Shalat Gerhana Matahari – Fikih Empat Madzhab

Fikih Empat Madzhab
(Maliki, Hanafi, Hanbali, Syafi‘i)
(Judul: Ijmā‘-ul-A’immat-il-Arba‘ati waikhtilāfihim).
Oleh: Al-Wazir Yahya bin Muhammad bin Hubairah

Penerjemah: Ali Mh.
Penerbit: PUSTAKA AZZAM

Rangkaian Pos: 002 Bab Shalat - Fikih Empat Madzhab

Bab: Shalat Gerhana Matahari.

  1. Keempat Imām madzhab (Mālik, Abū Ḥanīfah, Aḥmad bin Ḥanbal, dan asy-Syāfi‘ī) sepakat bahwa shalat gerhana matahari hukumnya Sunnah Mu’akkadah dan dianjurkan berjamā‘ah. (6321).

‘Ulamā’ ahli bahasa berkata: “Kata Khusūf berasal dari kata Kasaf-uys-Syai’u, bila sesuatu hilang cahayanya. Khusūf adalah hilangnya cahaya. Dikatakan “inkhasafat-ul-Bi’ru” bila dasar sumur retak-retak.” (6332).

 

443). Mereka berbeda pendapat tentang caranya.

Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Jumlahnya 2 rakaat dan setiap rakaatnya ada dua ruku‘ dengan memperlama bacaan pada rakaat pertama yang lamanya seperti membaca surah al-Baqarah, lalu memperlama ruku‘ dan sujud agar setelah selesai matahari telah muncul”, sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya dalam kitab ini (6343) dalam Musnad Ibni ‘Abbās.

Abū Ḥanīfah berkata: “Sifatnya seperti shalat sunnah yang biasa kami lakukan, yaitu pada setiap rakaatnya hanya ada satu ruku‘, kemudian setelah itu berdoa sampai matahari muncul.” (6354).

 

  1. Mereka berbeda pendapat tentang membaca dalam shalat gerhana, apakah dibaca dengan suara keras atau lirih?

Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Bacaannya lirih.”

Aḥmad berkata: “Bacaannya keras.” Pendapat ini disetujui oleh dua murid Abū Ḥanīfah yaitu Abū Yūsuf dan Muḥammad. (6365).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah shalat gerhana ada khutbahnya?

Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: “Tidak disunnahkan berkhutbah dalam shalat gerhana matahari, begitu pula dalam shalat gerhana bulan.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ada dua khutbah setelah menunaikannya baik shalat gerhana matahari atau gerhana bulan.”

Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Aḥmad. (6376).

 

  1. Mereka berbeda pendapat apabila gerhana matahari terjadi pada waktu-waktu yang dilarang menunaikan shalat di dalamnya, apakah boleh menunaikan shalat pada waktu tersebut?

Abū Ḥanīfah dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: Tidak boleh shalat pada waktu tersebut dan diganti dengan membaca Tasbīḥ.”

Asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh menunaikan shalat pada waktu tersebut.”

Menurut Mālik, dalam hal ini ada tiga riwayat darinya.

Pertama, boleh menunaikan shalat gerhana setiap saat (pada semua waktu).

Kedua, hanya boleh menunaikan shalat gerhana pada waktu-waktu yang dibolehkan menunaikan shalat di dalamnya dan tidak boleh menunaikannya pada waktu-waktu terlarang.

Ketiga, shalat gerhana boleh dilakukan selama matahari belum tergelincir dan tidak boleh setelah matahari tergelincir, karena menyesuaikan dengan shalat Hari Raya (‘Īd). (6387).

 

  1. Mereka berbeda pendapat, apakah disunnahkan menunaikan shalat gerhana bulan secara berjamā‘ah atau hanya dianjurkan menunaikannya sendiri-sendiri?

Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak disunnahkan berjamā‘ah dan harus dilaksanakan sendiri-sendiri.”

Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Disunnahkan agar menunaikannya secara berjamā‘ah.” Keduanya berkata: “Disunnahkan agar membaca dengan suara keras.” (6398).

 

  1. Mereka sepakat (Ijma‘) bahwa dalam shalat gerhana matahari dan bulan disunnahkan agar menyeru dengan ucapan: “Ash-shalātu Jāmi‘atan.” (6409).

Catatan:

  1. 632). Ibnu Qudamah menjelaskan bahwa tidak ada perselisihan pendapat di kalangan ‘ulamā’ bahwa shalat gerhana matahari disyariatkan. Adapun shalat gerhana bulan, mayoritas ‘ulamā’ berpendapat bahwa kukumnya juga disyariatkan. Lih. Al-Mughnī (2/273).
  2. 633). Lih. al-Qāmūs (783), al-Mishbāḥ-ul-Munīr (317), dan Mukhtar-ush-Shiḥāḥ (309).
  3. 634). Yang dimaksud adalah kitab al-Jam‘u Bain-ash-Shaḥīḥain karya al-Ḥumaidī yang disyarah olehnya dengan judul al-Ifshaḥu ‘an Ma‘ān-ish-Shiḥāḥ.
  4. 635). Lih. Al-Mughnī (2/272), al-Muhadzdzab (1/229), al-‘Uddah (2/112), dan at-Talqīn (137),
  5. 636). Lih. at-Talqīn (138), al-Muhadzdzab (1/229), at-Taḥqīq (4/183), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/253),
  6. 637). Lih. Bidāyat-ul-Mujtahid (1/391), Raḥmat-ul-Ummah (65), al-Muhadzdzab (1/229), dan al-Hidāyah (1/95),
  7. 638). Lih. al-Istidzkār (2/415), Bidāyat-ul-Mujtahid (1/390), dan Badā’i‘-ish-Shanā’ī‘ (2/256).
  8. 639). Lih. at-Talqīn (139), al-Hidāyah (1/95), Raḥmat-ul-Ummah (65), dan Bidāyat-ul-Mujtahid (1/391).
  9. 640). Lih. al-Umm karya asy-Syāfi‘ī (2/532).

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *