(وَ) مَعَ رِعَايَةِ (مُوَالَاةٍ) فِيْهَا بِأَنْ يَأْتِيْ بِكَلِمَاتِهَا عَلَى الْوَلَاءِ بِأَنْ لَا يَفْصُلَ بَيْنَ شَيْءٍ مِنْهَا وَ مَا بَعْدَهُ بِأَكْثَرَ مِنْ سَكْتَةِ التَّنَفُّسِ أَوِ الْعَيِّ، (فَيُعِيْدُ) قِرَاءَةُ الْفَاتِحَةِ، (بِتَخَلُّلِ ذِكْرٍ أَجْنَبِيٍّ) لَا يَتَعَلَّقُ بِالصَّلَاةِ فِيْهَا، وَ إِنْ قَلَّ، كَبَعْضِ آيَةٍ مِنْ غَيْرِهَا، وَ كَحَمْدِ عَاطِسٍ وَ إِنْ سُنَّ فِيْهَا كَخَارِجِهَا لِإِشْعَارِهِ بِالْإِعْرَاضِ. (لَا) يَعِيْدُ الْفَاتِحَةَ (بِــــــ) تَخَلُّلِ مَا لَهُ تَعَلُّقٌ بِالصَّلَاةِ، كَ (تَأْمِيْنٍ وَ سُجُوْدٍ) لِتِلَاوَةِ إِمَامِهِ مَعَهُ، (وَ دُعَاءٍ) مِنْ سُؤَالِ رَحْمَةٍ، وَ اسْتِعَاذَةٍ مِنْ عَذَابٍ، وَ قَوْلُ: بَلَى وَ أَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ (لِقِرَاءَةِ إِمَامِهِ) الْفَاتِحَةَ أَوْ آيَةَ السَّجْدَةِ، أَوِ الْآيَةَ الَّتِيْ يُسَنُّ فِيْهَا مَا ذُكِرَ لِكُلِّ مِنَ الْقَارِىءِ وَ السَّامِعِ، مَأْمُوْمًا أَوْ غَيْرَهُ، فِيْ صَلَاةٍ وَ خَارِجِهَا. فَلَوْ قَرَأَ الْمُصَلِّيْ آيَةً أَوْ سَمِعَ آيَةً فِيْهَا اسْمُ مُحَمَّدٍ لَمْ تُنْدَبِ الصَّلَاةُ عَلَيْهِ، كَمَا أَفْتَى بِهِ النَّوَوِيُّ. (وَ) لَا (بِفَتْحِ عَلَيْهِ) أَيِ الْإِمَامِ إِذَا تَوَقَّفَ فِيْهَا بِقَصْدِ الْقِرَاءَةِ، وَ لَوْ مَعَ الْفَتْحِ، وَ مَحَلُّهُ كَمَا قَالَ شَيْخُنَا إِنْ سَكَتَ، وَ إِلَّا قَطَعَ الْمُوَالَاةَ. وَ تَقْدِيْمُ نَحْوُ سُبْحَانَ اللهِ قَبْلَ الْفَتْحِ يَقْطَعُهَا عَلَى الْأَوْجَهِ، لِأَنَّهُ حِيْنَئِذٍ بِمَعْنَى تَنَبَّهَ. (وَ) يَعِيْدُ الْفَاتِحَة بِتَخَلُّلِ (سُكُوْتٍ طَالَ) فِيْهَا بِحَيْثُ زَادَ عَلَى سَكْتَةِ الْاِسْتِرَاحَةِ (بِلَا عُذْرٍ فِيْهِمَا)، مِنْ جَهْلٍ وَ سَهْوٍ. فَلَوْ كَانَ تَخَلُّلُ الذِّكْرِ الْأَجْنَبِيِّ، أَوِ السُّكُوْتُ الطَّوِيْلُ، سَهْوًا أَوْ جَهْلًا، أَوْ كَانَ السُّكُوْتُ لِتَذَكُّرِ آيَةٍ، لَمْ يَضُرَّ، كَمَا لَوْ كَرَّرَ آيَةً مِنْهَا فِيْ مَحَلِّهَا وَ لَوْ لِغَيْرِ عُذْرٍ، أَوْ عَادَ إِلَى مَا قَرَأَهُ قَبْلٌ وَ اسْتَمَرَّ، عَلَى الْأَوْجَهِ.
(Dan besertaan menjaga kesinambungan dalam al-Fātiḥah) dengan cara membaca kalimat al-Fātiḥah secara sambung menyambung dengan tidak memisah di antara sesuatu dari al-Fātiḥah dengan lafazh setelahnya dengan jarak waktu lebih dari berhenti mengambil nafas atau berhenti sebab tersengal-sengal. (411) (Maka bacaan al-Fātiḥah harus diulang dengan sebab disela-selai dengan dzikir lain) yang tidak berhubungan dengan al-Fātiḥah walaupun sedikit seperti setengah ayat dari selain al-Fātiḥah dan seperti ucapan al-Ḥamdulillāh orang yang bersin – walaupun bacaan tersebut sunnah diucapkan dalam shalat seperti di luar shalat – sebab hal itu menunjukkan berpaling dari bacaan al-Fātiḥah. (Tidak mengulang bacaan) al-Fātiḥah (dengan) sebab disela-selai dengan sesuatu yang berhubungan dengan shalat seperti (mengucapkan amin, sujūd) tilāwah besertaan imām, (doa) meminta rahmat dan menjauhkan dari ‘adzab dan ucapan: (بَلَى وَ أَنَا عَلَى ذلِكَ مِنَ الشَّاهِدِيْنَ) – Benar, aku atas hal itu menjadi saksi – (sebab bacaan al-Fātiḥah), ayat sajadah dari imām atau ayat yang disunnahkan di dalamnya untuk meminta hal yang telah disebutkan bagi setiap orang yang membaca dan yang mendengar, baik ma’mūm atau imām, di dalam shalat atau di luarnya. Jikalau seseorang yang shalat membaca ayat atau mendengar ayat yang di dalam ayat itu terdapat nama Nabi Muḥammad s.a.w., maka tidak disunnahkan untuk membaca shalawat kepadanya, seperti yang telah difatwatkan oleh Imām Nawawī. (422) (Dan juga tidak mengulangi bacaan al-Fātiḥah dengan sebab menuntun bacaan imām) ketika imam terhenti bacaannya dengan niat membaca al-Qur’ān walaupun besertaan dengan niat menuntun imām. Hal itu dilakukan – seperti yang telah disampaikan oleh guru kita – jika imām diam jika imām tidak terdiam maka terputuslah kesinambungan bacaan al-Fātiḥah-nya. Mendahulukan semacam bacaan (سُبْحَانَ اللهِ) sebelum menurun dapat memutus kesinambungan al-Fātiḥah menurut pendapat yang aujah, sebab bacaan (سُبْحَانَ اللهِ), dengan demikian bermakna mengingatkan. (Wajib mengulang) bacaan al-Fātiḥah dengan sebab disela-selai (dengan diam yang lama) (433) dalam al-Fātiḥah sekira melebihi dari diam untuk istirahat (dengan tanpa sebuah alasan pada dua kasus itu) yakni alasan tidak tahu atau lupa. Jikalau penyela-nyelaan dzikir yang lain atau diam yang lama itu dilakukan karena lupa atau tidak tahu atau karena diam untuk mengingat ayat, maka hal tersebut tidaklah masalah seperti kasus mengulang-ulang ayat dari al-Fātiḥah ditempatnya walaupun tidak ada alasan atau walaupun mengulangi terhadap lafazh yang dibaca sebelum selesainya al-Fātiḥah dan dilanjutkan menurut pendapat yang aujah.
[فَرْعٌ]: لَوْ شَكَّ فِيْ أَثْنَاءِ الْفَاتِحَةِ هَلْ بَسْمَلَ، فَأَتَمَّهَا ثُمَّ ذَكَرَ أَنَّهُ بَسْمَلَ أَعَادَ كُلَّهَا عَلَى الْأَوْجَهِ. (وَ لَا أَثَرَ لِشَكٍّ فِيْ تَرْكِ حَرْفٍ) فَأَكْثَرَ مِنَ الْفَاتِحَةِ، أَوْ آيَةٍ فَأَكْثَرَ مِنْهَا. (بَعْدَ تَمَامِهَا) أَيِ الْفَاتِحَةِ، لِأَنَّ الظَّاهِرَ حِيْنَئِذٍ مُضِيُّهَا تَامَّةً. (وَ اسْتَأْنَفَ) وُجُوْبًا إِنْ شَكَّ فِيْهِ (قَبْلَهُ) أَيِ التَّمَامِ. كَمَا لَوْ شَكَّ هَلْ قَرَأَهَا أَوْ لَا؟ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمَ قِرَاءَتِهَا. وَ كَالْفَاتِحَةِ فِيْ ذلِكَ سَائِرِ الْأَرْكَانِ. فَلَوْ شَكَّ فِيْ أَصْلٍ السُّجُوْدِ مَثَلًا أَتَى بِهِ، أَوْ بَعْدَهُ فِيْ نَحْوِ وَضْعِ الْيَدِ، لَمْ يَلْزَمْهُ شَيْءٌ. وَ لَوْ قَرَأَهَا غَافِلًا فَفَطِنَ عِنْدَ {صِرَاطَ الَّذِيْنَ} وَ لَمْ يَتَيَقَّنْ قِرَاءَتَهَا لَزِمَهُ اسْتِئْنَافُهَا. وَ يَجِبُ التَّرْتِيْبُ فِي الْفَاتِحَةِ بِأَنْ يَأْتِيَ بِهَا عَلَى نَظْمِهَا الْمَعْرُوْفِ لَا فِي التَّشَهُّدِ مَا لَمْ يُخِلَّ بِالْمَعْنَى. لكِنْ يُشْتَرَطُ فِيْهِ رِعَايَةُ تَشْدِيْدَاتٍ وَ مُوَالَاةٌ كَالْفَاتِحَةِ. وَ مَنْ جَهُلَ جَمِيْعَ الْفَاتِحَةِ وَ لَمْ يُمْكِنْهُ تَعَلُّمُهَا قَبْلَ ضِيْقِ الْوَقْتِ، وَ لَا قِرَاءَتُهَا فِيْ نَحْوِ مُصْحَفٍ، لَزِمَهُ قِرَاءَةُ سَبْعُ آيَاتٍ وَ لَوْ مُتَفَرِّقَةً لَا يَنْقُضُ حُرُوْفُهَا عَنْ حُرُوْفِ الْفَاتِحَةِ، وَ هِيَ بِالْبَسْمَلَةِ بِالتَّشْدِيْدَاتِ مِائَةٌ وَ سِتَّةٌ وَ خَمْسُوْنَ حَرْفًا بِإِثْبَاتِ أَلِفِ مَالِكِ وَ لَوْ قَدَرَ عَلَى بَعْضِ الْفَاتِحَةِ كَرَّرَهُ لِيَبْلُغَ قَدْرَهَا، وَ إِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى بَدَلٍ فَسَبْعَةُ أَنْوَاعٍ مِنْ ذِكْرٍ كَذلِكَ، فَوُقُوْفٌ بَقَدْرِهَا.
(Cabangan Masalah). Jikalau seseorang ragu di tengah bacaan al-Fātiḥah, apakah telah membaca basmalah, lantas ia menyempurnakan bacaan al-Fātiḥah-nya kemudian ia ingat bahwa dirinya telah membaca basmalah, maka wajib baginya untuk mengulangi seluruh al-Fātiḥah-nya menurut pendapat yang lebih unggul. (444) (Tidaklah berpengaruh keraguan di dalam meninggalkan satu huruf atau lebih dari al-Fātiḥah satu ayat atau lebih darinya (setelah sempurna membaca al-Fātiḥah) sebab dengan demikian secara zhahir, al-Fātiḥah telah dibaca dengan sempurna. (Wajib untuk mengulangi bacaan al-Fātiḥah) bila keraguan terjadi sebelum sempurnanya) bacaan itu, seperti halnya hukum bila terjadi keraguan apakah telah membaca al-Fātiḥah atau belum? Sebab hukum asalnya adalah belum membacanya. Seperti hukumnya al-Fātiḥah tersebut adalah setiap rukun-rukun shalat, contohnya; jika terjadi keraguan telah sujud atau belum, maka wajib untuk mengerjakan sujud, atau keraguan terjadi setelah sujud dalam meletakkan semacam tangan, maka tidak wajib baginya untuk mengerjakan sesuatu apapun. Jika seseorang membaca al-Fātiḥah dalam keadaan lupa, lantas sadar pada saat membaca (صِرَاطَ الَّذِيْنَ) dan ia tidak yakin telah membaca surat sebelumnya, maka wajib baginya untuk mengulanginya. Wajib untuk mentartibkan bacaan al-Fātiḥah dengan cara membaca al-Fātiḥah sesuai dengan urutan yang telah diketahui, bukan tartib dalam tasyahhud selama tidak merubah maknanya, namun diisyaratkan di dalam tasyahhud untuk tetap memperhatikan tasydīd dan kesinambungannya (455) seperti halnya al-Fātiḥah. Barang siapa yang tidak mengerti seluruh bacaan al-Fātiḥah (466) dan tidak mungkin untuk mempelajarinya sebelum habisnya waktu shalat dan juga tidak mungkin untuk membacanya pada semacam mushḥaf, maka wajib untuk membaca tujuh ayat – walaupun terpisah-pisah – yang tidak kurang dari huruf-huruf al-Fātiḥah (477). Al-Fātiḥah dengan basmalah dan semua tasydīd-nya berjumlah 156 huruf dengan menetapkan alif dari lafazh (مَالِكِ). Jikalau seseorang hanya mampu membaca sebagian dari surat al-Fātiḥah, maka wajib baginya untuk mengulang-ulangnya sampai kadar huruf al-Fātiḥah. Jika ia tidak mampu untuk membaca tujuh ayat sebagai pengganti al-Fātiḥah, maka wajib baginya tujuh macam dzikir dengan jumlah huruf yang sama pula dengan al-Fātiḥah. (488) Jika masih tidak mampu maka baginya hanya berkewajiban berdiri dengan kadar waktu cukup untuk membaca al-Fātiḥah. (499)
Catatan:
- 41). Sepertinya tidak batuk dan bersin yang tidak dapat tertahan. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 165 Darul Fikr.
- 42). Sebagian pendapat menghukumi sunnah dan tidak memutus al-Fatihah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 166 Darul Fikr.
- 43). Atau sebenar dengan nait memutus bacaan sebab disertainya pekerjaan shalat dengan niat pemutusan shalat. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 167 Darul Fikr.
- 44). Hal itu disebabkan kecerobohannya dengan lafazh yang dibaca besertaan keraguan, maka seolah-olah ayat yang dibaca tersebut dianggap ayat yang lain. Imām Asnawī berbeda pendapat, beliau mengatakan bahwa kewajibannya adalah hanya mengulang ayat yang diragukan saja, tidak mengulangi dari awal. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 167 Darul Fikr.
- 45). Ini adalah menurut Imām Ramlī sedang menurut Imām Ibnu Ḥajar bahwa tasyahhud tidaklah disyaratkan muwālah atau terus-menerus seperti al-Fātiḥah. Itsmid ‘Ainaini Hal. 17.
- 46). Berbeda dengan bacaan tasyahhud dan shalawat Nabi bagi yang tidak mampu, maka kewajibannya bukanlah mengganti dengan dzikir, namun dengan mentarjamahkannya. Sedang menurut pendapat Imām Ramlī: jika waktu untuk mempelajari keduanya telah sempit dan ia mampu membaca dzikir yang lain, maka wajib membaca dzikir tersebut dan jika tidak maka terjemahkan keduanya. Minhāj-ut-Thullāb juz 1 hal. 102.
- 47). Dicukupkan dengan praduga saja. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 169 Darul Fikr.
- 48). Contoh tujuh dzikir;
سبحان الله، وً الحمد لله، و لا إِله إِلا اللهِ، و الله أكبر، و لا حول و لا قوة إلا بِالله العلي العظيم وَ مَا شَاء اللهُ كَانَ نوع، و مَا لَمْ يَشَأْ لمْ يَكُنْ نوع.
- 49). Dengan bacaan orang standar di dalam paraduganya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 169 Darul Fikr.