Pada bulan Sya‘bān, Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Alī bin Abī Thālib bersama seratus pasukan Muslimīn untuk memerangi Bani Sa‘ad bin Bakr di Fadak (1121) karena Rasūlullāh s.a.w. mendapat informasi yang akurat bahwa mereka telah menghimpun bala tentara untuk membantu orang Yahūdī Khaibar memerangi kaum Muslimīn dengan imbalan akan diberi kurma Khaibar.
Berangkatlah pasukan kaum Muslimīn yang dipimpin oleh shahabat ‘Alī bin Abī Thālib. Di tengah perjalanan, mereka bertemu dengan mata-mata musuh yang dikirim oleh Bani Sa‘ad untuk mengadakan perjanjian dengan orang Yahūdī di Khaibar sebagai wakil mereka. Kaum Muslimīn meminta supaya ia menunjukkan tempat kaum mereka, dan kaum Muslimīn menjamin keselamatannya. Lalu orang itu pun mau menunjukkan tempat mereka. Akhirnya, dari tempat musuh, kaum Muslimīn menggiring ternak milik mereka, sedangkan para pengembalanya lari terbirit-birit ketakutan. Kemudian, para pengembalanya itu memberitahukan kedatangan pasukan kaum Muslimīn kepada kaumnya. Hal ini membuat mereka ketakutan lalu melarikan diri meninggalkan perkampungan mereka. Kemudian kaum Muslimīn pulang membawa 500 ekor ternak unta dan 1000 ekor kambing milik mereka.
Allah s.w.t. telah mematahkan tipu muslihat kaum musyrikīn sehingga mereka sama sekali tidak dapat memberikan bantuan apa pun kepada orang Yahūdī.
Orang yang menggerakkan penduduk Khaibar untuk memerangi kaum Muslimīn adalah pemuka mereka sendiri, yaitu Abū Rāfi‘ Sallām bin Ḥuqaiq yang terkenal dengan julukan pedagang ulung dari Ḥijāz. Ia mendapatkan julukan demikian karena ia orang yang ahli dalam masalah perniagaan dan memiliki harta yang banyak sekali. Dengan hartanya itu, ia dapat mempengaruhi Yahūdī Khaibar. Maka Rasūlullāh s.a.w. mengutus beberapa orang untuk membereskannya.
Tugas ini disanggupi oleh lima orang lelaki (1132) dari kabilah Khazraj di bawah pimpinan ‘Abdullāh bin ‘Atīk. Mereka sengaja menyanggupi tugas ini agar mereka mendapat pahala yang sama dengan saudara-saudara mereka dari kabilah Aus yang telah membunuh Ka‘ab bin al-Asyraf. Termasuk di antara karunia yang dilimpahkan Allah s.w.t. kepada Rasūl-Nya ialah apabila kabilah Aus merasa bangga terhadap apa yang telah mereka lakukan, dalam memenuhi keinginan Rasūlullāh s.a.w. maka kabilah Khazraj pun berupaya sekuat tenaga untuk mengimbanginya dengan melakukan hal yang serupa.
Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan untuk melakukan tugas itu setelah berpesan kepada mereka agar tidak membunuh anak kecil dan wanita. Mereka pun berangkat hingga sampai di Khaibar.
‘Abdullāh berkata kepada teman-temannya: “Kalian tunggu di sini karena aku akan pergi menemui penjaga gerbang dan membujuknya supaya aku diperbolehkan masuk.” Lalu ‘Abdullāh mendekati penjaga gerbang seraya menutupi kepalanya dengan pakaiannya, seolah-olah ia baru kembali dari buang hajat, sementara orang-orang telah memasuki gerbang tersebut. Penjaga Khaibar itu berkata: “Wahai ‘Abdullāh, jika engkau hendak masuk, cepatlah karena sebentar lagi aku akan menutup pintu ini.” Lalu ‘Abdullāh masuk dan bersembunyi selama beberapa waktu sampai penjaga gerbang tertidur. Setelah itu, ‘Abdullāh mendekatinya dan mengambil kunci gerbang lalu membuka pintu gerbang supaya ia mudah lari setelah menyelesaikan tugasnya nanti.
Kemudian ‘Abdullāh bin ‘Atīk menuju rumah Abū Rāfi‘ lalu membuka pintu-pintu yang menuju ke tempatnya satu demi satu. Setiap membuka pintu, ia langsung menguncinya dari dalam hingga sampai ke suatu ruangan tempat tinggal Abū Rāfi‘. Ternyata, ruangan tersebut sangat gelap. Pada saat itu, Abū Rāfi‘ berada di tengah keluarganya hingga ‘Abdullāh tidak dapat memastikan di mana Abū Rāfi‘ berada. Lalu ia berseru: “Hai Abū Rāfi‘.”
Abū Rāfi‘ pun menjawab: “Siapa kamu?” Lalu dengan cepat ‘Abdullāh bin ‘Atīk mengayunkan pedangnya ke arah suara tersebut, tetapi tidak membawa hasil apa-apa.
Pada saat itu, istri Abū Rāfi‘ berkata: “Tidak salah lagi, itu adalah suara Ibnu ‘Atīk.” Abū Rāfi‘ menjawab: “Bedebah. Di mana Ibnu ‘Atīk sekarang?”
Kemudian ‘Abdullāh berseru lagi dengan mengubah suaranya: “Suara siapakah yang sekarang kamu dengar, hai Abū Rāfi‘?”
Abū Rāfi‘ menyahut: “Sesungguhnya sekarang ada seorang lelaki di dalam rumah yang mencoba menetakku dengan pedang.”
Maka ‘Abdullāh kembali menetakkan pedangnya ke arah suara itu. Namun, kali ini pun tidak membawa hasil apa-apa. Lalu beberapa saat ia bersembunyi dahulu, kemudian datang seperti orang yang akan memberikan pertolongan kepadanya seraya mengubah suaranya. Akhirnya, ia menemukan Abū Rāfi‘ sedang membaringkan tubuhnya dan langsung mengarahkan pedang ke perutnya hingga terdengar gemeretak suara tulangnya.
Setelah itu, ‘Abdullāh bin ‘Atīk keluar dari rumah Abū Rāfi‘. Pandangan matanya lemah sehingga ia terjatuh dari tangga. Hal ini mengakibatkan kakinya terkilir. Lalu ia membalut kakinya itu dengan kain serbannya dan bergabung dengan teman-temannya. Pada waktu keluar, ia berseru: “Tolong, demi Allah, Abū Rāfi‘ telah mati terbunuh.”
Akhirnya, mereka kembali dengan selamat dan menceritakan segalanya kepada Rasūlullāh s.a.w. Lalu Beliau bersabda kepadanya: “‘Abdullāh, luruskanlah kakimu.” Lalu Beliau s.a.w. mengusapnya, hingga seolah-olah ia tidak pernah merasakan nyeri dan kakinya sembuh serta lebih baik dari sebelumnya. Coba kita renungkan, semoga Allah s.w.t. memelihara diri kita, bagaimana kaum Muslimīn pada zaman Rasūlullāh s.a.w. yang menganggap mudah semua rintangan dan kesulitan selagi hal tersebut demi keridaan Rasūlullāh s.a.w. Semoga Allah meridhai mereka dan juga membuat mereka ridhā (kepada-Nya).
Setelah Abū Rāfi‘ (1143) terbunuh, tampak pimpinan kaum Yahūdī dipegang oleh penggantinya yaitu Usair bin Rizzām. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. mengutus orang untuk mengawasinya. Sampailah berita kepada Rasūlullāh s.a.w. bahwa Usair berkata kepada kaumnya: “Aku akan melakukan terhadap Muḥammad sesuatu yang belum pernah dilakukan oleh para pendahuluku. Aku akan berangkat menemui Bani Ghathafān, lalu aku kumpulkan mereka guna memerangi Muḥammad.” Dan ia memang telah melakukan usaha tersebut. Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Abdullāh bin Rawāḥah dari Khazraj bersama tiga puluh pasukan dari kalangan kaum Anshār untuk membujuknya supaya mengurungkan niatnya.
Kemudian mereka berangkat hingga sampai di Khaibar, lalu mereka berkata kepada Usair: “Kami datang dengan baik-baik hingga kami menawarkan kepadamu maksud kedatangan kami ini.” Usair menjawab: “Ya, kami pun demikian.” Lalu mereka menyetujuinya. Setelah itu, mereka mengajak Usair menghadap Rasūlullāh s.a.w. agar mau mengurungkan niatnya memerangi Beliau. kelak Rasūlullāh s.a.w. akan mengangkatnya menjadi pemimpin di Khaibar serta menjamin bahwa penduduknya akan hidup dengan aman dan damai. Usair mau menerima usulan itu. Akhirnya, keluarlah ia bersama tiga puluh orang Yahūdī. Setiap orang Yahūdī membonceng kepada seorang Muslim.
Namun, di tengah perjalanan, Usair merasa menyesal atas keputusannya mau menghadap Rasūlullāh s.a.w. maka ia bermaksud berkhianat terhadap orang – orang yang telah menjamin keselamatannya. Lalu ia mencoba meraih pedang yang dibawa oleh ‘Abdullāh bin Rawāḥah. ‘Abdullāh bin Rawāḥah berkata: “Apakah engkau mau berkhianat, hai musuh Allah!” Kemudian ‘Abdullāh bin Rawāḥah turun dan menebasnya dengan pedang yang mengakibatkan pahanya putus. Tidak lama kemudian, binasalah Usair. Lalu kaum Muslimīn pun bangkit melawan setiap orang Yahūdī yang ikut bersamanya, hingga mereka berhasil membunuh semuanya.
Demikianlah akibat dari pengkhianatan.
Pada bulan Syawwāl tahun keenam Hijriah, segolongan orang dari ‘Ukal dan ‘Urainah datang menghadap Rasūlullāh s.a.w. Saat itu, mereka dalam keadaan sakit, tubuh mereka menguning, dan perut mereka tampak besar-besar karena cuaca kota Madīnah tidak cocok bagi mereka. Lalu Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan kepada mereka untuk mengikuti unta ternak yang berjumlah sekitar sepuluh ekor bersama pengembalanya. Beliau memerintahkan mereka untuk menyusul tinggal di tempat pengembalaan supaya orang-orang ‘Ukal dan ‘Urainah itu berobat di sana dengan meminum air susu dan air seni unta. Lalu mereka melakukan apa yang diperintahkan oleh Rasūlullāh s.a.w.
Setelah sembuh, mereka membalas air susu dengan air tuba. Mereka membunuh pengembala ternak itu dan bahkan mencincangnya. Selanjutnya, mereka menggiring ternaknya. Tatkala Rasūlullāh s.a.w. mendengar berita tersebut, beliau langsung memerintahkan shahabat Kurz bin Jābir al-Fihrī bersama dua puluh pasukan berkuda untuk mengejar mereka. Akhirnya, shahabat Kurz dapat menyusul mereka dan menangkap semuanya. Ketika mereka dihadapkan kepada Rasūlullāh s.a.w. di Madīnah, Rasūlullāh s.a.w. memerintahkan supaya mereka diberi pembalasan yang setimpal dengan perlakuan mereka terhadap pengembala ternak. Tangan dan kaki mereka dipotong serta merta mereka dibutakan. Lalu mereka dilemparkan di padang pasir sehingga semuanya mati. Demikianlah balasan bagi para pengkhianat yang tidak diharapkan lagi kebaikannya.
Perilaku mereka yang jahat menunjukkan rusaknya watak mereka dan tercelanya sikap pergaulan mereka. Namun, setelah peristiwa itu Rasūlullāh s.a.w. melarang perbuatan mutslah, mencincang.(1154)
Pada suatu hari, ketika sedang duduk-duduk di tempat berkumpul kaumnya, Abū Sufyān bin Ḥarb berkata: “Adakah seorang lelaki yang mau pergi besok untuk menemui Muḥammad lalu membunuhnya karena ia suka berjalan di pasar-pasar, supaya kita bebas darinya?” Maka majulah seorang lelaki yang berjanji bersedia melaksanakan kehendak Abū Sufyān. Lalu Abū Sufyān memberinya kendaraan dan bekal serta mempersiapkannya untuk melakukan tugas itu.
Lelaki tersebut berangkat hingga sampai di Madīnah pada pagi hari keenam sejak keberangkatannya. Ia menanyakan di mana Rasūlullāh s.a.w. berada dan ditunjukkan bahwa beliau sedang berada di dalam masjid Bani ‘Abd-il-Asyhal.
Ketika Rasūlullāh s.a.w. melihat kedatangannya, beliau berkata: “Sesungguhnya lelaki ini bermaksud untuk berbuat khianat, dan Allah akan mencegahnya.” Lalu lelaki itu menghadap Rasūlullāh s.a.w., ketika ia membungkuk sebagai penghormatan, tiba-tiba Usaid bin Ḥudhair menarik kakinya dari belakang. Pada saat itu, pisau belati yang terselip di dalam kainnya terjatuh, lalu lelaki itu menyesali perbuatannya. Kemudian Rasūlullāh s.a.w. menanyakan penyebab kenapa ia mau berbuat demikian. Lelaki itu menceritakan dengan sejujurnya semua maksudnya setelah merasa yakin bahwa jiwanya akan selamat dan tidak diapa-apakan. Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. melepaskannya.
Lelaki itu berkata: “Demi Allah, wahai Muḥammad aku belum pernah merasakan takut kepada lelaki mana pun, tetapi begitu aku melihatmu, mendadak pikiranku menjadi kacau dan jiwaku melemah. Kemudian engkau telah mengetahui maksud yang tersimpan di dalam hatiku. Hal itu tidak ada seorangpun yang mengetahuinya. Kini aku mengetahui bahwa engkau terpelihara dan bahwa engkau di atas kebenaran dan golongan Abū Sufyān adalah golongan syaithān.” Kemudian ia masuk Islām.
Setelah itu, Rasūlullāh s.a.w. mengutus ‘Amr bin Umayyah adh-Dhamrī. Perlu diketahui, pada zaman jahiliah ia seorang pemberani dan gagah dalam bertempur. Nabi s.a.w. memerintahkan kepadanya mengajak seorang teman untuk membunuh Abū Sufyān secara diam-diam sebagai pembalasan atas perbuatannya. Setelah sampai di Makkah, keduanya langsung menuju Ka‘bah untuk thawāf sebelum menunaikan tugas yang dibebankan kepada mereka. Namun, ternyata salah seorang penduduk Makkah mengenalinya lalu berkata: “Ini adalah ‘Amr bin Umayyah, sekali-kali ia tidak akan datang kecuali membawa keburukan.” Tatkala ‘Amr menyadari bahwa (kaum Quraisy) telah mengetahui kedatangannya, tidak ada pilihan lain kecuali segera angkat kaki dari Makkah dan mengajak temannya untuk kembali ke Madīnah. Dengan demikian, seolah-olah Allah s.w.t. menghendaki Abū Sufyān tetap hidup hingga ia menyerahkan kunci Ka‘bah kepada kaum Muslimīn dan memeluk agama yang ḥanīf dan lurus ini (Islām).