Sam’iyyat (Perkara-perakara yang Berdasarkan Pendengaran) – Terjemah Kifayat-ul-‘Awam

KIFĀYAT-UL-‘AWĀM
Pembahasan Ajaran Tauhid Ahl-us-Sunnah

Karya: Syaikh Muḥammad al-Fudhalī
 
Penerjemah: H. Mujiburrahman
Diterbitkan Oleh: MUTIARA ILMU Surabaya

V. SAM‘IYYĀT (Perkara-perkara yang berdasarkan pendengaran)

 

وَ قَدْ تَمَّتِ الْخَمْسُوْنَ عَقِيْدَةً بِأَدِلَّتِهَا الشَّرِيْفَةِ وَ لْنَذْكُرْ شَيْئًا مِمَّا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ مِنَ الْأُمُوْرِ الَّتِيْ أَدِلَّتُهَا سَمْعِيَّةٌ.

Dan sungguh telah sempurna yang 50 ‘aqīdah itu dengan dalīl-dalīlnya yang mulia. Dan kami hendak menyebutkan sesuatu dari apa-apa yang wajib mempercayainya berupa perkara-perkara yang dalīl-dalīlnya adalah SAM‘IYYĀT (bersifat pendengaran saja).

67. WĀJIB BERIMAN BAHWA NABI KITA PUNYA ḤAUDH (Kolam).

فَاعْلَمْ أَنَّهُ يَجِبُ الْإِيْمَانُ بِأَنَّ لِنَبِيِّنَا صَلَّى اللهُ وَ سَلَّمَ حَوْضًا وَ الْجَهْلُ بِكُوْنِهِ بَعْدَ الصِّرَاطِ أَوْ قَبْلَهُ لَا يَضُرُّ تَرِدُهُ الْخَلَائِقُ يَوْمَ الْقِيَامِةِ وَ هُوَ غَيْرُ الْكَوْثَرِ الَّذِيْ هُوَ نَهْرٌ فِي الْجَنَّةِ.

Maka ketahuilah sesungguhnya wajib beriman bahwa Nabi kita s.a.w. memiliki sebuah kolam. Dan tidak tahu menahu perihal keadaan kolam itu sesudah shirat atau sebelumnya tidak berbahaya. Para makhlūq mendatangi kolam itu pada hari kiamat dan dia bukan al-Kautsar yang merupakan satu sungai di dalam surga.”

WĀJIB BERIMAN BAHWA NABI KITA AKAN MEMBERI SYAFĀ‘AT PADA FASHL-UL-QADHĀ’.

وَ مِمَّا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ أَنَّهُ يَشْفَعُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيْ فَصْلِ الْقَضَاءِ حِيْنَ تَقِفُ النَّاسُ وَ يَتَمَنَّوْنَ الْاِنْصِرَافَ وَ لَوْ لِلنَّارِ فَيَشْفَعُ فَي انْصِرَافِهِمْ مِنَ الْمَوْقِفِ وَ هذِهِ الشَّفَاعَةُ مُخْتَصَّةٌ بِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ.

Dan di antara perkara yang wajib mengi‘tiqādkannnya adalah bahwa Nabi Muḥammad s.a.w. akan memberi syafā‘at di hari kiamat pada Fashl-ul-Qadhā’ (hari penentuan yang memisahkan) ketika semua manusia pada berdiri dan berangan-angan untuk berpaling meskipun ke neraka (saking takut dan putus asanya). Maka beliau memberi Syafā‘at dalam hal berpalingnya mereka dari tempat berdiri (padang maḥsyar) dan Syafā‘at ini khusus dengan Nabi s.a.w.

Dan Nabi s.a.w. itu memiliki beberapa Syafā‘at yang lain, di antaranya:

  1. Syafā‘at Nabi s.a.w. dalam hal masuknya segolongan orang ke surga dengan tanpa hisab.
  2. Syafā‘at Nabi s.a.w. dalam hal tidak masuknya segolongan orang ke neraka setelah mereka berhak masuk ke dalamnya.
  3. Syafā‘at Nabi s.a.w. dalam hal keluarnya segolongan orang dari neraka setelah mereka berhak untuk tidak keluar dari neraka.

WĀJIB I‘TIQĀD BAHWA MENGERJAKAN DOSA-DOSA BESAR TIDAK MENYEBABKAN KEKAFIRAN

وَ مِمَّا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ أَنَّ الْوُقُوْعَ فِي الْكَبَائِرِ غَيْرُ مُكَفِّرٍ لَا يُوْجِبُ الْكُفْرَ وَ تَجِبُ التَّوْبَةُ حَالًا مِنَ الذَّنْبِ وَ لَوْ صَغِيْرَةً عَلَى الْمُعْتَمِدِ فِيْهَا وَ لَا تَنْتَقِصُ التَّوْبَةُ بِعَوْدِهِ إِلَى الذَّنْبِ بَلْ يَجِبُ لِهذَا الذَّنْبِ تَوْبَةٌ جَدِيْدَةٌ.

Dan di antara perkara yang wājib mengi‘tiqādkannya adalah bahwa jatuh dalam dosa-dosa besar tidak mengkafirkan (dalam arti) tidak mewajibkan kekafiran. Dan wājib taubat seketika itu dari dosa walaupun itu dosa kecil berdasarkan qaul yang mu‘tamad padanya (dosa yang kecil). Dan tidak menjadi batal taubat itu dengan sebab kembalinya kepada dosa melainkan wājib bagi dosa ini taubat yang baru.”

وَ يَجِبُ عَلَى الشَّخْصِ أَنْ يَجْتَنِبَ الْكِبَرَ وَ الْحَسَدَ وَ الْغِيْبَةَ لِقَوْلِهِ عَلَيْهِ الصَّلَاةَ وَ السَّلَامَ إِنَّ لِأَبْوَابِ السَّمَاءِ حُجَّابًا يَرُدُّوْنَ أَعْمَالَ أَهْلِ الْكِبَرِ وَ الْحَسَدِ وَ الْإِيْبَةِ أَيْ يَمْنَعُوْنَهَا مِنَ الصَّعُوْدِ فَلَا تُقْبِلُ.

Dan wājib atas seseorang untuk menjauhi sombong, ḥasad dan ghībah (segala apa yang memberi pemahaman mengenai kekurangan seseorang) karena sabda Nabi ‘alaih-ish-shalātu was-salām: Sesungguhnya di pintu-pintu langit itu terdapat para petugas yang akan menolak segala ‘amalan orang-orang yang suka berbuat sombong, ḥasad dan ghībah artinya mereka (para ḥujjāb atau penghalang itu) melarang ‘amalan-‘amalan tersebut naik (ke langit) maka dia tidak diterima.

WĀJIB MENJAUHI KIBR, ḤASAD DAN GHĪBAH.

وَ الْحَسَدُ تَمَنِّيءْ زَوَالِ نِعْمَةِ الْغَيْرِ سَوَاءٌ كَانَ تَمَنَّى أَنْ تَأْتِيْ لَهُ أَيْ لِلْحَسَدِ أَوْ لَا وَ الْكِبَرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَ غَمْضُ الْخَلْقِ وَ مَعْنَى بَطَرِ الْحَقِّ رَدُّهُ عَلَى قَائِلِهِ وَ مَعْنَى غَمْضِ الْخَلْقِ الْاِسْتِهْزَاءُ بِهِمْ.

Dan ḥasad itu adalah mengangan-angankan lenyapnya ni‘mat orang lain baik dia itu berangan-angan agar ni‘mat tersebut datang kepadanya atau tidak. Dan sombong (kibar) adalah Bathar-ul-Ḥaqq (tidak menerima kebenaran) dan Ghamdh-ul-Khalq (mengolok-olok orang). Ma‘na dari Bathar-ul-Ḥaqq adalah menolak kebenaran atas orang yang mengatakannya dan ma‘na Ghamdh-ul-Khalq adalah melakukan olok-olokan dengan mereka (sekalian orang).”

وَ يَجِبُ أَيْضًا أَنْ يَتْرُكَ النَّمِيْمَةَ وَ هِيَ السَّعْيُ بِيْنَ النَّاسِ عَلَى وَجْهِ الْاِفْسَادِ لِأَنَّهُ وَرَدَ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ بِفَتْحِ الْقَافِ وَ تَشْدِيْدِ التَّاءِ الْمُثَنَّاةِ مِنْ فَوْقٍ بَعْدَهَا أَلِفٌ وَ آخِرُهَا تَاءٌ مُثَنَّاةٌ مِنْ فَوْقٍ أَيْضًا.

Dan wājib pula agar seseorang itu meninggalkan namīmah ya‘ni berusaha di antara manusia dengan jalan merusak karena sesungguhnya telah datang (dari nabi): “Tidak masuk surga orang-orang yang suka namīmah (mengadu domba) dengan fatḥah qāf dan tasydīd tā’ yang bertitik dua di atas, sesudahnya terdapat alif dan akhirnya terdapat tā’ yang bertitik dua di atas pula.”

BOLEH ḤASAD PADA SESEORANG YANG MEMPEROLEH NI‘MAT DENGAN JALAN KEJAHATAN

وَ مَحَلُّ مَا تَقَدَّمَ مِنْ حُرْمَةِ الْحَسَدِ إِنْ لَمْ تَكُنِ النِّعْمَةُ حَاصِلَةً لِلْمَحْسُوْدِ عَلَى الْفُجُوْرِ وَ إِلَّا جَازَ تَمَنِّيْ زَوَالِ النِّعْمَةِ عَنْهُ.

Dan penempatan apa yang terdahulu dari haramnya ḥasad itu adalah jika ni‘mat itu tidak terjadi bagi si maḥsūd (orang yang diḥasudi) dengan jalan kejahatan. Dan jika tidak (ya‘ni jika ni‘matnya itu dengan jalan kejahatan) maka boleh mengharapkan lenyapnya ni‘mat tersebut dari padanya.”

وَ مِمَّا يَجِبُ اعْتِقَادُهُ أَنَّ بَعْضَ مَنِ ارْتَكَبَ الْكَبَائِرَ يُعَذَّبُ وَ لَوْ وَاحِدًا.

Dan di antara perkara yang wājib mengi‘tiqādkannya adalah bahwa sebagian orang yang melakukan dosa-dosa besar akan terkena ‘adzāb (siksa) walaupun satu orang.”

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *