Setibanya mereka (‘Uyainah dan pasukannya) di Madīnah, datanglah utusan dari Bani Tamīm. Di antaranya terdapat ‘Uthārid bin Ḥājib, Zibriqān bin Badar, dan ‘Amr bin al-Ahtam. Mereka duduk menunggu Rasūlullāh s.a.w. keluar. Ketika Rasūlullāh s.a.w. sangat lama menemui mereka, mereka berseru dari belakang kamarnya dengan suara yang kasar: “Hai Muḥammad, keluarlah untuk menemui kami. Kami akan membangga-banggakan dirimu. Sesungguhnya pujian kami enak untuk didengar dan celaan kami amat tidak enak bila didengar.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. keluar menemui mereka dalam keadaan tidak nyaman karena teriakan mereka yang kasar itu. Berkenaan dengan peristiwa itu turunlah firman Allah s.w.t.:
“Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar(mu) kebanyakan tidak mengerti. Kalau sekiranya mereka bersabar sampai kamu keluar menemui mereka, sesungguhnya itu lebih baik bagi mereka, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al-Ḥujurāt: 4-5) (151)
Pada saat itu, waktu Zhuhur telah tiba. Shahabat Bilāl menyerukan ādzān kemudian keluarlah Rasūlullāh s.a.w. dari dalam kamarnya. Tatkala mereka melihat Rasūlullāh s.a.w. telah keluar, mereka mengganduli beliau seraya berkata: “Kami adalah orang-orang dari Bani Tamīm. Kami sengaja datang dengan membawa penyair dan ahli pidato kami dengan maksud membangga-banggakan dirimu. Maka Rasūlullāh s.a.w. menjawab:
“Bukan untuk syair aku diutus, dan bukan untuk berbangga-bangga aku diperintahkan.”
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. shalat Zhuhur. Setelah itu, para utusan dari Tamīm itu berkumpul di sekitar Nabi s.a.w. seraya membangga-banggakan kejayaan mereka dan kejayaan nenek-moyang mereka. ‘Amr bin al-Ahtam memuji az-Zibriqān bin Badar melalui perkataannya: “Sesungguhnya dia adalah orang yang selalu ditaati selamanya dan pemimpin di kalangan kaumnya.”
Maka az-Zibriqān berkata: “Wahai Rasūlullāh, dia merasa iri terhadap kehormatanku, padahal ia mengetahui apa yang lebih baik dari perkataannya itu.”
‘Amr berkata lagi: “Sesungguhnya dia tidak mempunyai harga diri, orang-orang menjauhinya, dan buruk perangainya.”
Pada saat itu, tampaklah tanda kemarahan pada wajah Rasūlullāh s.a.w. karena mendengar dua perkataan ‘Amr yang berbeda.
Lalu ‘Amr berkata: “Wahai Rasūlullāh, pada ucapan yang pertama aku berkata benar, tetapi aku tidak berdusta pada perkataan yang kedua. Pada perkataan yang pertama aku dalam keadaan senang maka aku katakan yang sebaik-baiknya dari apa yang pernah aku ketahui mengenai dirinya. Pada perkataan yang kedua aku dalam keadaan marah maka aku katakan yang seburuk-buruknya dari yang telah aku ketahui mengenai dirinya.” Lalu Rasūlullāh s.a.w. berkata:
“Sesungguhnya sebagian dari penjelasan itu sihir.”
Kemudian para utusan itu semuanya masuk Islam. Rasūlullāh s.a.w. mengembalikan kepada mereka tawanannya. Selain itu, beliau juga memberikan hadiah yang baik kepada mereka. Mereka tinggal selama beberapa waktu untuk belajar al-Qur’ān dan mendalami agamanya.
Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengirimkan al-Walīd bin ‘Uqbah bin Abī Mu‘aith untuk mengambil zakat dari Bani Musthaliq. Ketika Bani Mustahiq melihat kedatangannya, keluarlah dari kalangan mereka sebanyak dua puluh orang lelaki seraya menyandang senjata dengan tujuan menyambut kedatangannya, dan bersama mereka unta-unta untuk zakat. Namun, ketika al-Walīd melihat keadaan mereka, ia menduga bahwa mereka bermaksud memeranginya, mengingat antara dia dan mereka pernah terjadi permusuhan pada masa jahiliah.
Melihat hal itu, al-Walīd kembali lagi dengan cepat ke Madīnah, lalu ia memberitahukan kepada Rasūlullāh bahwa Bani Musthaliq telah murtad dan tidak mau membayar zakat mereka. Rasūlullāh s.a.w. segera mengirimkan shahabat Khālid bin al-Walīd untuk mengecek kebenaran berita itu. Lalu Khālid berangkat menuju tempat mereka secara diam-diam. Ketika Khālid memasuki tempat berkumpul mereka, ia mendengar salah seorang dari kalangan mereka mengumandangkan ādzān shalat subuh. Kemudian Khālid bin al-Walīd mendatangi mereka, dan ternyata ia melihat mereka sungguh-sungguh taat. Kemudian Khālid kembali ke Madīnah dan menceritakan semua yang telah disaksikannya. Lalu Rasūlullāh s.a.w. mengutus shahabat lainnya untuk mengambil zakat mereka. Sehubungan dengan peristiwa al-Walīd ini, turunlah firman Allah s.w.t.:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepada kalian orang fasiq membawa berita maka periksalah dengan teliti agar kalian tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kalian menyesal atas perbuatan itu.” (Al-Ḥujurāt: 6)
Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita bahwa segolongan orang Ḥabasyah terlihat oleh penduduk Jeddah berada di dalam perahu-perahu mereka. Dan gerak-gerik mereka dapat dibaca bahwa mereka bermaksud menyerang Jeddah. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengutus shahabat ‘Alqamah bersama tiga ratus pasukan. Kemudian ‘Alqamah membawa pasukannya hingga sampai di Jeddah, dan langsung menuju ke pantai. Lalu naik perahu untuk mengejar mereka. Pada saat itu, orang-orang Ḥabasyah itu melihat kedatangan kaum Muslimīn, mereka mengetahui bahwa kaum Muslimīn itu datang untuk menyerang mereka, maka mereka buru-buru melarikan diri sehingga tidak terjadi peperangan.
Lalu ‘Alqamah dan pasukannya pulang. Di tengah perjalanan pulang, ‘Alqamah memerintahkan mereka melalui seruan supaya berjalan agak cepat. Lalu ‘Alqamah mengangkat ‘Abdullāh bin Ḥudzafah as-Sahmī untuk memimpin mereka. ‘Abdullāh bin Ḥudzafah as-Sahmī ini suka bergurau orangnya. Ia menyalakan api yang cukup besar untuk mereka sewaktu istirahat di tengah perjalanan. Setelah itu, ‘Abdullāh berkata kepada mereka: “Bukankah kalian diperintahkan supaya menaati perintahku?”
Mereka menjawab: “Ya.”
Lalu ‘Abdullāh berkata: “Aku ingin kalian melompat masuk ke dalam api ini.”
Di antara mereka ada yang berkata: “Tidak, kami masuk Islam untuk menghindarkan diri dari api (neraka).”
Namun, ternyata ada sebagian dari mereka yang hendak melompat ke dalam api, kemudian dicegah oleh ‘Abdullāh seraya berkata: “Aku hanya bergurau.”
Ketika mereka menceritakan hal tersebut kepada Rasūlullāh s.a.w., beliau bersabda:
“Tidak ada ketaatan kepada makhlūq dalam kemaksiaatan kepada al-Khāliq.” (162)
Pada bulan Rabī‘-ul-Awwal, Rasūlullāh s.a.w. mengutus shahabat ‘Alī bin Abī Thālib bersama lima puluh pasukan berkuda untuk menghancurkan berhala al-Fulus (الفُلُس), milik penduduk Thayyi’. Kemudian shahabat ‘Alī berangkat bersama pasukannya hingga sampai ke tempat tersebut, lalu ia merobohkan dan membakar berhala itu dengan seketika. Namun, para penyembahnya mempertahankannya sehingga mereka berperang dengan kaum Muslimīn. Shahabat ‘Alī dapat mengalahkan mereka dan semua ternak milik mereka digiring, demikian pula para tawanan yang berhasil ditangkapnya. Di antara para tawanan itu terdapat Saffānah binti Ḥātim Ath-Thā’ī.
Setelah ‘Alī dan pasukannya kembali ke Madīnah, Saffānah meminta kepada Rasūlullāh s.a.w. supaya ia dibebaskan tanpa tebusan apa pun. Rasūlullāh s.a.w. mengabulkan permintaannya karena kebiasaan beliau adalah memuliakan orang yang mulia. Saffānah berterima kasih kepada Rasūlullāh s.a.w. dan berkata kepadanya: “Tangan yang menjadi miskin sesudah ia kaya kini bersyukur kepadamu, dan tangan yang telah kaya sesudah miskin tidak akan dapat memiliki engkau. Allah benar-benar telah menempatkan kebajikan pada dirimu sebagai tempat yang paling sesuai. Tidak sekali-kali ada orang yang tercela berhajat kepadamu, dan tidak sekali-kali ada suatu anugerah yang telah dirampas dari orang yang mulia kecuali jika engkau yang menjadi perantara bagi kembalinya hal itu kepada orang yang bersangkutan.”
Perlakuan yang sangat baik dari Rasūlullāh s.a.w. terhadap Saffānah tersebut merupakan penyebab yang mendorong saudara lelaki Saffānah mau masuk Islam. Ia bernama ‘Adī bin Ḥātim ath-Thā’ī. Ia melarikan diri ke negeri Syām tatkala melihat bahwa panji-panji Islam sedang menuju ke negerinya.
Mengenai kisah kedatangannya ke Madīnah disebutkan bahwa saudara perempuannya, yaitu Saffānah, berangkat menyusulnya ke Syām. Lalu Saffānah memberitahukan kepadanya tentang perlakuan baik yang dialaminya dari Rasūlullāh s.a.w. ‘Adī berkata kepadanya: “Bagaimana pendapatmu tentang lelaki itu (Nabi Muḥammad)?” Saffānah menjawab: “Menurut pendapatku, hendaknya engkau segera datang kepadanya. Bilamana ia memang seorang nabi maka orang yang lebih dahulu mengakuinya memiliki keutamaan; dan bilamana ia seorang raja maka engkau tetaplah engkau juga.” Maka berkatalah ‘Adī. “Demi Allah, pendapatmu itu memang benar.”
‘Adī bin Ḥātim segera meninggalkan negeri Syām menuju Madīnah. Ia langsung menghadap Rasūlullāh s.a.w. Beliau s.a.w. bertanya: “Siapakah lelaki yang datang itu.” ‘Adī menjawab: “Aku adalah ‘Adī bin Ḥātim.” Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengajaknya ke rumah. Ketika mereka berdua sedang dalam perjalanan, tiba-tiba ada seorang wanita tua menemui Rasūlullāh s.a.w. Wanita tua itu memberhentikan beliau. Rasūlullāh s.a.w. berhenti cukup lama dan berbicara dengannya untuk memenuhi keperluannya. Pada saat itu, ‘Adī berkata dalam hatinya: “Demi Allah, dia bukanlah seorang raja.”
Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, beliau mengambil sebuah bantal yang terbuat dari kulit dan diisi dengan serabut untuknya. Bantal itu diberikan kepada ‘Adī seraya berkata: “Duduklah di atas bantal ini.”
Namun ‘Adī menolak seraya berkata: “Tidak, engkaulah yang harus duduk di atasnya.”
Rasūlullāh s.a.w. tetap menolak dan memberikan bantal itu kepada ‘Adī sedangkan beliau sendiri duduk di atas tanah. Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Hai ‘Adī, masuk Islamlah, niscaya engkau selamat.” Rasūlullāh s.a.w. mengucapkan perkataan ini tiga kali.
‘Adī menjawab: “Sesungguhnya aku telah memeluk suatu agama (ia adalah agama Nasrani).”
Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Aku lebih mengetahui tentang agamamu daripada engkau sendiri.”
‘Adī bertanya keheranan: “Benarkah engkau lebih mengetahui agamaku daripada aku sendiri?”
Rasūlullāh s.a.w. menjawab: “Ya.”
Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. menyebutkan kepadanya beberapa hal yang dilakukannya berdasarkan kaidah-kaidah yang berlaku di kalangan bangsa ‘Arab. Hal-hal itu tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama al-Masīḥ, seperti mengambil ar-ribā’, yaitu seperempat dari ghanīmah. Selanjutnya, Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Hai ‘Adī, sesungguhnya hal yang menghalangimu masuk Islam adalah apa yang telah engkau lihat. Engkau mengatakan bahwa pengikutnya terdiri dari orang-orang yang lemah dan orang-orang yang tidak mempunyai kemampuan. Namun, orang-orang ‘Arab sungguh telah membuangnya (duniawi) jauh-jauh, padahal mereka membutuhkannya. Demi Allah, kelak pasti harta benda akan menjadi berlimpah di tangan mereka sehingga tidak ada orang yang mau menerimanya. Barangkali hal yang menghalangi dirimu masuk Islam adalah apa yang telah engkau saksikan, yaitu karena kaum Muslimīn mempunyai banyak musuh, sedangkan jumlah mereka sedikit. Tidakkah engkau mengetahui al-Hijrah?”
‘Adī menjawab: “Tidak, aku belum pernah melihatnya, tetapi pernah mendengarnya.”
Rasūlullāh s.a.w. berkata: “Demi Allah, perkara ini sangat diharap-harapkan sehingga seorang wanita keluar dari al-Hijrah, lalu menjalankan thawaf di Baitullāh tanpa perlindungan seorang pun. Atau barangkali hal yang membuatmu tidak mau masuk Islam adalah engkau telah menyaksikan raja dan sultan dalam memperlakukan orang-orang selain mereka. Demi Allah, sudah dekat masanya engkau akan mendengar gedung-gedung putih negeri Babilonia dapat ditaklukkan oleh mereka (kaum Muslimīn).” (173)