وَ إِذَا كُنْتَ فِيْهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُمْ مَّعَكَ
“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan salat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (salat) besertamu.” (Qs. an-Nisā’ [4]: 102).
Abū Ḥanīfah berpendapat dengan merujuk hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu ‘Umar (6201) bahwa imām harus membagi mereka menjadi dua kelompok. Satu kelompok berdiri menghadapi musuh sementara kelompok lainnya di belakangnya, lalu imām shalat mengimami kelompok pertama yaitu kelompok yang di belakangnya 1 rakaat dengan dua sujud. Bila dia telah mengangkat kepalanya dari sujud kedua maka kelompok ini (kelompok pertama) bergeser menuju ke arah musuh, lalu kelompok kedua maju dan ikut shalat bersama imām dengan 1 rakaat dan dua sujud, lalu imām membaca Tasyahhud dan Salām, tapi mereka tidak salām dan bergeser ke musuh, lalu kelompok pertama datang dan menunaikan shalat 1 rakaat dengan dua sujud tanpa membaca lalu kembali ke tempat mereka, kemudian kelompok kedua datang lalu shalat 1 rakaat dengan dua sujud dengan bacaan dan Tasyahhud lalu salām.
Menurut Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad, mereka merujuk pada hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Abī Hatsmah tentang shalat Khauf. (6212) Hadits ini telah dibahas dalam buku ini (6223). Yaitu bahwa imam membagi mereka menjadi dua kelompok, satu kelompok menghadap ke arah musuh sementara kelompok lainnya di belakangnya. Lalu beliau shalat dengan kelompok di belakangnya 1 rakaat dan tetap berdiri, sementara kelompok yang ikut shalat dengannya menyempurnakan shalatnya sendiri-sendiri dengan membaca surah al-Fātiḥah, surah lainnya sampai selesai (salām), lalu mereka bangkit (setelah salam) untuk berjaga-jaga. Kemudian kelompok kedua yang menghadap ke arah musuh datang lalu shalat dengan Nabi s.a.w. pada rakaat kedua, lalu beliau duduk Tasyahhud, sementara kelompok kedua menyempurnakan rakaat berikutnya sendiri-sendiri dengan membaca surah al-Fātiḥah dan surah lainnya. Dalam kondisi demikian imām memperlama Tasyahhudnya sampai mereka selesai Tasyahhud lalu beliau salām bersama mereka.
Hanya saja ada riwayat lain dari Mālik, yaitu bahwa imām salām tanpa menunggu kelompok kedua.
Meskipun mereka berbeda pendapat tentang sifatnya (tata caranya), tapi mereka sepakat dalam hal lainnya yaitu:
(a). Musuh berada di selain arah qiblat sehingga mereka tidak bisa shalat sampai membelakangi qiblat, atau mereka berada di sebelah kanan dan sebelah kirinya.
(b). Musuh kemungkinan besar menyerang pasukan Islam ketika mereka (pasukan Islam) tidak memerangi mereka.
(c). Jumlah kaum muslimin banyak sehingga mereka bisa dibagi menjadi dua kelompok, satu kelompok berhadapan dengan musuh dan kelompok lain di belakang imām. Kecuali Abū Ḥanīfah yang berpendapat bahwa musuh tidak harus berada di selain arah qiblat, tapi bisa dari arah mana saja. Menurutnya shalat Khauf boleh dilakukan bila dikhawatirkan musuh menyerang secara tiba-tiba. (6234).
Abū Ḥanīfah berkata: “Shalat mereka tidak sah dalam kondisi tersebut dan harus ditunda sampai mereka bisa shalat dalam kondisi tidak berperang.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Dia tidak boleh menundanya, karena shalat tersebut boleh dilakukan sesuai kondisi dan hukumnya sah.” (6278).
Abū Ḥanīfah berkata: “Hukumnya tidak boleh.”
Mālik, asy-Syāfi‘ī, dan Aḥmad berkata: “Hukumnya dibolehkan.” (6289).
Abū Ḥanīfah, asy-Syāfi‘ī – dalam salah satu dari dua pendapatnya -, dan Aḥmad berkata: “Hukumnya disunnahkan dan tidak wajib.”
Mālik dan asy-Syāfi‘ī, berkata – dalam pendapat lainnya yang paling kuat – , “Hukumnya wajib.” (62910).
Mālik dan asy-Syāfi‘ī membolehkannya, sementara , Abū Ḥanīfah dan Aḥmad – dalam salah satu dari dua riwayat darinya – menganggapnya makruh.
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Hukumnya haram seperti halnya memakainya.” Sementara Abū Ḥanīfah membolehkannya.