Rukun Shalat Jenazah – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

Rukun Shalat Jenazah

Rukun shalat Jenazah ada 7:

(1. Niat, sebagaimana shalat-shalat lainnya. Oleh karenanya, wajib di dalam shalat janazah hal-hal yang wajib dilakukan di shalat fardhu lain, misalnya, niat bersamaan dengan takbīrat-ul-iḥrām dan menyatakan kefardhuannya, sekalipun tidak harus mengucapkan fardhu kifāyah. Tidak wajib menentukan mayat yang dishalati dan tidak wajib mengetahuinya, tapi yang wajib adalah batas minimum yang dapat membedakan. Karena itu, cukuplah jika seseorang mengucapkan: (أُصَلِّي الْفَرْضَ عَلَى هذَا الْمَيِّتِ.) “Saya shalat fardhu atas mayat ini”. (311) Segolongan ‘ulamā’ berpendapat: Wajib menentukan mayat ghaib misalnya dengan menyebut namanya.

(2. Berdiri bagi orang yang mampu. Orang yang tidak mampu berdiri, boleh shalat dengan duduk, kalau tidak bisa duduk, boleh shalat dengan tidur miring.

(3. Takbīr 4 kali termasuk takbīrat-ul-iḥrām sebab mengikuti Nabi s.a.w. Jika dikerjakan dengan 5 kali takbīr, maka shalat tetap sah. Sunnah mengangkat kedua tangan setinggi pundak di waktu membaca takbīr dan meletakkannya di bawah dada di antara dua takbīr.

(وَ) رَابِعُهَا: (فَاتِحَةٌ)، فَبَدَلُهَا، فَوُقُوْقٌ بِقَدْرِهَا. وَ الْمُعَتَمَدُ أَنَّهَا تَجْزِىءُ بَعْدَ غَيْرِ الْأُوْلَى خِلَافًا لِلْحَاوِيْ، كَالْمُحَرَّرِ وَ إِنْ لَزِمَ عَلَيْهِ جَمْعُ رُكْنَيْنِ فِيْ تَكْبِيْرَةٍ وَ خُلُوِّ الْأُوْلَى عَنْ ذِكْرٍ. وَ يُسَنُّ إِسْرَارٌ بِغَيْرِ التَّكْبِيْرَاتِ، وَ السَّلَامُ، وَ تَعَوُّذٌ، وَ تَرْكُ افْتِتَاحٍ، وَ سُوْرَةٌ، إِلَّا عَلَى غَائِبٍ أَوْ قَبْرٍ.

(4. Membaca surat al-Fātiḥah. Jika tidak bisa, maka boleh mengganti dengan yang lainnya, (322) kalau tidak bisa, maka boleh diam seukuran bacaan al-Fātiḥah. Menurut pendapat yang mu‘tamad: Pembacaan al-Fātiḥah boleh dikerjakan setelah takbir yang bukan pertama, hal ini berbeda dengan yang ada dalam kitab al-Ḥāwī, seperti juga al-Muḥarrar, (333) sekalipun masalah di atas mengharuskan akan terjadi dua rukun berkumpul pada satu takbir dan setelah takbir pertama tidak ada dzikir apa-apa. Sunnah membaca dengan suara rendah, kecuali ketika takbīr dan salām, dan sunnah membaca ta‘awwudz, meninggalkan bacaan doa iftitāḥ dan surat, kecuali jika menshalati mayat yang ghaib atau sudah dikubur. (344)

(وَ) خَامِسُهَا: (صَلَاةٌ عَلَى النَّبِيِّ) (بَعْدَ تَكْبِيْرَةٍ ثَانِيَةٍ) أَيْ عَقِبَهَا، فَلَا تُجْزِىءُ فِيْ غَيْرِهَا. وَ يُنْدَبُ ضَمُّ السَّلَامِ لِلصَّلَاةِ، وَ الدُّعَاءِ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَ الْمُؤْمِنَاتِ عَقِبَهَا، وَ الْحَمْدُ قَبْلَهَا. (وَ) سَادِسُهَا: (دُعَاءٌ لِمَيِّتٍ) بِخُصُوْصِهِ وَ لَوْ طِفْلًا، بِنَحْوِ: اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَ ارْحَمْهُ، (بَعْدَ ثَالِثَةٍ)، فَلَا يُجْزِىءُ بَعْدَ غَيْرِهَا قَطْعًا.

(5. Membaca shalawat kepada Nabi s.a.w. sesudah takbīr yang kedua. Karena itu, tidaklah cukup jika dibaca setelah takbīr yang lain. Sunnah mengumpulkan shalawat kepada Nabi s.a.w. serta doa salamnya. Sunnah berdoa untuk orang-orang mu’min dan mu’minat setelah membaca shalawat dan membaca ḥamdalah sebelumnya.

(6. Berdoa khusus untuk mayat, (355) sekalipun mayatnya adalah kanak-kanak. Misalnya mengucapkan: (اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَ ارْحَمْهُ) “Ya, Allah, ampunilah dan berilah rahmat mayat ini”, yang dilakukan setelah takbīr yang ketiga. Secara pasti, doa ini tidak mencukupi jika dibaca setelah takbir lainnya.

وَ يُسَنُّ أَنْ يُكْثِرَ مِنَ الدُّعَاءِ لَهُ، وَ مَأْثُوْرُهُ أَفْضَلُ، وَ أَوْلَاهُ مَا رَوَاهُ مُسْلِمٌ عَنْهُ وَ هُوَ: “اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَ ارْحَمْهُ، وَ اعْفُ عَنْهُ وَ عَافِهِ، وَ أَكْرِمْ نُزُلَهُ، وَ وَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَ اغْسِلْهُ بِالْمَاءِ وَ الثَّلْجِ وَ الْبَرَدِ، وَ نَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَ أَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَ أَهْلًا خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَ زَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَ أَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ، وَ أَعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ فِتْنَتِهِ وَ مِنْ عَذَابِ النَّارِ”. وَ يَزِيْدُ عَلَيْهِ، نَدْبًا: “اللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَ مَيِّتِنَا” إِلَى آخِرِهِ. وَ يَقُوْلُ فِي الطِّفْلِ مَعَ هذَا: “اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِأَبَوَيْهِ، وَ سَلَفًا وَ ذُخْرًا وَ عِظَةً وَ اعْتِبَارًا وَ شَفِيْعًا، وَ ثَقِّلْ بِهِ مَوَازِيْنَهُمَا، وَ أَفْرِغِ الصَّبْرَ عَلَى قُلُوْبِهِمَا، وَ لَا تَفْتِنْهُمَا بَعْدَهُ، وَ لَا تَحْرِمْهُمَا أَجْرَهُ”. قَالَ شَيْخُنَا: وَ لَيْسَ قَوْلُهُ: اللّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا إِلَى آخِرِهِ مُغْنِيًا عَنِ الدُّعَاءِ لَهُ، لِأَنَّهُ دُعَاءٌ بِاللَّازِمِ، وَ هُوَ لَا يَكْفِيْ، لِأَنَّهُ إِذَا لَمْ يَكْفِ الدُّعَاءُ لَهُ بِالْعُمُوْمِ الشَّامِلِ كُلِّ فَرْدٍ، فَأَوْلَى هذَا. وَ يَؤَنَّثِ الضَّمَائِرَ فِي الْأُنْثَى، وَ يَجُوْزُ تَذْكِيْرُهَا بِإِرَادَةِ الْمَيِّتِ أَوِ الشَّخْصِ، وَ يَقُوْلُ فِيْ وَلَدِ الزِّنَا: “اللّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِأَمِّهِ”. وَ الْمُرَادُ بِالْإِبْدَالِ فِي الْأَهْلِ وَ الزَّوْجَةِ، إِبْدَالُ الْأَوْصَافِ لَا الذَّوَاتِ، لِقَوْلِهِ تَعَالَى: {أَلْحِقْنَا بِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ} وَ لِخَبَرِ الطَّبَرَانِيِّ وَ غَيْرِهِ: “إِنَّ نِسَاءَ الْجَنَّةِ مِنْ نِسَاءِ الدُّنْيَا أَفْضَلُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ”. اِنْتَهَى.

Sunnah memperbanyak doa untuk mayat. Doa yang ma’tsūr dari Nabi adalah lebih utama. Sedangkan yang lebih utama adalah doa riwayat Imām Muslim, yaitu: (اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَهُ وَ ارْحَمْهُ، وَ اعْفُ عَنْهُ وَ عَافِهِ،…..) – sampai selesai – “Ya Allah, ampunilah dosanya, berilah dia rahmat, sejahterakan dirinya, muliakan tempatnya, luaskan jalan masuknya, mandikanlah dia dengan air salju dan embun; bersihkanlah kesalahan-kesalahannya, sebagaimana pakaian putih yang dibersihkan dari kotoran; gantikanlah untuknya rumah yang lebih baik daripada rumahnya, ahli yang lebih bagus daripada ahlinya, istri yang lebih bagus daripada jodohnya; masukkanlah dia ke surga; dan selamatkanlah dia dari siksa kubur, fitnahnya serta dari siksa api neraka”. Sunnah doa tersebut ditambah: (اللّهُمَّ اغْفِرْ لِحَيِّنَا وَ مَيِّتِنَا…..) “Ya Allah, ampunilah orang yang masih hidup dan yang sudah mati dalam golongan kami…. dan seterusnya). Untuk mayat kanak-kanak, di samping doa tersebut, (sunnah) ditambahkan: (اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِأَبَوَيْهِ…..) sampai akhir; “Ya Allah, jadikanlah anak ini sebagai persediaan untuk bapak-ibunya simpanan, nasihat, ibarat dan penolong bagi kedua orang tuanya; beratkanlah timbangan ‘amal mereka; jangan Engkau turunkan fitnah pada mereka; dan janganlah Engkau halangi pahala mereka”. Guru kami berkata: Doa (اللّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا) – dan seterusnya – tidaklah cukup hanya itu saja sebagai doa khusus untuk mayat. Sebab, doa tersebut berisi permohonan sesuatu yang lazim terjadinya, di mana belum cukup sebagai syarat doa untuk mayat dalam shalat Jenazah. Sebab, doa yang bersifat umum dan mencakup setiap individu saja tidak cukup sebagai doa untuk mayat, maka lebih-lebih doa yang permohonannya lazim terjadi. (366) Untuk mayat wanita dhamīr yang ada dalam doa di atas diganti dengan dhamīr mu’annats. Namun, juga boleh tetap mudzakkar seperti di atas dengan menghendaki kembalinya dhamīr pada (الْمَيِّتِ) atau (الشَّخْصِ). Untuk mayat anak hasil zina, doanya diganti dengan ucapan: (اللّهُمَّ اجْعَلْهُ فَرَطًا لِأَمِّهِ) – sampai akhir; “Ya Allah, jadikanlah anak ini sebagai persediaan untuk ibunya”. Yang dimaksud dengan “penggantian ahli dan istri” adalah penggantian dalam segi sifat-sifatnya, bukan dzātnya. Berdasarkan firman Allah yang artinya: “….. dan Kami temukan pada mereka keturunannya”, dan hadits yang diriwayatkan oleh Imām ath-Thabrānī dan lainnya: Bahwa wanita-wanita surga yang berasal dari wanita dunia lebih utama daripada bidadari surga. – Habis. –

(وَ) سَابِعُهَا: (سَلَامٌ) كَغَيْرِهَا (بَعْدَ رَابِعَةٍ)، وَ لَا يَجِبُ فِيْ هذِهِ ذِكْرُ غَيْرِ السَّلَامِ لكِنْ يُسَنُّ: اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ أَيْ أَجْرَ الصَّلَاةِ عَلَيْهِ، أَوْ أَجْرَ الْمُصِيْبَةِ وَ لَا تَفْتِنَّا بَعْدَهُ أَيْ بِارْتِكَابِ الْمَعَاصِيْ وَ اغْفِرْ لَنَا وَ لَهُ. وَ لَوْ تَخلَّفَ عَنْ إِمَامِهِ بِلَا عُذْرٍ بِتَكْبِيْرَةٍ حَتَّى شَرَعَ إِمَامُهُ فِيْ أُخْرَى بَطَلَتْ صَلَاتُهُ. وَ لَوْ كَبَّرَ إِمَامُهُ تَكْبِيْرَةً أُخْرَى قَبْلَ قِرَاءَةِ الْمَسْبُوْقِ الْفَاتِحَةَ تَابَعَهُ فِيْ تَكْبِيْرِهِ، وَ سَقَطَتِ الْقِرَاءَةُ عَنْهُ. وَ إِذَا سَلَمَ الْإِمَامُ تَدَارَكَ الْمَسْبُوْقُ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مَعَ الْأَذْكَارِ. وَ يُقَدَّمُ فِي الْإِمَامَةِ فِيْ صَلَاةِ الْمَيِّتِ وَ لَوِ امْرَأَةٌ: أَبٌ، أَوْ نَائِبُهُ، فَأَبُوْهُ، ثُمَّ ابْنٌ فَابْنُهُ، ثُمَّ أَخٌ لِأَبَوَيْنِ فَلِأَبٍ، ثُمَّ ابْنُهُمَا، ثُمَّ الْعَمُّ كَذلِكَ، ثُمَّ سَائِرُ الْعَصَبَاتِ، ثُمَّ مُعْتِقٌ، ثُمَّ ذُوْ رَحِمٍ، ثُمَّ زَوْجٌ

(7. Salām – sebagaimana halnya dengan shalat-shalat lain – setelah takbīr yang keempat. Sesudah takbīr ini, tidak ada dzikir yang wajib selain salam. Tetapi (sebelum salām) sunnah berdoa (377): (اللَّهُمَّ لَا تَحْرِمْنَا أَجْرَهُ….) dan seterusnya – Ya Allah janganlah Engkau menutup kami dari pahalanya – Maksudnya adalah pahala menshalatinya atau pahala musibah – dan janganlah Engkau turunkan fitnah setelahnya – Maksudnya setelah melakukan maksiat, – dan ampunilah dosa kami dan dosanya – . Apabila dalam shalat jenazah ini seseorang tertinggal dari imām satu takbīr tanpa ada ‘udzur sampai sang imam memulai takbīr lainnya, maka batallah shalat ma’mūm tersebut (388). Apabila sang imām telah memulai takbīr berikutnya, sedang ma’mūm masbūq belum sempat membaca fātiḥah, maka harus mengikuti bertakbīr, dan fātiḥah gugur baginya. Setelah imāmnya salām, maka bagi ma’mūm masbūq tersebut harus menambah takbīr-takbīr yang belum ia kerjakan beserta dzikir-dzikirnya. Di dalam shalat Jenazah – sekalipun mayatnya seorang wanita yang didahulukan untuk menjadi imām adalah dengan urutan sebagai berikut: Ayah atau gantinya, kakek dari garis laki-laki, anak laki-laki mayat, cucu laki-laki dari garis laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki, saudara laki-laki sekandung, saudara laki-laki seayah, keponakan laki-laki dari kedua mereka, paman seayah, waris ashabah lainnya, orang yang memerdekakan mayat dzaw-il-arḥām, kemudian suami. (399)

Catatan:

  1. 31). Atau dengan niat: (أُصَلِّي الْفَرْضَ عَلَى هذَا مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ الْإِمَامُ) atau (أُصَلِّي الْفَرْضَ عَلَى مَنْ حَضَرَ مِنْ أَمْوَاتِ الْمُسْلِمِيْنَ.). I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 140. Dār-ul-Fikr.
  2. 32). Begitu pula hukum membaca doa kepada mayat. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 142. Dār-ul-Fikr.
  3. 33). Milik Imām Rāfi‘ī yang sekaligus menjadi kitab asli Minhāj. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 143. Dār-ul-Fikr.
  4. 34). Sebab telah hilangnya ma‘na disunnahkannya untuk mempercepat shalat ya‘ni takut mayat berubah baunya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 140. Dār-ul-Fikr.
  5. 35). Sebab doa adalah tujuan utama dalam shalat mayit sedangkan sebelumnya hanya sebagai permulaan saja. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 143. Dār-ul-Fikr.
  6. 36). Berbeda dengan pendapat dari Imām Ramlī yang mengatakan cukup dengan doa tersebut begitu pula dengan Imām Khathīb as-Syarbiniī. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 146. Dār-ul-Fikr.
  7. 37). Walaupun untuk anak kecil sebab istighfar tidak harus berasal dari sebuah dossa. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 146. Dār-ul-Fikr.
  8. 38). Sebab mengikuti imām dalam shalat janazah ini tidak dapat tampak, kecuali mengikuti takbīr imām. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 147. Dār-ul-Fikr.
  9. 39). Urutan-urutan tersebut lebih didahulukan daripada orang lain walaupun sultan atau imām masjid sebab itu adalah haknya. I‘ānat-uth-Thālibīn juz 2 hal. 148. Dār-ul-Fikr.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *