Sambutan Keimanan Terhadap Kehidupan – Rahasia Allah Di Balik Hakikat Alam Semesta

Rahasia
اللهُ
Di Balik Hakikat Alam Semesta

Diterjemahkan dari: Nihāyat-ul-‘Alam
Karya DR. M. Mutawalli asy-Sya‘rawi

Penerjemah: Amir Hamzah Fachrudin
Penerbit: PUSTAKA HIDAYAH

3-1

SAMBUTAN KEIMANAN TERHADAP KEHIDUPAN.

 

Allah s.w.t. menghendaki agar kita menyambut kehidupan ini dengan sambutan keimanan, dengan selalu mengingatkan kita akan kekuasaan dan keagungan Allah setiap kali terjadi kemajuan di alam ini sehingga keyakinan kita bertambah. Namun kenyataannya, tidak sedikit di antara kita yang berlaku sebaliknya. Setiap kali zaman mengalami kemajuan, manusia menganggapnya sebagai kemampuan manusia, kemudian menjauhi manhaj Allah. Kendatipun Allah telah menjelaskan kepada manusia bahwa sebenarnya segala kejadian di alam ini sudah ada dalam ilmu Allah sebelum diciptakannya, namun masih ada orang-orang yang beranggapan bahwa seseorang yang cerdas dapat menentukan kemampuannya sendiri. Dan setiap kali ilmu pengetahuan mengalami kemajuan dengan membeberkan penemuan-penemuan barunya yang ada di alam ini, manusia beranggapan bahwa merekalah yang telah membuat dan menentukan norma-norma dan kondisi-kondisi pada penemuan-penemuan baru tersebut; bahwa semua itu dapat bergerak karena perintah manusia, bukan perintah Dzāt yang telah menundukkannya kepada kita, manusia. Lebih jauh dari itu, manusia beranggapan bahwa dirinya mampu menciptakan peristiwa-peristiwa semuanya dan menciptakan segala sesuatu yang diinginkannya dengan bekal ilmunya. Padahal sebenarnya manusia tidak melakukan apa-apa terhadap alam ini, sebab alam ini tidak akan keluar dari kehendak Allah, dan sesungguhnya tidak ada sesuatu pun yang dapat keluar dari kehendak Allah s.w.t.

Ada orang yang bertanya: “Apakah orang-orang kafir yang tidak beriman kepada Allah adalah dikehendaki Allah s.w.t. untuk menjadi kafir?”

Sebenarnya orang-orang kafir itu telah menentang kehendak Allah (secara syar‘ī) di alam ini, tetapi mereka tidak dapat menentang kehendak Allah secara fi‘lī. Manusia mempunyai kemampuan untuk menentang kehendak Allah yang syar‘ī, yaitu dalam perintah (amr) dan larangan (nahy), karena Allah telah menciptakan manusia dengan kemampuannya untuk memilih antara menaati atau bermaksiat. Seandainya Allah tidak memberikan kebebasan ini, tentu tidak akan ada seorang pun yang dapat berbuat maksiat, sebab semua makhluk yang ada di alam ini tunduk kepada kehendak Allah. Hanya jin dan manusia yang mempunyai kebebasan dalam menempuh jalan hidupnya, antara menaati dan bermaksiat dalam ketentuan Allah “kerjakan” dan “jangan mengerjakan”.

Kita katakan kepada orang-orang yang beranggapan bahwa manusia mempunyai kebebasan memilih tanpa batas dalam ciptaan Allah: “Jika anda telah mengabaikan ketaatan kepada Allah dalam manhaj-Nya dan mengesampingkannya, maka janganlah anda lantas menganggap bahwa anda mempunyai kebebasan memilih yang sempurna di alam ini. Sebab sebenarnya anda tetap tunduk pada kekuasaan-kekuasaan Allah; jika tidak, katakan kepada saya, bisakah anda menolak untuk sakit dan memilih kondisi yang selalu sehat? Tentu anda tidak akan bisa. Jika anda memang bisa, coba cegah musibah yang menimpa keluarga atau anak-anak anda, tentu saja anda tidak bisa. Jika jantung anda telah berhenti (tidak berdenyut), gerakkanlah kembali sehingga bisa berdenyut seperti semula, tentu saja anda tidak bisa. Karena sesungguhnya anda tunduk dalam banyak hal kepada kehendak dan kekuasaan Allah, walaupun dalam beberapa hal anda dapat menentukan pilihan sendiri. Harus diingat pula, bahwa kebebasan memilih itu pun dengan kehendak Allah, maka jangan sampai kebebasan memilih itu mengelabui anda sehingga menganggap diri anda berkuasa di alam ini!”

Setelah Allah membukakan sebagian rahasia-rahasia ciptaan-Nya, manusia mampu membuat pesawat yang dapat terbang di udara, kapal yang dapat menyelam di dalam lautan, roket yang dapat membawanya mendarat di permukaan bulan, mereka dapat meringkas perjalanan yang berjarak jauh dalam waktu yang singkat, lalu dengan demikian mereka mengira bahwa dirinya mampu menguasai segala sesuatu. Kita katakan kepada orang yang beranggapan seperti itu tanpa berdasarkan ilmu yang cukup: “Jika anda kuasa seperti yang anda ungkapkan, maka kemampuan anda atas sesuatu itu dapat menjadikan anda mampu mengabadikannya dalam diri anda. Tetapi karena kemampuan anda adalah berkat kehendak Allah, yaitu agar anda dapat memanfaatkan apa-apa yang telah ditentukan Allah di alam ini, maka anda tidak dapat memanfaatkan norma-norma alam ini seperti yang anda inginkan. Jadi, sebenarnya yang terjadi di alam ini adalah di luar kemampuan manusia. Jika tidak demikian, maka anda akan mengagetkan manusia; orang yang dulunya memiliki jadi tidak memiliki; tidak akan ada orang yang dapat memimpin suatu bangsa pun atau negaranya sendiri walaupun hanya sehari semalam, ia akan segera terkucil, bingung dan melarikan diri dari satu tempat ke tempat yang lain, bersembunyi dari manusia agar dapat hidup, namun akhirnya dapat ditemukan dan berakhirlah hidupnya.”

Hanya Allah-lah yang berhak menentukan hukum dan memerintah. Dialah yang berhak mengambil kehidupan dari seseorang atau menghukum ataupun mengambil hartanya. Walaupun manusia dapat memilih hukum (ketentuan syariat) dengan kemampuannya, namun tidak ada seorang pun yang dapat menghapuskannya, sebab hukum itu ditentukan oleh kekuasaan Allah untuk ciptaan-Nya. Sesungguhnya Allah s.w.t. dapat mengambil apa yang telah diberikan-Nya kepada manusia dan sekaligus menggantikannya kapan saja. Firman Allah menunjukkan:

Katakanlah: “Wahai Tuhan Yang mempunyai kekuasaan, Engkau memberikan kekuasaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kekuasaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”.” (QS. Āli ‘Imrān: 26).

Jadi, sebenarnya kekuasaan itu tidak datang dengan sendirinya, dan tidak hilang dengan sekehendak kita, akan tetapi karena kekuasaan dan ketentuan Allah s.w.t. Ketentuan-ketentuan itulah yang memberikan kekuasaan/kerajaan kepada manusia dan mencabutnya dari manusia. Jika manusia dimuliakan maka akan diberikan apa yang dikehendakinya, namun jika ia berusaha untuk melampaui maka akan dicabut apa yang telah diberikan itu.

Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman:

Wahai anak Ādam, jika kamu rela dengan apa yang Aku berikan kepadamu, niscaya Aku tenteramkan hatimu dan badanmu. Dan jika kamu tidak rela dengan apa yang Aku berikan kepadamu, maka demi Kemuliaan-Ku dan keagungan-Ku, niscaya Aku timpakan dunia kepadamu (sehingga) kamu melompat-lompat seperti binatang buas yang melompat-lompat di dataran, dan niscaya kamu tidak memperoleh dari (dunia) itu selain yang Aku berikan kepadamu, dan kamu menjadi hina di sisi-Ku.”

Allah s.w.t. memberikan kekuatan dari kekuatan-Nya, memberikan kekayaan dari kekayaan-Nya dan kekuasaan dari kekuasaan-Nya, Tetapi manusia beranggapan bahwa dirinyalah yang memperoleh itu semua dan ia dapat berbuat dan mengubah itu semua sekehendaknya.

Kemajuan demi kemajuan telah banyak dicapai oleh manusia dan berbagai penemuan baru pun telah mereka gapai, namun penemuan-penemuan itu tidak dapat menciptakan sesuatu yang belum ada, yang sebenarnya adalah bahwa mereka memanfaatkan material yang sudah ada dari ciptaan Allah dengan menggunakan akal yang telah diberikan untuk mengolahnya.

Ambillah satu contoh, gelas atau cangkir yang dibuat manusia. Bahan untuk membuat benda-benda tersebut adalah materi yang tidak dapat mereka ciptakan sendiri. Umpamanya adalah gelas. Gelas dibuat manusia dari salah satu jenis tanah yang khusus dan potensi lain yang telah diciptakan Allah di alam ini. Tetapi tentunya ada perbedaan antara yang diciptakan Allah dan yang diciptakan oleh kemampuan manusia.

Semua yang dibuat manusia tidak dapat hidup dan tidak dapat berkembang biak dengan sendirinya. Manusia tidak dapat membuat gelas jantan dan gelas betina yang dengan demikian bisa berkembang biak dan bertambah banyak dengan sendirinya. Gelas yang kecil tidak dapat tumbuh menjadi besar. Buatan manusia tetap pada kondisi semula dan tidak dapat melahirkan yang lain (berkembang biak). Namun yang diciptakan Allah berbeda dengan yang dibuat manusia. Yang demikian itu karena Allah menciptakan segala sesuatu dari Allah Sendiri yang bahannya juga berasal dari yang diciptakan-Nya Sendiri. Jadi ciptaan Allah itu bahannya dari sesuatu yang belum ada. Inilah perbedaan antara buatan manusia dengan ciptaan Allah Yang Maha Pencipta.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *