Mālik, asy-Syāfi‘ī, Aḥmad dan dua murid Abū Ḥanīfah, yaitu Abū Yūsuf dan Muḥammad, berkata: “Disunnahkan menunaikan shalat Istisqā’ secara berjamā‘ah.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak disunnahkan menunaikan shalat Istisqā’. Yang dianjurkan adalah imam keluar bersama massa untuk berdoa. Bila mereka shalat sendiri-sendiri maka dibolehkan.” (6422).
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Caranya seperti shalat ‘Īd, yaitu pada rakaat pertama membaca takbir 6 kali selain Takbīrat-ul-Iḥrām, sedangkan pada rakaat kedua membaca takbir 5 kali selain Takbīrat-ul-Iḥrām.” Hanya saja asy-Syāfi‘ī berkata: “Pada rakaat pertama takbir dibaca 7 kali selain Takbīrat-ul-Iḥrām dengan suara keras.”
Mālik berkata: “Sifatnya adalah 2 rakaat seperti shalat-shalat lainnya dengan membaca takbir seperti biasa dengan suara keras.” (6433).
Mālik, asy-Syāfi‘ī, Aḥmad dalam riwayat yang dipilih oleh al-Khiraqī (6444), Ibnu Ḥamīd dan ‘Abd-ul-‘Azīz berkata: “Disunnahkan berkhutbah dua kali setelah shalat Istisqā’.”
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad dalam riwayat yang sesuai dengan nash perkataannya berkata: “Tidak ada khutbah dalam shalat Istisqā’. Yang ada hanyalah doa dan Istighfār.” (6455).
Aku (Ibnu Hubairah) mengatakan: “Aku menganjurkan agar berdoa dengan doa yang diriwayatkan oleh Anas (6466) r.a. yang telah kami sebutkan dalam buku ini.” (6477).
Mereka mengatakan: “Disunnahkan memindahkan selendang sebagai sikap optimis agar keadaan berubah.”
Abū Ḥanīfah berkata: “Tidak disunnahkan.” (6488).
Asy-Syāfi‘ī berkata dalam salah satu pendapatnya: “Apabila hujan tidak turun pada hari pertama maka orang-orang disuruh berpuasa selama 3 hari lalu shalat Istisqā’ diulang lagi.” (6499).