‘Ulamā’ ahli bahasa berkata: “Kata Khusūf berasal dari kata Kasaf-uys-Syai’u, bila sesuatu hilang cahayanya. Khusūf adalah hilangnya cahaya. Dikatakan “inkhasafat-ul-Bi’ru” bila dasar sumur retak-retak.” (6332).
443). Mereka berbeda pendapat tentang caranya.
Mālik, asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Jumlahnya 2 rakaat dan setiap rakaatnya ada dua ruku‘ dengan memperlama bacaan pada rakaat pertama yang lamanya seperti membaca surah al-Baqarah, lalu memperlama ruku‘ dan sujud agar setelah selesai matahari telah muncul”, sebagaimana yang telah kami uraikan sebelumnya dalam kitab ini (6343) dalam Musnad Ibni ‘Abbās.
Abū Ḥanīfah berkata: “Sifatnya seperti shalat sunnah yang biasa kami lakukan, yaitu pada setiap rakaatnya hanya ada satu ruku‘, kemudian setelah itu berdoa sampai matahari muncul.” (6354).
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan asy-Syāfi‘ī berkata: “Bacaannya lirih.”
Aḥmad berkata: “Bacaannya keras.” Pendapat ini disetujui oleh dua murid Abū Ḥanīfah yaitu Abū Yūsuf dan Muḥammad. (6365).
Abū Ḥanīfah, Mālik, dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: “Tidak disunnahkan berkhutbah dalam shalat gerhana matahari, begitu pula dalam shalat gerhana bulan.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Ada dua khutbah setelah menunaikannya baik shalat gerhana matahari atau gerhana bulan.”
Pendapat yang sama juga diriwayatkan dari Aḥmad. (6376).
Abū Ḥanīfah dan Aḥmad dalam riwayat yang masyhur darinya berkata: Tidak boleh shalat pada waktu tersebut dan diganti dengan membaca Tasbīḥ.”
Asy-Syāfi‘ī berkata: “Boleh menunaikan shalat pada waktu tersebut.”
Menurut Mālik, dalam hal ini ada tiga riwayat darinya.
Pertama, boleh menunaikan shalat gerhana setiap saat (pada semua waktu).
Kedua, hanya boleh menunaikan shalat gerhana pada waktu-waktu yang dibolehkan menunaikan shalat di dalamnya dan tidak boleh menunaikannya pada waktu-waktu terlarang.
Ketiga, shalat gerhana boleh dilakukan selama matahari belum tergelincir dan tidak boleh setelah matahari tergelincir, karena menyesuaikan dengan shalat Hari Raya (‘Īd). (6387).
Abū Ḥanīfah dan Mālik berkata: “Tidak disunnahkan berjamā‘ah dan harus dilaksanakan sendiri-sendiri.”
Asy-Syāfi‘ī dan Aḥmad berkata: “Disunnahkan agar menunaikannya secara berjamā‘ah.” Keduanya berkata: “Disunnahkan agar membaca dengan suara keras.” (6398).