Bab: Shalat Khauf.
- Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa rasa takut mempengaruhi tata cara shalat dan sifatnya (caranya), bukan rakaatnya, berdasarkan firman Allah s.w.t.:
وَ إِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu.” (Qs. an-Nisā’ [4]: 102).
Abū Ḥanīfah berpendapat dengan merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar (6201) bahwa imām harus membagi mereka menjadi dua kelompok. Satu kelompok berdiri menghadapi musuh sementara kelompok lainnya di belakangnya, lalu imām shalat mengimami kelompok pertama yaitu kelompok yang di belakangnya 1 rakaat dengan dua sujud. Bila dia telah mengangkat kepalanya dari sujud kedua maka kelompok ini (kelompok pertama) bergeser menuju ke arah musuh, lalu kelompok kedua maju dan ikut shalat bersama imām dengan 1 rakaat dan dua sujud, lalu imām membaca Tasyahhud dan Salām, tapi mereka tidak salām dan bergeser ke musuh, lalu kelompok pertama datang dan menunaikan shalat 1 rakaat dengan dua sujud tanpa membaca lalu kembali ke tempat mereka, kemudian kelompok kedua datang lalu shalat 1 rakaat dengan dua sujud dengan bacaan dan Tasyahhud lalu salām.
Menurut Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad, mereka merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Abī Hatsmah tentang shalat Khauf. (6212) Hadits ini telah dibahas dalam buku ini (6223). Yaitu bahwa imam membagi mereka menjadi dua kelompok, satu kelompok menghadap ke arah musuh sementara kelompok lainnya di belakangnya. Lalu beliau shalat dengan kelompok di belakangnya 1 rakaat dan tetap berdiri, sementara kelompok yang ikut shalat dengannya menyempurnakan shalatnya sendiri-sendiri dengan membaca surah al-Fātiḥah, surah lainnya sampai selesai (salām), lalu mereka bangkit (setelah salam) untuk berjaga-jaga. Kemudian kelompok kedua yang menghadap ke arah musuh datang lalu shalat dengan Nabi s.a.w. pada rakaat kedua, lalu beliau duduk Tasyahhud, sementara kelompok kedua menyempurnakan rakaat berikutnya sendiri-sendiri dengan membaca surah al-Fātiḥah dan surah lainnya. Dalam kondisi demikian imām memperlama Tasyahhudnya sampai mereka selesai Tasyahhud lalu beliau salām bersama mereka.
Hanya saja ada riwayat lain dari Mālik, yaitu bahwa imām salām tanpa menunggu kelompok kedua.
Meskipun mereka berbeda pendapat tentang sifatnya (tata caranya), tapi mereka sepakat dalam hal lainnya yaitu:
- Mereka sepakat bahwa shalat Khauf hanya boleh dilakukan dengan tiga syarat:
(a). Musuh berada di selain arah qiblat sehingga mereka tidak bisa shalat sampai membelakangi qiblat, atau mereka berada di sebelah kanan dan sebelah kirinya.
(b). Musuh kemungkinan besar menyerang pasukan Islam ketika mereka (pasukan Islam) tidak memerangi mereka.
(c). Jumlah kaum muslimin banyak sehingga mereka bisa dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok berhadapan dengan musuh dan kelompok lain di belakang imām. Kecuali Abū Ḥanīfah yang berpendapat bahwa musuh tidak harus berada di selain arah qiblat, tapi bisa dari arah mana saja. Menurutnya shalat Khauf boleh dilakukan bila dikhawatirkan musuh menyerang secara tiba-tiba. (6234).
- Mereka sepakat bahwa shalat Khauf tetap berlaku hukumnya setelah Nabi s.a.w. wafat dan tidak dinasakh. (6245).
- Mereka sepakat bahwa shalat Khauf saat muqīm (menetap) terdiri dari 4 rakaat dan tidak diqashar, sedangkan dalam perjalanan terdiri dari 2 rakaat, baik shalat tersebut asalnya 4 rakaat atau murni 2 rakaat. Bila asalnya 2 rakaat maka hukumnya tidak berbeda, baik saat muqīm maupun dalam perjalanan maupun saat takut. (6256).
- Mereka sepakat bahwa seluruh sifat yang diriwayatkan dari Nabi s.a.w. berkaitan dengan shalat Khauf hukumnya dianggap (berlaku). Yang diperselisihkan oleh mereka hanyalah mana yang dianggap paling kuat. Hanya saja asy-Syāfi‘ī dalam salah satu dari dua pendapatnya berkata: “Apabila seseorang menunaikan shalat Khauf berdasarkan pendapat Abū Ḥanīfah yang melandaskan pendapatnya pada riwayat Ibnu ‘Umar maka shalatnya tidak sah.” Demikianlah yang diriwayatkan oleh Abuth-Thayyib Thāhir bin ‘Abdillāh ath-Thabarī. (6267).
- Mereka berbeda pendapat tentang shalat saat perang.
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat mereka tidak sah dalam kondisi tersebut dan harus ditunda sampai mereka bisa shalat dalam kondisi tidak berperang.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Dia tidak boleh menundanya, karena shalat tersebut boleh dilakukan sesuai kondisi dan hukumnya sah.” (6278).
- Mereka berbeda pendapat, apakah shalat jamā‘ah boleh dilaksanakan saat suasana sangat takut ketika sedang naik kendaraan?
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya tidak boleh.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan.” (6289).
- Mereka sepakat bahwa membawa senjata saat shalat Khauf disyariatkan.
- Mereka berbeda pendapat, apakah wajib membawa senjata saat shalat Khauf atau tidak?
Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya -, dan Aḥmad berkata: “Hukumnya disunnahkan dan tidak wajib.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī, berkata – dalam pendapat lainnya yang paling kuat – , “Hukumnya wajib.” (62910).
- Mereka sepakat bahwa apabila pasukan Islam melihat banyak orang yang diduga musuh lalu mereka menunaikan shalat Khauf lalu ternyata rombongan yang diduga tersebut bukan musuh maka shalat mereka tidak sah dan harus diulang. Kecuali asy-Syāfi‘ī yang mengatakan dalam salah satu dari dua riwayat darinya bahwa shalat tersebut tidak perlu diulang dan hukumnya sah. (63011).
Bab: Pakaian yang Makruh dan yang Tidak Makruh untuk Dipakai.
- Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa laki-laki tidak boleh memakai pakaian sutra selain dalam peperangan. (63112).
- Kemudian mereka berbeda pendapat, apakah boleh memakai sutra saat perang?
Mālik dan asy-Syāfi‘ī membolehkannya, sementara , Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – menganggapnya makruh.
- Mereka berbeda pendapat tentang hukum duduk di atas kain sutra dan bersandar kepadanya.
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya haram seperti halnya memakainya.” Sementara Abū Ḥanīfah membolehkannya.
Catatan:
- 620). Hadits Ibnu ‘Umar diriwayatkan oleh al-Bukhārī (942), Muslim (839), dan an-Nasā’ī (1538).
- 621). Hadits Sahl bin Abī Hatsmah diriwayatkan oleh al-Bukhārī (4131) dengan redaksi yang panjang, Muslim (841) secara ringkas, Abū Dāūd (1237), at-Tirmidzī (565), an-Nasā’ī (1535), dan Ibnu Mājah (1259).
- 622). Lih. al-Jam‘u Bain-ash-Shaḥīḥain karya al-Ḥumaidī (1/477, no. 765).
- 623). Lih. al-Majmū‘ (4/292), al-Mughnī (2/252), al-Hidāyah (1/95), dan al-Mudawwanah (1/286).
- 624). Lih. al-Mughnī (2/250), al-Majmū‘ (4/289), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/326), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/148)
- 625). Lih. Al-Majmū‘ (4/300), Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/149), al-Mughnī (2/258), dan Raḥmat-ul-Ummah (57).
- 626). Dia adalah al-Qādhī Abuth-Thayyib Thāhir bin ‘Abdillāh bin Thāhir ath-Thabarī. Abū Isḥāq berkata tentangnya: “Beliau adalah guru kami. Kami tidak melihat orang yang lebih sempurna Ijtihādnya dan lebih teliti daripada beliau. Beliau wafat dalam usia 102 tahun dalam kondisi akalnya tidak rusak (tidak pikun) dan pemahamannya tidak berubah. Beliau adalah Mufti sekaligus Qādhī yang memiliki banyak karangan. Beliau wafat pada tahun 450 Hijriyyah.
Lih. Thabaqāt-usy-Syāfi‘iyyah karya al-Isnawī (2/58). Lih. al-Mughnī (2/257), dan Raḥmat-ul-Ummah (57). - 627). Lih. al-Mudawwanah (1/287), al-Mughnī (2/257), al-Majmū‘ (4/318), dan Raḥmat-ul-Ummah (57).
- 628). Lih. al-Majmū‘ (4/319), al-Hidāyah (1/96), dan al-Mughnī (2/270).
- 629). Lih. al-Mughnī (2/263), al-Majmū‘ (4/311), dan Raḥmat-ul-Ummah (57).
- 630). Lih. al-Majmū‘ (4/317), al-Mughnī (2/271), Raḥmat-ul-Ummah (58), dan al-Mabsūth (2/76).
- 631). Lih. al-Umm (2/460), al-Majmū‘ (4/320), Raḥmat-ul-Ummah (58), dan at-Taḥqīq (4/177).