan jika tidak lulus kehendak keduanya maka keduanya itu lemah.”
وَ عَلَى كُلِّ سَوَاءُ اتَّفَقَا أَوِ اخْتَلَفَ يَسْتَحِيْلُ وُجُوْدُ شَيْءٍ مِنَ الْعَالَمِ لِأَنَّهُمَا إِنِ اتَّفَقَا عَلَى وُجُوْدِهِ يَلْزَمُ اجْتِمَاعُ مُؤَثِّرَيْنِ عَلَى أَثَرٍ وَاحِدٍ إِنْ نَفَذَ مُرَادُهُمَا وَ هُوَ مُحَالٌ فَلَا يَتَأَتَّى تَنْفِيْذُ مُرَادِهِمَا فَلَا يَصِحُّ أَنْ يُوْجَدَ شَيْءٌ فِي الْعَالَمِ حِيْنَئِذٍ.
“Dan untuk masing-masing, baik keduanya sepakat ataupun berselisih, mustaḥīl-lah terwujudnya sesuatu dari alam ini, karena keduanya jika bersepakat atas wujudnya lazimlah berkumpulannya dua yang memberi bekas di atas satu bekas jika lulus kehendak keduanya dan dia adalah mustahil, maka tidaklah mudah pelulusan kehendak keduanya, lantas tidaklah sah (shaḥḥ) untuk didapatkan sesuatu dari alam ini pada ketika itu (ya‘ni pada ketika keduanya bersepakat).”
وَ إِنِ اخْتَلَفَا وَ نَفَذَ مُرَادُ أَحَدِهِمَا كَانَ الْآخَرُ عَاجِزًا وَ هذَا مِثْلُهُ فَلَا يَصِحُّ أَنْ يُوْجِدَ شَيْئًا مِنَ الْعَالَمِ لِأَنَّهُ عَاجِزٌ فَلَمْ يَكُنِ الْإِلهُ إِلَّا وَاحِدًا.
“Dan jika keduanya berselisih dan lulus kehendak salah satunya niscaya yang lainnya itu lemah dan ini adalah semitsalnya, maka, tidaklah benar bahwa dia menjadikan sesuatu dari alam ini karena dia lemah, maka tidak ada Tuhan itu kecuali Satu (Esa).”
وَ إِنِ اخْتَلَفَا وَ لَمْ يَنْفُذْ مُرَادُهُمَا كَنَا عَاجزَيْنِ فَلَمْ يَقْدِرَا عَلَى وُجُوْدِ شَيْءٍ مِنَ الْعَالَمِ وَ الْعَالَمُ مَوْجُوْدٌ بِالْمُشَاهَدَةِ فَثَبَتَ أَنْ الْإلهَ وَاحِدًا وَ هُوَ الْمَطْلُبُ.
“Dan jika berselisih keduanya dan tidak lulus kehendak keduanya niscaya keduanya itu lemah, maka tidaklah mampu keduanya itu menjadikan sesuatu dari alam ini sedangkan alam ini ada dengan persaksian mata maka tetaplah bahwa Tuhan itu Esa dan dialah yang dituntut.”
فَوُجُوْدُ الْعَالَمِ دَلِيْلٌ عَلَى وَحْدَانِيَّتِهِ تَعَالَى وَ عَلَى أَنَّهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ فِيْ فِعْلٍ مِنَ الْأَفْعَالِ وَ لَا وَاسِطَةَ لَهُ فِيْ فِعْلِ جَلَّ تَعَالَى وَ هُوَ الْغَنِيُّ الْغِنَى الْمُطْلَقَ.
“Maka wujudnya alam ini adalah dalil atas waḥdāniyyahnya Allah s.w.t. atas ketiadaan sekutu bagi-Nya dalam satu perbuatan di antara beberapa perbuatan dan atas ketiadaan perantara bagi-Nya dalam hal perbuatan, Maha Agung lagi Maha Tinggi Allah dan Dialah (dzāt) yang kaya dengan kekayaan yang mutlak.”
وَ مِنْ هذَا الدَّلِيْلِ يَعْلَمُ أَنَّهُ لَا تَأْثِيْرَ لِشَيْءٍ مِنَ النَّارِ وَ السِّكِّيْنِ وَ الْأَكْلِ فِي الْإِحْرَاقِ وَ الْقَطْعِ وَ الشَّبْعِ بَلِ اللهُ تَعَالَى يَخْلُقُ الْإِحْرَاقَ فِي الشَّيْءِ الَّذِيْ مَسَّتْهُ النَّارُ عِنْدَ مَسِّهَا لَهُ وَ يَخْلُقُ الْقَطْعَ فِي الشَّيْءِ الَّذِيْ بَاشَرَتْهُ السِّكِّيْنُ عِنْدَ مُبَاشَرَتِهَا لَهُ وَ يَخْلُقُ الشَّبْعَ عِنْدَ الْأَكْلِ وَ الرَّيَّ عِنْدَ الشُّرْبِ.
“Dan dari dalil ini diketahuilah bahwa tidak ada pemberian bekas terhadap sesuatu dari api, pisau dan makan dalam hal membakar, memotong dan mengenyangkan melainkan Allah s.w.t. yang menciptakan keadaan terbakar pada sesuatu yang disentuh oleh api ketika api itu menyentuhnya dan menciptakan keadaan terpotong pada sesuatu yang digores oleh pisau ketika pisau itu menggoresnya serta menciptakan keadaan kenyang ketika makan dan keadaan hilang dahaga ketika minum.”
فَمَنِ اعْتَقَدَ أَنَّ النَّارَ مُحْرِقَةٌ بِطَبْعِهَا وَ الْمَاءُ يُرْوِيْ بِطَبْعِهِ وَ هكَذَا فَهُوَ كَافِرٌ بِإِجْمَاعٍ.
“Maka barang siapa yang mengi‘tiqadkan (meyakini) bahwa api itu membakar dengan tabiatnya dan air itu menghilangkan dahaga dengan tabiatnya dan begitu seterusnya maka di kafir dengan ijma‘.”
Perlu diketahui bahwa firqah-firqah (golongan-golongan) dalam hal ini ada empat:
Maksudnya ada kemungkinan bahwa api itu umpamanya menyalahi kebiasaannya yang membakar sehingga dia tidak membakar seperti terjadi pada peristiwa Nabi Ibrāhīm dan Raja Namrūd sebagaimana tersebut dalam al-Qur’ān. Firqah inilah yang selamat.
Firqah ini adalah yang jahil terhadap hakekat hukum adat dan kemungkinan i‘tiqad seperti ini dapat menariknya kepada kekufuran dengan mengingkari akan sesuatu yang menyalahi adat seperti hari kebangkitan.
وَ مَنِ اعْتَقَدَ أَنَّهَا مُحْرِقَةٌ بِقُوَّةٍ خَلَقَهَا اللهُ فِيْهَا فَهُوَ جَاهِلٌ فَاسِقٌ لِعَدَمِ عِلْمِهِ بِحَقِيْقَةِ الْوَحْدَانِيَّةِ.
“Dan barang siapa yang mengi‘tiqadkan bahwa dia itu membakar dengan kekuatan yang telah Allah jadikan padanya maka dia itu adalah jāhil lagi fāsiq karena ketiadaan ‘ilmunya dengan hakekat waḥdāniyyah.”
وَ هذَا هُوَ الدَّلِيْلُ الْإِجْمَالِيُّ الَّذِيْ يَجِبُ عَلَى كُلِّ شَخْصٍ مَعْرِفَتُهُ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثَى وَ مَنْ لَمْ يَعْرِفْهُ فَهُوَ كَافِرٌ عِنْدَ السَّنُوْسِيِّ وَ ابْنِ الْعَرَبِيِّ وَ اللهُ تَعَالَى يَتَوَلَّى هُدَاكَ.
“Dan inilah dia dalil ijmālī yang wajib atas setiap orang untuk mengetahuinya dari laki-laki dan perempuan. Dan barang siapa yang tidak mengetahuinya maka dia adalah kafir menurut Sanūsī dan Ibn-ul-‘Arabī dan semoga Allah s.w.t. menguasai petunjukmu.”
وَ الْقِدَمُ وَ الْبَقَاءُ وَ الْمُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ وَ الْقِيَامُ بِالنَّفْسِ وَ الْوَحْدَانِيَّةُ صِفَاتٌ سَلْبِيَّةٌ أَيْ مَعْنَاهَا سَلَبٌ وَ نَفْيٌ لِأَنَّ كُلًّا مِنْهَا نَفَى عَنِ اللهِ عَزَّ وَ جَلَّ مَا لَا يَلِيْقُ بِهِ.
“Dan qidam, baqā’, mukhālafatuhū lil-ḥawādits, al-qiyāmu bin-nafsi dan waḥdāniyyah adalah sifat-sifat salbiyyah ya‘ni (sifat-sifat) yang ma‘nanya adalah SALAB yaitu penghapusan karena masing-masing dari sifat-sifat tersebut menghapus dari Allah ‘azza wa jalla akan apa-apa yang tidak pantas dengan-Nya.”