Shalat Qashar dan Jama’ – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

SHALAT QASHAR DAN JAMA‘

 

[تَتِمَّةٌ]: يَجُوْزُ لِمُسَافِرٍ سَفَرًا طَوِيْلًا قَصْرُ رُبَاعِيَّةٍ، مُؤَدَّاةٍ، وَفَائِتَةِ سَفَرٍ قَصَّرَ فِيْهِ، وَ جَمْعُ الْعَصْرَيْنِ وَ الْمَغْرِبَيْنِ تَقْدِيْمًا وَ تَأْخِيْرًا، بِفِرَاقِ سُوْرٍ خَاصٍ بِبَلَدِ سَفَرٍ، وَ إِنِ احْتَوَى عَلَى خَرَابٍ وَ مَزَارِعَ. وَ لَوْ جَمَعَ قَرْيَتَيْنِ، فَلَا يُشْتَرَطُ مُجَاوَزَتُهُ، بَلْ لِكُلٍّ حُكْمُهُ، فَبُنْيَانٌ وَ إِنْ تَخَلَّلَهُ خَرَابٌ أَوْ نَهْرٌ أَوْ مِيْدَانٌ. وَ لَا يُشْتَرَطُ مُجَاوَزَةُ بَسَاتِيْنَ وَ إِنْ حُوِّطَتْ وَ اتَّصَلَتْ بِالْبَلَدِ، وَ الْقَرْيَتَانِ إِنِ اتَّصَلَتَا عُرْفًا كَقَرْيَةٍ، وَ إِنِ اخْتَلَفَتَا اِسْمًا، فَلَوِ انْفَصَلَتَا وَ لَوْ يَسِيْرًا كَفَى مُجَاوَزَةُ قَرْيَةِ الْمُسَافِرِ، لَا لِمُسَافِرٍ لَمْ يبْلُغْ سَفَرُهُ مَسِيْرَةَ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ بِسَيْرِ الْأَثْقَالِ مَعَ النُّزُوْلِ الْمُعْتَادِ لِنَحْوِ اسْتِرَاحَةٍ وَ أَكْلٍ وَ صَلَاةٍ، وَ لَا لِآبِقٍ، وَ مُسَافِرٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ حَالٌ قَادِرٌ عَلَيْهِ مِنْ غَيْرِ إِذْنِ دَائِنِهِ، وَ لَا لِمَنْ سَافَرَ لِمُجَرَّدِ رُؤْيَةِ الْبِلَادِ عَلَى الْأَصَحِّ. وَ يَنْتَهِي السَّفَرُ بِعَوْدِهِ إِلَى وَطَنِهِ، وَ إِنْ كَانَ مَارًّا بِهِ، أَوْ إِلَى مَوْضِعٍ آخَرَ، وَ نَوَى إِقَامَتَهُ بِهِ مُطْلَقًا، أَوْ أَرْبَعَةَ أَيَامٍ صِحَاحٍ، أَوْ عَلِمَ أَنَّ إِرْبَهُ لَا يَنْقَضِيْ فِيْهَا، ثُمَّ إِنْ كَانَ يَرْجُوْ حُصُوْلَهُ كُلَّ وَقْتٍ: قَصَّرَ ثَمَانِيَةَ عَشَرَ يَوْمًا.

Syarat Jama‘

(Penyempurnaan). Boleh bagi orang yang bepergian jauh melakukan shalat qashar terhadap shalat fardhu ada’ yang ber-raka‘at empat, dan shalat-shalat qadhā’ dalam perjalanan yang diqashar saat perjalanan itu. Begitu juga boleh menjama‘ taqdīm (11) atau dengan jama‘ ta’khīr (22) shalat Zhuhur-‘Ashar dan Maghrib-‘Isyā’. Qashar dan jama‘ tersebut boleh dilakukan setelah seseorang keluar dari batas desanya yang khusus, sekalipun di situ terdapat tanah-tanah gersang atau sawah ladang. Jika batas tersebut mengumpulkan dua desa, maka tidak disyaratkan harus melewatinya, tetapi masing-masing desa dihukumi sendiri-sendiri. Atau setelah melewati beberapa bangunan (33), sekalipun di sela-selai dengan bumi gersang (rusak), sungai atau tanah lapang. Tidak disyaratkan harus melewati perkebunan, sekalipun mengitari atau bersambung dengan balad. Dua desa yang menurut penilaian umum masih bersambung dianggap sebagai satu desa, sekalipun namanya berlainan. (44) Kalau sudah berpisah, sekalipun hanya sedikit, maka cukuplah musāfir melewati desanya sendiri. (Jama‘ dan qashar) tidak boleh dilakukan oleh musāfir yang menempuh perjalanan yang jaraknya kurang (tidak sampai) memakan waktu perjalanan sehari-semalam, dengan ukuran perjalanan membawa muatan (beban), juga menghitung waktu istirahatnya secara wajar, misalnya sekadar istirahat, makan dan shalat. Memakan waktu perjalanan membawa menghitung waktu istirahat, makan dan shalat. (55) Begitu juga tidak boleh bagi budak yang melarikan diri dari majikannya, musāfir pengutang yang mampu melunasi utangnya tanpa mendapat idzin dari pihak pemiutang. Demikian pula tidak boleh bagi orang musāfir yang perginya semata-mata ingin melihat negara, demikian menurut pendapat ashaḥḥ. Bepergian dianggap sudah berakhir dengan kembalinya musāfir di tanah kelahirannya – sekalipun hanya lewat saja – , atau sampai di tempat tujuan lain dan berniat bermuqīm di sana dalam waktu tidak tertentu atau selama 4 hari penuh, atau dia mengetahui bahwa di tempat tersebut kebutuhannya tidak dapat terpenuhi dalam waktu 4 hari. Jika masih mengharap tujuannya akan berhasil sewaktu-waktu, maka dia boleh mengqashar shalat selama 18 hari.

وَ شُرِطَ لِقَصْرٍ نِيَّةٍ قَصْرٍ فِيْ تَحَرُّمٍ، وَ عَدَمُ اقْتِدَاءٍ وَ لَوْ لَحْظَةً بِمُتِمٍّ وَ لَوْ مُسَافِرًا وَ تَحَرَّزَ عَنْ مَنَافِيْهَا دَوَامًا، وَ دَوَامُ سَفَرِهِ فِيْ جَمِيْعِ صَلَاتِهِ، وَ لِجَمْعٍ تَقْدِيْمٍ، نِيَّةُ جَمْعٍ فِي الْأُوْلَى وَ لَوْ مَعَ التَّحَلُّلِ مِنْهَا وَ تَرْتِيْبٌ، وَ وَلَاءٌ عُرْفًا، فَلَا يَضُرُّ فَصْلٌ يَسِيْرٌ بِأَنْ كَانَ دُوْنَ قَدْرِ رَكْعَتَيْنِ، وَ لِتَأْخِيْرِ نِيَّةُ جَمْعٍ فِيْ وَقْتِ الْأُوْلَى مَا بَقِيَ قَدْرَ رَكْعَةٍ، وَ بَقَاءُ سَفَرٍ إِلَى آخِرِ الثَّانِيَةِ.

Syarat Qashar

Disyaratkan untuk qashar shalat:
(1. Niat qashar di waktu takbīrat-ul-iḥrām. (66)
(2. Tidak berma’mūm sekalipun hanya sebentar kepada orang yang tidak mengqashar shalatnya, sekalipun imām ini adalah juga musāfir statusnya.
(3. Selama dalam shalatnya terhindar dari hal-hal yang membatalkan niat qashar. (77).
(4. Seluruh shalatnya masih dikerjakan selama menjadi musāfir.

Disyaratkan untuk pelaksanaan jama‘ taqdīm:
(a. Niat jama‘ di shalat pertama, sekalipun berada di tengah-tengah shalat tersebut.
(b. Pelaksanaannya shalat secara tertib.
(c. Muwālah atau sambung-menyambung antara shalat pertama dengan shalat kedua menurut penilaian umum. (88)

Karena itu, tidaklah menjadi masalah, jika antara dua shalat tersebut terpisah sebentar.

Disyaratkan untuk jama‘ ta’khīr:
(a. Niat jama‘ pada waktu shalat pertama sampai waktu tersebut masih cukup untuk mengerjakan satu raka‘at.
(b. Masih dalam bepergian hingga akhir shalat yang kedua. (99)

[فَرْعٌ]: يَجُوْزُ الْجَمْعُ بِالْمَرَضِ تَقْدِيْمًا وَ تَأْخِيْرًا عَلَى الْمُخْتَارِ وَ يُرَاعِي الْأَرْفَقَ، فَإِنْ كَانَ يَزْدَادُ مَرَضُهُ كَأَنْ كَانَ يَحُمُّ مَثَلًا وَقْتَ الثَّانِيَةِ قَدَّمَهَا بِشُرُوْطِ جَمْعِ التَّقْدِيْمِ، أَوْ وَقْتَ الْأُوْلَى أَخَّرَهَا بِنِيَّةِ الْجَمْعِ فِيْ وَقْتِ الْأُوْلَى. وَ ضَبَطَ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ الْمَرَضَ هُنَا بِأَنَّهُ مَا يَشُقُّ مَعَهُ فِعْلُ كُلِّ فَرْضٍ فِيْ وَقْتِهِ، كَمَشَقَّةِ الْمَشْيِ فِي الْمَطَرِ، بِحَيْثُ تَبْتَلُّ ثِيَابُهُ. وَ قَالَ آخِرُوْنَ: لَا بُدَّ مِنْ مَشَقَّةٍ ظَاهِرَةٍ زِيَادَةً عَلَى ذلِكَ، بِحَيْثُ تُبِيْحُ الْجُلُوْسَ فِي الْفَرْضِ. وَ هُوَ الْأَوْجَهُ.

(Cabang Masalah). Boleh menurut pendapat yang mukhtar menjama‘ shalat, – baik taqdīm atau ta’khīr – sebab sakit. (1010) Memilih mana yang dirasa lebih ringan. Jika penyakitnya selalu kambuh di waktu shalat kedua – umpamanya – , maka hendaknya melakukan jama‘ taqdīm dengan syarat-syaratnya di atas. Kalau kambuhnya di waktu shalat pertama, maka hendaknya dia mengerjakan shalat dengan jama‘ ta’khīr dengan niat jama‘ di waktu shalat pertama. Sekelompok ‘ulamā’ kurun akhir membatasi sakit dalam bab ini adalah sakit yang sampai memayahkan untuk mengerjakan setiap fardhu pada waktunya, sebagaimana kepayahan berjalan di waktu hujan yaitu sekira hujan dapat membasahi pakaian. ‘Ulamā’-‘ulamā’ lain berpendapat: Harus ada tambahan kesusahan yang jelas di atas kesusahan yang telah dituturkan, yaitu sekira dengan keadaan seperti itu seseorang diperbolehkan shalat dengan duduk. Pendapat inilah yang aujah. (1111)

(خَاتِمَةٌ): قَالَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْمِنْهَاجِ: مَنْ أَدَّى عِبَادَةً مُخْتَلِفًا فِيْ صِحَّتِهَا مِنْ غَيْرِ تَقْلِيْدٍ لِلْقَائِلِ بِهَا، لَزِمَهُ إِعَادَتُهَا، لِأَنَّ إِقْدَامَهُ عَلَى فِعْلِهَا عَبَثٌ.

(Penutup). Guru kami dalam kitab Syaraḥ Minhāj berkata: Barang siapa mengerjakan suatu ‘ibādah yang masih diperselisihkan oleh ‘ulamā’ tentang keabsahannya, (1212) sedangkan dia tidak mengikuti ‘ulamā’ yang memperbolehkan, maka dia wajib mengulanginya, sebab ‘ibādah yang dia kerjakan itu dianggap main-main. (1313).

Catatan:

  1. 1). Bagi selain mutahayyirah, maka tidak diperbolehkan baginya untuk menjama‘ taqdīm. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 115. Dār-ul-Fikr.
  2. 2). Selain di hari Jum‘at, maka tidak diperbolehkan untuk menjama‘ ta’khīr, sebab waktu shalat Jum‘at tidak mungkin diakhirkan. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 115. Dār-ul-Fikr.
  3. 3). Maksudnya adalah tempat ramai, jika desa tersebut tidak memiliki batas daerah. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 115. Dār-ul-Fikr.
  4. 4). Maka disyaratkan harus melewati dua desa tersebut, namun jika dua desa tersebut tidak memiliki batas desa. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 115. Dār-ul-Fikr.
  5. 5). Sekitar 80 km.
  6. 6). Seperti berniat: (نَوَيْتُ أُصَلِّي الظُّهْرَ مَقْصُوْرَةً). I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 117. Dār-ul-Fikr.
  7. 7). Seperti ragu apakah ingin menyempurnakan atau mengqashar. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 117. Dār-ul-Fikr.
  8. 8). Sekira tidak terpisah di antara keduanya dengan waktu yang cukup untuk mengerjakan shalat dua raka‘at secara cepat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 118. Dār-ul-Fikr.
  9. 9). Tidak disyaratkan dalam jama‘ ta’khīr untuk muwālah, niat jama‘ di shalat pertama dan tidak tartib seperti dalam jama‘ taqdīm. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 119. Dār-ul-Fikr.
  10. 10). Pendapat ini sesuai dengan pendapat dari madzhab Imām Aḥmad. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 119. Dār-ul-Fikr.
  11. 11). Imām Kurdī mengatakan bahwa batasan sakit yang yang diperbolehkan menjama‘ adalah sakit yang diperbolehkan untuk membatalkan puasa. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 115. Dār-ul-Fikr.
  12. 12). Seperti masalah menjama‘ untuk berangkat menuju haji, sedangkan perjalanannya tidak jauh seperti orang Makkah sendiri, maka hukumnya diperselisihkan. Imām Abū Ḥanīfah mengatakan menghukumi boleh menjama‘, sedangkan Imām Syāfi‘ī melarangnya. Jika seorang yang bermadzhab Syāfi‘ī menjama‘ dengan tidak mengikuti pendapat dari Imām Abū Ḥanīfah, maka wajib untuk mengulangi shalatnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 121. Dār-ul-Fikr.
  13. 13). Hal tersebut akan terjadi bila saat mengerjakannya ia tahu bahwa hal tersebut tidak boleh menurut madzhabnya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 121. Dār-ul-Fikr.

1 Komentar

  1. Mukhlisin berkata:

    Sangat membantu sekali dalam memahami isi² kitab dgn jelas,terimakasih semoga barokah dam manfaat

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *