2
Seorang mukmin diuji dengan nafs dan berbagai angan-angannya. Nafs diberi kekuasaan untuk bisa masuk ke dalam shadr. Nafs bersumber dari dalam perut dan tempat yang dekat. Ia muncul dari darah dan kekuatan kotor. Rongga perut tersebut terisi oleh gelap asapnya dan panas apinya. Kemudian ia masuk ke dalam shadr lewat bisikan dan angan-angan bāthilnya sebagai ujian Allah padanya. Sehingga, dengan kejujuran rasa papanya dan penghambaan yang terus-menerus, hamba itu pun meminta tolong kepada Tuhannya. Allah s.w.t. segera meresponnya dan menjauhkan keburukannya dari si hamba. Demikian pula dengan syaithan. Ia masuk dengan cara membisiki shadr si hamba. Itulah batas akhir kekuasaan nafs. Sebab, nafs yang selalu memerintahkan kepada keburukan menyerupai wujud syaithan. Keduanya sama-sama syaithan. Allah s.w.t. berfirman:
شَيَاطِيْنَ الإِنْسِ وَ الْجِنِّ
“Syaithan yang berasal dari manusia dan jinn.” (61)
Allah s.w.t. mengasihi hamba-Nya yang mu’min dengan tidak menjadikan hatinya berada dalam kendali nafs. Lewat kasih sayang-Nya Dia menguasai dan mengujinya lewat masuknya syaithan berikut bisikan ke shadr-nya guna memberitahukan sedikit saja dari ketidakberdayaannya. Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh Allah s.w.t.:
وَ لِيَبْتَلِيَ اللهُ مَا فِيْ صُدُوْرِكُمْ
“Supaya Allah menguji apa yang ada di dalam shadr kalian.” (72)
Yakni: lewat berbagai bisikan syaithan dan nafs. Wa Allāh a‘lam.
وَ لِيُمَحِّصَ مَا فِيْ قُلُوْبِكُمْ
“Juga supaya Dia membersihkan apa yang ada dalam hati kalian.” (83)
Qalbu menjadi bersih dengan cahaya īmān. Allah berfirman:
الَّذِيْ يُوَسْوِسُ فِيْ صُدُوْرِ النَّاسِ
“Yang memberikan bisikan ke dalam shadr manusia.” (94)
Perlu diketahui bahwa lapang dan sempit dikaitkan dengan shadr, bukan dengan hati. Allah s.w.t. berfirman:
فَلاَ يَكُنْ فِيْ صَدْرِكَ حَرَجٌ مِنْهُ
“Maka, jangan sampai ada kesempitan di dalam shadrmu karenannya.” (105)
فَلَعَلَّكَ تَارِكٌ بَعْضَ مَا يُوْحى إِلَيْكَ وَ ضَائِقٌ بِهِ صَدْرُكَ
“Maka bisa jadi engkau meninggalkan sebagian dari yang diwahyukan kepadamu dan shadrmu merasa sempit karenanya.” (116)
وَ لَقَدْ تَعْلَمُ أَنَّكَ يَضِيْقُ صَدْرُكَ
“Kami mengetahui bahwa shadrmu merasa sempit.” (127)
Allah juga menceritakan tentang Nabi Mūsā a.s. yang berkata:
قَالَ رَبِّ إِنِّيْ اَخَافُ أَنْ يُكَذِّبُوْنِ وَ يَضِيْقُ صَدْرِيْ
“Wahai Tuhan, aku khawatir mereka akan mendustakanku dan shadrku terasa sempit.” (138)
Allah mengaitkan sempitnya shadr Nabi s.a.w. dan shadr Mūsā a.s. bukan karena bisikan sebagaimana yang menimpa kebanyakan kaum muslim. Sebab, para nabi telah dijaga oleh Tuhan dari bisikan setan dan dorongan nafs. Namun shadr mereka menjadi sempit apabila kaum kafir menyekutukan Allah dan mendustakan para nabi yang menyebutkan keesaan-Nya. Sempitnya shadr tidak terbatas. Shadr setiap orang terasa sempit sesuai dengan kadar kebodohan dan murkanya. Demikian pula kelapangannya tidak terhingga saat ia merasa lapang dengan petunjuk Allah s.w.t. Ketika merasa sempit dengan kebenaran, ia akan lapang untuk kebathilan. Sebaliknya, ketika merasa sempit dengan kebathilan, ia akan lapang untuk kebenaran. Allah berfirman kepada Nabi-Nya:
أَ لَمْ نَشْرَحْ لَكَ صَدْرَكَ
“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu shadrmu.” (149)
Allah menganugerahkan kepada beliau kelapangan shadr lewat berbagai kebenaran Islam sehingga shadr beliau merasa tidak nyaman dengan merajalelanya kebathilan. Shadr seorang mukmin kadangkala menjadi sempit oleh banyaknya bisikan, kerisauan, kesibukan, tuntutan berbagai keinginan, munculnya berbagai kejadian, dan terjadinya berbagai musibah. Ia juga terasa sempit manakala mendengar kebathilan. Hatinya tidak bisa menerima hal itu. Sebab, Allah s.w.t. telah melapangkan shadr-nya dengan cahaya Islam:
فَهُوَ عَلى نُوْرٍ مِنْ رَبِّهِ
“Dia berada di atas cahaya Tuhannya.” (1510)
Sementara shadr (Hati Yang Menghadap Makhluk) orang kafir dan munāfiq, penuh dengan kegelapan, kemusyrikan, dan keraguan. Shadr mereka menjadi lapang untuknya sehingga tidak ada tempat sedikit pun untuk cahaya Islām. Ia merasa sempit dengan luasnya cahaya kebenaran. Allah s.w.t. berfirman:
وَ لكِنْ مَنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِنَ اللهِ
“Akan tetapi siapa yang shadrnya merasa lapang dengan kekufuran, maka mereka layak mendapat murka Allah.” (1611)
فَمَنْ يُرِدِ اللهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلاَمِ وَ مَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا
“Siapa yang hendak Allah beri petunjuk, Dia lapangkan shadrnya untuk menerima Islām. Sementara siapa yang hendak Dia sesatkan, Dia jadikan shadrnya sempit dan berat.” (1712)
Tak ada musuh yang tak dapat ditaklukkan oleh cinta. Tak ada penyakit yang tak dapat disembuhkan oleh kasih sayang. Tak ada permusuhan yang tak dapat dimaafkan oleh ketulusan. Tak ada kesulitan yang tak dapat dipecahkan oleh ketekunan. Tak ada batu keras yang tak dapat dipecahkan oleh kesabaran. Semua itu haruslah berasal dari hatimu.
Allah s.w.t. menerangkan bahwa ketika shadr penuh dengan gelapnya kekufuran, ia merasa sempit dengan cahaya kebalikannya.
Shadr orang mu’min adalah tempat cahaya Islām. Islām merupakan nama yang mencakup agama Allah s.w.t. Nama tersebut juga dihubungkan dengan hamba sebagaimana sabda Nabi s.a.w.:
“Islam adalah pengakuan dengan lisan serta pengamalan dengan anggota badan, berikut pembenarannya atas iman dan penyaksiannya atas berbagai ciptaan ar-Raḥmān (Tuhan).” (1813)
Sebagaimana mata, tanah suci, rumah, pelita, dan buah almond (badam) merupakan nama yang mencakup, maka Islam juga merupakan sebuah nama atau istilah yang mencakup īmān, pengakuan dengan lisan, dan pengamalan dengan anggota badan. Hanya saja, Islām mempunyai aspek lahiriah dan orang munāfiq, musyrik, dan muslim padahal dilihat dari bāthinnya sesungguhnya ia kafir. Allah s.w.t. berfirman:
قَالَتِ الأَعْرَابُ آمَنَّا قُلْ لَمْ تُؤْمِنُوْا وَ لكِنْ قُوْلُوْا أَسْلَمْنَا
“Orang-orang ‘Arab Badui itu berkata: Kami telah beriman. Katakanlah (kepada mereka): Kamu belum beriman, tetapi katakanlah: kami telah berislam (tunduk).” (1914)
Jadi, Allah menjelaskan bahwa mereka belum beriman. Mereka baru mengaku Islam dengan mulut mereka, sementara hati mereka belum beriman. Adapun aspek bāthiniah Islam adalah tunduk kepada Tuhan seluruh manusia serta menyerahkan nafs dan hatinya kepada seluruh hukum yang berlaku atasnya. Allah s.w.t. berfirman:
بَلى مَنْ أَسْلَمَ وَجْهَهُ للهِ وَ هُوَ مُحْسِنٌ
“(Tidak demikian). Tetapi siapa yang mengarahkan wajahnya kepada Allah sementara ia berbuat iḥsān.” (2015)
Inilah muslim hakiki yang cahaya Islāmnya menyatu dengan cahaya īmān dan cahaya iḥsān. Semua cahaya itu saling bekerja sama, berhubungan, dan menyatu. Ketika menyebutkan cerita para nabi, Allah berfirman:
إِنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيْهَا هُدًى وَ نُوْرٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّوْنَ الَّذِيْنَ أَسْلَمُوْا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurāt. Di dalamnya ada petunjuk dan cahaya. Dengan kitab itulah para nabi menetapkan hukum atas mereka yang menyerahkan diri kepada Allah.” (2116)
Dalam kisah Ibrāhīm, Dia juga berfirman:
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَ تَلَّهُ لِلْجَبِيْنِ
“Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrāhīm membaringkan anaknya atas pelipisnya.” (2217)
Mereka adalah orang-orang pilihan Allah. Allah meminta mereka untuk istiqāmah (konsisten) di atas hakikat Islām. Yaitu, dengan tidak mengandalkan daya dan kekuatan mereka. Dengan demikian, mereka menyerahkan diri mereka, baik secara lahir maupun bāthin kepada Allah s.w.t. Dalil bahwa Islām dan Īmān meskipun berbeda nama tetapi mempunyai pengertian yang serupa adalah firman Allah s.w.t.:
وَ قَالَ مُوْسى يَا قَوْمِ إِنْ كُنْتُمْ آمَنْتُمْ بِاللهِ فَعَلَيْهِ تَوَكَّلُوْا ِإنْ كُنْتُمْ مُسْلِمِيْنَ
“Mūsā berkata: Wahai kaumku, jika kalian beriman kepada Allah, maka tawakkallah kepada-Nya semata bila kalian benar-benar berserah diri (berislam).” (2318)
وَ إِذَا تُتْلى عَلَيْهِمْ قَالُوْا آمَنَّا بِهِ إِنَّهُ الْحَقُّ مِنْ رَبِّنَا إِنَّا كُنَّا مِنْ قَبْلِهِ مُسْلِمِيْنَ
“Apabila dibacakan kepada mereka (ayat-ayat al-Qur’ān) mereka berkata: Kami beriman kepadanya. Ia benar berasal dari Tuhan kami. Sesungguhnya kami sebelumnya adalah orang-orang yang tunduk (berislam).” (2419)
فَأَخْرَجْنَا مَنْ كَانَ فِيْهَا مِنَ الْمُؤْمِنِيْنَ
“Lalu Kami keluarkan orang-orang beriman yang berada di dalamnya.” (2520)
Sesuai dengan pemahaman masyarakat dan kerangka syariat, iman adalah mengakui kebenaran, menerimanya dengan hati, serta menetapkan dengan lisan bahwa ia benar. Sementara Islām adalah tunduk kepada kebenaran dengan nafs dan hati, istiqāmah di atasnya, serta menghindari segala yang bertentangan dengannya.
Shadr juga merupakan tempat sifat dengki dan kejahatan. Sebab, nafs mempunyai sifat dengki dan jahat. Ia mempunyai kekuasaan di dalam shadr dengan masuk ke dalamnya sebagai bentuk ujian sebagaimana telah disebutkan sebelumnya. Allah s.w.t. menyebutkan sifat penduduk surga:
وَ نَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِنْ غِلٍّ
“Kami cabut sifat dengki yang ada pada shadr mereka.” (2621)
Sehingga, mereka memasuki surga tanpa perasaan dengki. Hati seorang mu’min terpelihara dari sifat dengki sebab ia menjadi tempat īmān. Hanya saja Allah tetap memerintahkan para hamba-Nya untuk berdu‘ā dan meminta kepada-Nya agar Dia tidak meletakkan sifat dengki ke dalam hati mereka. Allah s.w.t. berfirman:
وَ لاَ تَجْعَلْ فِيْ قُلُوْبِنَا غِلاًّ لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا
“Jangan Kau jadikan di dalam hati kami ada sifat dengki terhadap orang-orang beriman.” (2722)
Dia senang kalau mereka berdu‘ā dan takut kepada-Nya agar hati mereka menjadi tampak dengan jelas. Dia juga tidak menjamin untuk menjaga shadr mereka dari segala bisikan agar mereka mengetahui anugerah Allah pada mereka. Dia pun memelihara hati mereka agar terus berlindung kepada-Nya dari segala bisikan shadr, agar mereka bertambah mulia dan terhormat ketika Allah membersihkan hati mereka. Juga, agar mereka tambah merasa hina. Allah s.w.t. berfirman:
وَ يَشْفِ صُدُوْرَ قَوْمٍ مُؤْمِنِيْنَ وَ يُذْهِبْ غَيْظَ قُلُوْبِهِمْ
“Niscaya Dia mengobati shadr orang-orang beriman dan menghilangkan panas hati mereka.” (2823)
Allah menerangkan bahwa obat dan kesembuhan ada pada shadr yang merupakan tempat sifat dengki. Dia juga berfirman:
قَدْ جَاءَتْكُمْ مَوْعِظَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَ شَفَاءٌ لِمَا فِي الصُّدُوْرِ
“Telah datang kepada kalian pelajaran dari Tuhan kalian dan obat bagi apa yang terdapat di shadr.” (2924)
Hati seorang mukmin sehat, demikian pula dengan shadr-nya. Sementara hati orang kafir dan munāfiq mati dan sakit. Di dalam shadr-nya juga terdapat kezhaliman yang sangat hebat. Allah s.w.t. berfirman:
فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ
“Di dalam hati mereka terdapat penyakit.” (3025)
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ
“Syirik merupakan kezhaliman yang sangat besar.” (3126)
إِنْ فِيْ صُدُوْرِهِمْ إِلاَّ كِبْرٌ
“Yang ada dalam shadr mereka hanyalah kesombongan.” (3227)
Perlu diketahui bahwa setiap pengetahuan yang hanya bisa diraih dengan cara dan berupaya keras lewat cara mendengar dan menerima informasi, entah itu berupa al-Qur’ān, hadits ataupun lainnya, maka tempatnya adalah shadr dan ia bisa saja terlupakan. Allah s.w.t. berfirman:
بَلْ هُوَ آيَاتٌ بَيِّنَاتٌ فِيْ صُدُوْرِ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ
“Tetapi ia adalah ayat-ayat yang jelas dalam shadr orang-orang yang diberi pengetahuan.” (3328)
Ia merupakan ‘ilmu yang ungkapan, bacaan, riwayat, dan uraiannya telah disiapkan dan bisa saja pemiliknya terlupa. Sebab, yang membawa dan menjaganya adalah nafs yang mempunyai sifat (karakter) cepat lupa. Barangkali ia akan terlupa setelah dihafal dan setelah diupayakan dengan sungguh-sungguh. Shadr dalam pengertian ini seperti bagian luar hati. Misalnya, Fulan membaca di luar kepala (di luar hati). Walaupun telah berupaya, bisa saja pada suatu saat ia alpa, lupa, dan ragu dengan hafalannya. Posisi shadr dari hati sama seperti posisi kerang dari mutiara. Bisa saja pada suatu saat ada sesuatu selain mutiara yang masuk ke dalam kerang, seperti air dan sejenisnya. Kemudian ia keluar lagi darinya. Di dalam kerang tidak ada tempat lagi selain tempat bagi mutiara yang jika dimasuki oleh sesuatu, mutiara tersebut akan terangkat. Dalam kondisi demikian, tempatnya akan kosong dan diisi oleh benda lain.