22. SIFAT KEEMPAT YANG WĀJIB BAGI ALLAH
الصِّفَةُ الرَّابِعَةُ الْوَاجِبَةُ لَهُ تَعَالَى الْمُخَالَفَةُ لِلْحَوَادِثِ أَيِ الْمَخْلُوْقَاتِ.
“Sifat keempat yang wājib bagi Allah s.w.t. adalah: Berbeda dengan segala yang baru ya‘ni para makhlūq ini.”
PENGERTIAN MUKHĀLAFATU LIL-ḤAWĀDITS
فَاللهُ مُخَالِفٌ لِكُلِّ مَخْلُوْقٍ مِنْ إِنْسٍ وَ جِنِّ وَ مَلَكٍ وَ غَيْرِهَا.
“Maka Allah itu berbeda dengan tiap-tiap makhlūq dari golongan manusia, jinn, malaikat dan yang lainnya (seperti benda-benda beku dan hewan-hewan yang lain).”
فَلَا يَصِحُّ اتِّصَافُهُ تَعَالَى بِأَوْصَافِ الْحَوَادِثِ مِنْ مَشْيٍ وَ قُعُوْدٍ وَ جَوَارِحَ.
“Maka tidak sah (shaḥḥ) bersifatnya Allah s.w.t. dengan sifat-sifat segala yang baru seperti berjalan, duduk dan (mempunyai) anggota-anggota tubuh.”
فَهُوَ تَعَالَى مُنَزَّهٌ عَنِ الْجَوَارحِ مِنْ فَمٍ وَ عَيْنٍ وَ أُذُنٍ وَ غَيْرِهَا.
“Maka Allah s.w.t. itu disucikan daripada anggota-anggota tubuh berupa mulut, mata, telinga, dan yang lainnya (seperti tangan dan kaki).”
MENTA’WĪL QUR’ĀN DAN ḤADĪTS YANG TIDAK SESUAI DENGAN SIFAT MUKHĀLAFAH.
Berdasarkan keterangan ini maka apa-apa yang datang dalam al-Qur’ān atau as-Sunnah berupa ayat-ayat atau hadits-hadits yang menyalahi akan yang demikian maka kita harus menta’wīlkannya ya‘ni memalingkan dari zhāhirnya. Dan hal ini telah disepakati baik oleh ‘ulamā’ salaf maupun khalaf. Akan tetapi ‘ulamā’ salaf menta’wīlkan dengan ta’wīl ijmālī dalam arti tidak menentukan ma‘nanya yang dikehendaki, karena mereka mentafwīdh atau menyerahkannya kepada Allah s.w.t.
Maka terhadap ayat: (يَدُ اللهِ فَوْقَ أَيْدِيْهِمْ) “Tangan Allah berada di atas tangan-tangan mereka”, para ‘ulamā’ salaf berkata: “Bukanlah maksud dari ayat ini bahwa Allah mempunyai anggota tubuh yang dimaklumi dan tidak ada yang mengetahui akan maksud daripada “TANGAN” pada ayat tersebut kecuali Allah s.w.t.”
Sedangkan ‘ulamā’ khalaf, maka mereka menta’wīlnya dengan ta’wīl tafshīlī dalam arti menentukan juga akan ma‘nanya yang dikehendaki. Maka terhadap ayat di atas mereka berkata: “Bukanlah maksud dari ayat ini bahwa Allah mempunyai anggota tubuh yang dimaklumi. Maksudnya hanyalah bahwa Allah s.w.t. mempunyai kekuasaan”. Seperti inilah maksud dari Syaikh Burhān-ud-Dīn al-Laqqānī dalam Matan Jauharah-nya:
وَ كُلُّ نَصٍّ أَوْهَمَ التَّشْبِيْهَا
أَوِّلْهَا أَوْ فَوِّضْ وَ رُمْ تَنْزِيْهًا.
“Dan setiap nash yang memberi persangkaan kepada tasybīh (penyerupaan) maka ta’wīlkanlah atau tafwīdhkan (serahkkan) kepada Allah s.w.t. dan hendaklah bermaksud dengan tanzīh (penyucian).”
PERTANYAAN SYA‘RĀNĪ KEPADA GURUNYA
TAMBAHAN:
Syaikh ‘Abd-ul-Wahhāb asy-Sya‘rānī pernah bertanya kepada gurunya Syaikh ‘Alī al-Khawwāsh: “Kenapa para ‘Ulamā’ menta’wīlkan perkara yang meragukan yang terjadi dari syari‘ (ya‘ni Allah dan Nabi) dan tidak menta’wīlkan yang demikian itu dari wali? Maka berkatalah Syaikh ‘Alī al-Khawwāsh: “Seandainya mereka itu insaf niscaya mereka menta’wīl yang demikian itu dari wali dengan terlebih utama karena wali itu ‘udzur dengan kedha‘īfannya (kelemahannya) di dalam AḤWĀL HADHRAH. Sedangkan syari‘ tidak seperti itu karena dia mempunyai kedudukan yang mantap.”
فَكُلُّ مَا خَطَرَ بِبَالِكَ مِنْ طُوْلٍ وَ عَرْضٍ وَ قَصْرٍ وَ سَمَنٍ فَاللهُ تَعَالَى بِخِلَافِهِ تَنَزَّهَ اللهُ تَعَالَى عَنْ جَمِيْعِ أَوْصَافِ الْخَلْقِ.
“Maka setiap apa yang terlintas di hatimu berupa panjang, lebar, pendek dan gemuk maka Allah s.w.t. adalah bukan seperti itu. Maha Suci Allah s.w.t. dari semua sifat-sifat makhlūq.”
DALĪL ATAS WAJIBNYA MUKHĀLAFAH BAGI ALLAH.
وَ الدَّلِيْلُ عَلَى وُجُوْبِ الْمُخَالَفَةِ لَهُ تَعَالَى أَنَّهُ لَوْ كَانَ شَيْءٌ مِنَ الْحَوَادِثِ يُمَاثِلُهُ تَعَالَى أَيْ إِذَا كَانَ اللهُ تَعَالَى لَوْ فَرِضَ اتِّصَافُهُ بِشَيْءٍ مِمَّا اتِّصَفَ بِهِ الْحَادِثُ لَكَانَ حَادِثًا.
“Dan dalīl atas wājibnya mukhālafah (berbeda dengan sekalian mukhlūq) bagi Allah s.w.t. adalah kalau ada sesuatu dari segala yang baru ini menyerupai Allah s.w.t., artinya jika Allah s.w.t. itu seandainya diwājibkan bersifat dengan sesuatu dari apa yang bersifat dengannya perkara yang baru niscaya Dia itu baru.”
وَ إِذَا كَانَ اللهُ تَعَالَى حَادِثًا لَافْتَقَرَ إِلَى مُحْدِثٍ وَ مُحْدِثُهُ إِلَى مُحْدِثٍ وَ هكَذَا وَ يَلْزَمُ الدَّوْرُ أَوِ التَّسَلْسُلُ وَ كُلٌّ مِنْهُمَا مُحَالٌ.
“Dan jika Allah s.w.t. itu baru niscaya Dia membutuhkan kepada Muḥdits dan Muḥdits-Nya itu membutuhkan lagi kepada muḥdits dan begitu seterusnya. Dan lazimlah Daur atau Tasalsul dan masing-masing dari keduanya adalah mustaḥīl.”
KESIMPULAN DALĪL MUKHĀLAFAH
وَ حَاصِلُ الدَّلِيْلِ أَنْ تَقُوْلَ لَوْ شَابَهَ اللهُ تَعَالَى حَادِثًا مِنَ الْحَوَادِثِ فِيْ شَيْءٍ لَكَانَ حَادِثًا مِثْلَهُ لِأَنَّ مَا جَازَ عَلَى أَحَدِ الْمِثْلَيْنِ جَازَ عَلَى الْآخَرَ وَ حُدُوْثُهُ تَعَالَى مُسْتَحِيْلٌ لِأَنَّهُ تَعَالَى وَاجِبٌ لَهُ الْقِدَمُ.
“Dan kesimpulan dalīl ini adalah bahwa anda berkata: Kalām Allah s.w.t. itu menyerupai akan yang baru dari segala yang baru dalam hal sesuatu niscaya Dia itu baru sebagaimana dia, karena apa-apa yang boleh (tetapnya) atas salah satu dari dua yang semitsal maka boleh pula (tetapnya) atas yang lain. Sedangkan barunya Allah s.w.t. itu adalah mustaḥīl karena Allah s.w.t. wājib bagi-Nya qidam.”
وَ إِذَا الْتَفَى عَنْهُ تَعَالَى الْحُوْتُ ثَبَتَ مُخَالَفَتَهُ تَعَالَى لِلْحَوَادِثِ.
“Dan jika terhapus dari Allah s.w.t. itu sifat baru niscaya tetaplah mukhālafahnya Allah s.w.t. bagi segala yang baru.”
فَلَيْسَ بَيْنَهُ تَعَالَى وَ بَيْنَ الْحَوَادِثِ مُشَابِهَةٌ فِيْ شَيْءٍ قَطْعًا وَ هذَا هُوَ الدَّلِيْلُ الْإِجْمَالِيُّ الْوَاجِبُ مَعْرِفَتُهُ كَمَا تَقَدَّمَ.
“Maka antara Allah s.w.t. dan segala yang baru tidak ada keserupaan dalam hal sesuatu secara qath‘ī (pasti). Dan inilah dia dalīl ijmālī yang wājib mengetahuinya sebagaimana telah terdahulu (keterangannya).”