Rukun Shalat #7 – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

Rangkaian Pos: Tentang Cara Shalat (Rukun Shalat) - FIQH Populer Terjemah FATHUL MU'IN

(وَ) سَابِعُهَا: (سُجُوْدٌ مَرَّتَيْنِ) كُلُّ رَكَعَةٍ، (عَلَى غَيْرِ مَحْمُوْلٍ) لَهُ، (وَ إِنْ تَحَرَّكَ بِحَرَكَتِهِ) وَ لَوْ نَحْوَ سَرِيْرٍ يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ لِأَنَّهُ لَيْسَ بِمَحْمُوْلٍ لَهُ فَلَا يَضُرُّ السُّجُوْدُ عَلَيْهِ، كَمَا إِذَا سَجَدَ عَلَى مَحْمُوْلٍ لَمْ يَتَحَرَّكْ بِحَرَكَتِهِ كَطَرَفٍ مِنْ رِدَائِهِ الطَّوِيْلِ. وَ خَرَجَ بِقَوْلِيْ: عَلَى غَيْرِ مَحْمُوْلٍ لَهُ، مَا لَوْ سَجَدَ عَلَى مَحْمُوْلٍ يَتَحَرَّكُ بِحَرَكَتِهِ، كَطَرَفٍ مِنْ عَمَامَتِهِ، فَلَا يَصِحُّ، فَإِنْ سَجَدَ عَلَيْهِ بَطَلَتِ الصَّلَاةُ إِنْ تَعَمَّدَ وَ عَلِمَ تَحْرِيْمَهُ، وَ إِلَّا أَعَادَ السُّجُوْدَ. وَ يَصِحُّ عَلَى يَدِ غَيْرِهِ، وَ عَلَى نَحْوِ مَنْدِيْلٍ بِيَدِهِ لِأَنَّهُ فِيْ حُكْمِ الْمُنْفَصِلِ، وَ لَوْ سَجَدَ عَلَى شَيْءٍ فَالْتَصَقَ بِجَبْهَتِهِ صَحَّ، وَ وَجَبَ إِزَالَتُهُ لِلسُّجُوْدِ الثَّانِيْ. (مَعَ تَنْكِيْسٍ) بِأَنْ تَرْتَفِعَ عَجِيْزَتُهُ وَ مَا حَوْلَهَا عَلَى رَأْسِهِ وَ مَنْكَبَيْهِ، لِلْاِتِّبَاعِ. فَلَوِ انْعَكَسَ أَوْ تَسَاوَيَا لَمْ يُجْزِئْهُ. نَعَمْ، إِنْ كَانَ بِهِ عِلَّةٌ لَا يَمْكِنُهُ مَعَهَا السُّجُوْدُ إِلَّا كَذلِكَ أَجْزَأَهُ، (بِوَضْعِ بَعْضِ جَبْهَتِهِ بِكَشْفٍ) أَيْ مَعَ كَشْفٍ. فَإِنْ كَانَ عَلَيْهَا حَائِلٌ كَعَصَابَةٍ لَمْ يَصِحَّ، إِلَّا أَنْ يَكُوْنَ لِجَرَاحَةٍ وَ شَقَّ عَلَيْهِ إِزَالَتُهُ مَشَقَّةً شَدِيْدَةً، فَيَصِحُّ. (وَ) مَعَ (تَحَامُلٍ) بِجَبْهَتِهِ فَقَطْ عَلَى مُصَلَّاهُ، بِأَنْ يَنَالَ ثِقَلَ رَأْسِهِ، خِلَافًا لِلْإِمَامِ. (وَ ) وَضْعِ بَعْضِ (رُكْبَتَيْهِ وَ) بَعْضِ (بَطْنِ كَفَّيْهِ) مِنَ الرَّاحَةِ وَ بُطُوْنِ الْأَصَابِعِ (وَ) بَعْضِ بَطْنِ (أَصَابِعِ قَدَمَيْهِ) دُوْنَ مَا عَدَا ذلِكَ، كَالْحَرْفِ وَ أَطْرَافِ الْأَصَابِعِ وَ ظَهْرِهِمَا. وَ لَوْ قُطِعَتْ أَصَابِعُ قَدَمَيْهِ وَ قَدَرَ عَلَى وَضْعِ شَيْءٍ مِنْ بَطْنِهِمَا لَمْ يَجِبْ، كَمَا اقْتَضَاهُ كَلَامُ الشَّيْخَيْنِ. وَ لَا يَجِبُ التَّحَامُلُ عَلَيْهَا بَلْ يُسَنُّ، كَكَشْفِ غَيْرِ الرُّكْبَتَيْنِ.

(Rukun shalat yang ketujuh) adalah (sujūd dua kali) (941) di setiap satu raka‘at (di selain sesuatu yang dibawa) (952) oleh orang yang shalat (walaupun sesuatu itu bergerak dengan gerakannya), meskipun semacam ranjang yang bergerak dengan gerakannya sebab ranjang itu bukan sesuatu yang dibawa, maka tidaklah masalah sujūd di atasnya seperti ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang tidak bergerak dengan gerakannya semisal dari ujung selendang yang panjang. Dikecualikan dengan ucapankanku – di atas selain sesuatu yang dibawa – adalah permasalahan ketika seseorang sujūd di atas sesuatu yang dibawa yang bergerak dengan gerakannya seperti ujung serban, maka sujūdnya tidaklah sah. Jika seseorang sujūd di atasnya, maka shalatnya batal bila hal tersebut disengaja dan ia mengetahui keharamannya, dan jika tidak maka harus mengulangi sujūdnya. (963) Sah sujūd di atas tangan orang lain (974) dan di atas semacam sapu tangan yang berada di atas tangannya sebab sapu tangan tersebut dihukumi sesuatu yang telah terpisah. Jikalau seseorang sujūd di atas sesuatu, kemudian sesuatu itu melekat di keningnya, maka sujūdnya sah dan wajib untuk menghilangkannya untuk sujūd yang kedua kali. (Sujūd tersebut haruslah besertaan dengan menyungkur) dengan cara mengangkat pantat dan sekitarnya dengan posisi lebih tinggi dari kepalanya dan dua pundaknya sebab mengikuti Nabi s.a.w. Jika seseorang justru membalik posisi tersebut atau sejajar, maka hukumnya tidak mencukupi. Benar tidak mencukupi, namun jika ia memiliki penyakit yang tidak mungkin untuk sujūd kecuali dengan cara seperti itu maka hukumnya mencukupi, (dan dengan meletakkan sebagian keningnya besertaan terbuka). (985) Jika kening tersebut terdapat penghalang seperti perban, maka sujūd tersebut tidaklah sah kecuali jika penghalang itu disebabkan karena luka dan sulit untuk menghilangkannya dengan kesulitan yang luar biasa, maka hukumnya sah. (besertaan pula dengan menekan) keningnya saja pada tempat shalat dengan cara menggunakan berat kepalanya, berbeda dengan pendapat dari Imām al-Ḥaramain. (996) (Dan) meletakkan sebagian (dua lututnya), sebagian (batin kedua telapak tangannya) ya‘ni dari telapak tangan dan batin jari-jari, (sebagian batin jari-jari dua telapak kaki) bukan selain itu seperti tepi jari, ujung jari dan bagian luar dari keduanya. Jika jari-jari dua telapak kaki terpotong, namun masih mampu untuk meletakkan sesuatu dari dua telapak kaki, maka hukumnya tidaklah wajib, (1007) seperti yang telah disampaikan oleh dua guru kita; Imām Nawawī dan Imām Rāfi‘ī. Tidak wajib untuk menekan terhadap anggota-anggota ini selain kening, namun hukumnya sunnah saja seperti tidak wajibnya membuka anggota sujūd selain dua lutut. (1018).

 

(وَ سُنَّ) فِي السُّجُوْدِ (وَضْعُ أَنْفٍ) بَلْ يَتَأَكَّدُ لِخَبَرٍ صَحِيْحٍ، وَ مِنْ ثَمَّ اُخْتِيْرَ وُجُوْبُهُ. وَ يُسَنُّ وَضْعُ الرُّكْبَتَيْنِ أَوَّلًا مُتَفَرِّقَتَيْنِ قَدْرَ شِبْرٍ، ثُمَّ كَفَّيْهِ حَذْوَ مَنْكَبَيْهِ، رَافِعًا ذِرَاعَيْهِ عَنِ الْأَرْضِ وَ نَاشِرًا أَصَابِعَهُ مَضْمُوْمَةً لِلْقِبْلَةِ، ثُمَّ جَبْهَتَهُ وَ أَنْفَهُ مَعًا، وَ تَفْرِيْقُ قَدَمَيْهِ قَدْرَ شِبْرٍ وَ نَصْبُهُمَا مُوَجِّهًا أَصَابِعَهُمَا لِلْقِبْلَةِ، وَ إِبْرَازُهُمَا مِنْ ذَيْلِهِ. وَ يُسَنُّ فَتْحُ عَيْنَيْهِ حَالَةَ السُّجُوْدِ كَمَا قَالَهُ ابْنُ عَبْدِ السَّلَامِ، وَ أَقَرَّهُ الزَّرْكَشِيُّ. وَ يُكْرَهُ مُخَالَفَةُ التَّرْتِيْبِ الْمَذْكُوْرِ وَ عَدَمُ وَضْعِ الْأَنْفِ، (وَ قَوْلُ: سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَ بِحَمْدِهِ ثَلَاثًا) فِي السُّجُوْدِ لِلْاِتِّبَاعِ. وَ يَزِيْدُ مَنْ مَرَّ نَدْبًا: اللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ، وَ بِكَ آمَنْتُ، وَ لَكَ أَسْلَمْتُ. سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَ صَوَّرَهُ وَ شَقَّ سَمْعَهُ وَ بَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَ قُوَّتِهِ، تَبَارَكَ اللّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِيْنَ. وَ يُسَنُّ إِكْثَارُ الدُّعَاءِ فِيْهِ. وَ مِمَّا وَرَدَ فِيْهِ: اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِرِضَاكَ مِنْ سَخَطِكَ، وَ بِمُعَافَاتِكَ مِنْ عُقُوْبَتِكَ. وَ أَعُوْذُ بِكَ مِنْكَ، لَا أُحْصِيْ ثَنَاءً عَلَيْكَ أَنْتَ كَمَا أَثْنَيْتَ عَلَى نَفْسِكَ اللّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ ذَنْبِيْ كُلَّهُ دِقَّهُ وَ جِلَّهُ، وَ أَوَّلَهُ وَ آخِرَهُ، وَ عَلَانِيَتَهُ وَ سِرَّهُ. قَالَ فِي الرَّوْضَةِ: تَطْوِيْلُ السُّجُوْدِ أَفْضَلُ مِنْ تَطْوِيْلِ الرُّكُوْعِ.

(Disunnahkan) di dalam sujūd (untuk meletakkan hidung), bahkan sangat dianjurkan sebab adanya keterangan dari hadits yang shaḥīḥ. (1029) Oleh karenanya, kewajiban hal itu dipilih sebagian ‘ulamā’. Disunnahkan untuk awal kalinya meletakkan dua lutut yang terpisah dengan jarak satu kilan (jengkal – JW) disusul dengan meletakkan dua telapak tangan sejajar dengan pundak sedang dua lengannya diangkat dari tanah dan membentangkan jari-jari tangan dengan posisi saling berhimpitan, kemudian disusul dengan meletakkan kening dan hidung bersamaan, (10310) merenggangkan dua telapak kaki dengan jarak satu kilan dan menegakkan keduanya dengan menghadapkan jari-jarinya ke arah qiblat. Sunnah untuk memperlihatkan kedua jari-jari kaki dari sela-sela pucuk kain penutup bawah. (10411) Disunnahkan untuk membuka kedua matanya saat sujūd seperti yang telah disampaikan oleh Ibnu ‘Abd-is-Salām dan telah diakui oleh Imām Zarkasyī. Dimakruhkan untuk menyimpang dari tartib yang telah disebutkan (10512) dan tidak meletakkan hidung. (Sunnah mengucapkan: (سُبْحَانَ رَبِّيَ الْأَعْلَى وَ بِحَمْدِهِ) – Maha Suci Allah. Tuhanku dan dengan pujian pada-Nya – sebanyak tiga kali), saat sujūd sebab mengikuti Nabi s.a.w. Sunnah menambahkan doa bagi orang yang telah lalu: (اللّهُمَّ لَكَ سَجَدْتُ) – sampai akhir – Ya Allah, untuk-Mu, aku sujūd, dengan-Mu aku beriman dan kepada-Mu aku pasrah, jasadku sujūd kepada dzāt yang menciptakannya, membentuk rupa, memberi pendengaran dan penglihatan padanya dengan daya dan kekuatannya. Bertambah keberkahan Allah sebagai sebagus-bagusnya pencipta. Disunnahkan untuk memperbanyak membaca doa pada waktu sujūd. Sebagian doa yang telah diajarkan Nabi s.a.w. adalah doa: (اللّهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ) – Ya Allah, sesungguhnya aku meminta perlindungan dengan keridhaan-Mu dari kemurkaan-Mu dengan pengampunan-Mu. Dari siksa-Mu, dan aku meminta perlindungan dengan-Mu dari murka-Mu, tiadalah terhitung pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji atas dzāt-Mu, ya Allah ampunilah seluruh dosaku, kecil dan besarnya dosa awal dan akhirnya, dan yang tampak jelas dan samar. Imām Nawawī dalam kitab Raudhah-nya berkata: Memanjangkan sujūd lebih utama dibanding dengan memanjangkan rukū‘.

Catatan:

  1. 94). Dengan dasar al-Qur’ān, hadits dan kesepakatan ‘ulamā’. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 190 Darul Fikr.
  2. 95). Seperti debu yang menempel pada kening sekira mencegah menyentuhnya seluruh kening terhadap tempat sujud. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 191 Darul Fikr.
  3. 96). Sebab benda tersebut akhirnya seperti bagian darinya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 190 Darul Fikr.
  4. 97). Sebab tangan orang lain bukanlah hal yang di bawa. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 191 Darul Fikr.
  5. 98). Perbedaan dengan anggota selain kening yang diperbolehkan untuk dibuka adalah sebab mudahnya membuka kening, bukan yang lainnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
  6. 99). Yang menyatakan tidak wajibnya menekan kening tersebut, sebab hal tersebut lebih mendekatkan ke arah sifat tawadhu‘. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
  7. 100). Sebab hilangnya tempat kewajiban. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
  8. 101). Seperti halnya disunnahkan untuk membuka anggota sujūd selain dua lutut. Sedang membuka lutut hukumnya makruh, sebab berpotensi membuka aurat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 192 Darul Fikr.
  9. 102). Tidak wajibnya meletakkan hidung saat sujud padahal ada hadits yang shaḥīḥ tentang hal tersebut, sebab terdapat pula berbagai hadits shaḥīḥ yang meringkas kening dalam kewajiban untuk meletakkannya. Oleh karena itu, hadits tentang perintah meletakkan hidung diarahkan pada hukum sunnah saja. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 193 Darul Fikr.
  10. 103). Berbeda dengan Imam Ghazali yang menyatakan boleh mendahulukan salah satu dari keduanya sebab dua anggota tersebut seperti satu anggota. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 193 Darul Fikr.
  11. 104). Selain bagi wanita dan khuntsā’, sebab hal tersebut membatalkan shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 193 Darul Fikr.
  12. 105). Berbeda dengan madzhab Mālikiyyah yang mendahulukan dua tangannya, lantas disusul dua lututnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 193 Darul Fikr.