Rukun Shalat #4 – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN (1/5)

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

Rangkaian Pos: Tentang Cara Shalat (Rukun Shalat) - FIQH Populer Terjemah FATHUL MU'IN

(وَ) رَابِعُهَا: (قِرَاءَةُ فَاتِحَةِ كُلُّ رَكْعَةٍ) فِيْ قِيَامِهَا، لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ: “لَا صَلَاةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأُ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ”. أَيْ فِيْ كُلِّ رَكْعَةٍ. (إِلَّا رَكْعَةَ مَسْبُوْقٍ) فَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ فِيْهَا حَيْثُ لَمْ يُدْرِكْ زَمَنًا يَسَعُ الْفَاتِحَةَ مِنْ قِيَامِ الْإِمَامِ، وَ لَوْ فِيْ كُلِّ الرَّكَعَاتِ لِسَبْقِهِ فِي الْأُوْلَى وَ تَخَلُّفِ الْمَأْمُوْمِ عَنْهُ بِزَحْمَةٍ أَوْ نِسْيَانٍ أَوْ بُطْءِ حَرَكَةٍ، فَلَمْ يَقُمْ مِنَ السُّجُوْدِ فِيْ كُلٍّ مِمَّا بَعْدَهَا إِلَّا وَ الْإِمَامُ رَاكِعٍ، فَيَتَحَمَّلُ الْإِمَامُ الْمُتَطَهِّرُ فِيْ غَيْرِ الرَّكْعَةِ الزَّائِدَةِ الْفَاتِحَةَ أَوْ بَقِيَّتَهَا عَنْهُ. وَ لَوْ تَأَخَّرَ مَسْبُوْقٌ لَمْ يَشْتَغِلْ بِسُنَّةٍ لِإِتْمَامِ الْفَاتِحَةِ فَلَمْ يُدْرِكِ الْإِمَامَ إِلَّا وَ هُوَ مُعْتَدِلٌ لَغَتْ رَكْعَتُهُ.

(Rukun shalat yang keempat adalah membaca surat al-Fātiḥah di setiap rakaat) (311) pada waktu berdiri sebab hadits yang diriwayatkan oleh Bukhārī-Muslim: Tidaklah sah shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fātiḥah. Maksudnya di setiap raka‘at. (Kecuali rakaatnya ma’mūm tertinggal) (322) maka tidaklah wajib baginya untuk membaca surat al-Fātiḥah sekira ma’mūm itu tidak menemukan waktu yang cukup untuk membaca surat al-Fātiḥah saat berdirinya imām, sekalipun hal tersebut terjadi di setiap rakaat awal dan tertinggalnya ma’mūm karena keadaan berdesakan, lupa, lambat gerakannya lalu ia tidak dapat berdiri dari sujūd berada pada posisi rukū‘, maka imam yang suci (333) dan tidak berada pada rakaat tambahan akan menanggung al-Fātiḥah atau sisa al-Fātiḥah darinya. Jikalau ma’mūm masbūq yang tidak tersibukkan dengan kesunnahan mengkhirkan diri dari imām untuk menyelesaikan al-Fātiḥah-nya lalu tidak menemui imām kecuali imām sudah dalam posisi i‘tidāl, maka raka‘atnya tidak dihitung. (344).

(مَعَ بَسْمَلَةٍ) أَيْ مَعَ قِرَاءَةِ الْبَسْمَلَةِ فَإِنَّهَا آيَةٌ مِنْهَا، لِأَنَّهُ قَرَأَهَا ثُمَّ الْفَاتِحَةَ وَ عَدَّهَا آيَةً مِنْهَا. وَ كَذَا مِنْ كُلِّ سُوْرَةٍ غَيْرَ بَرَاءَة. (وَ) مَعَ (تَشْدِيْدَاتٍ) فِيْهَا، وَ هِيَ أَرْبَعُ عَشَرَةٍ، لِأَنَّ الْحَرْفَ الْمُشَدَّدَ بِحَرْفَيْنِ. فَإِذَا خُفِّفَ بَطَلَ مِنْهَا حَرْفٌ. (وَ) مَعَ (رِعَايَةِ حُرُوْفٍ) فِيْهَا، وَ هِيَ عَلَى قِرَاءَةِ مَلِكِ بِلَا أَلِفٍ مِائَةٌ وَ وَاحِدٌ وَ أَرْبَعُوْنَ حَرْفًا، وَ هِيَ مَعَ تَشْدِيْدَاتِهَا مِائةٌ وَ خَمْسَةٌ وَ خَمْسُوْنَ حَرْفًا. (وَ مَخَارِجُهَا) أَيِ الْحُرُوْف، كَمَخْرَجٍ ضَادٍ وَ غَيْرِهَا. فَلَوْ أَبْدَلَ قَادِرٌ أَوْ مَنْ أَمْكَنَهُ التَّعَلُّمُ حَرْفًا بِآخَرَ، وَ لَوْ ضَادًا بِظَاءٍ، أَوْ لَحَنَ لَحْنًا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى، كَكَسْرِ تَاءِ أَنْعَمْتَ أَوْ ضَمِّهَا وَ كَسْرِ كَافِ إِيَّاكَ لَا ضَمِّهَا، فَإِنْ تَعَمَّدَ ذلِكَ وَ عَلِمَ تَحْرِيْمَهُ بَطُلَتْ صَلَاتُهُ، وَ إِلَّا فَقِرَاءَتُهُ. نَعَمْ. إِنْ أَعَادَهُ الصَّوَابَ قَبْلَ طُوْلِ الْفَصْلِ كَمَّلَ عَلَيْهَا. أَمَّا عَاجِزٌ لَمْ يُمْكِنْهُ التَّعَلُّمَ فَلَا تَبْطَلْ قِرَاءَتُهُ مُطْلَقًا، وَ كَذَا لَاحِنٌ لَحْنًا لَا يُغَيِّرُ الْمَعْنَى، كَفَتْحِ دَالِ نَعْبُدُ، لكِنَّهُ إِنْ تَعَمَّدَ حَرُمَ، وَ إِلَّا كُرِهَ.

(Al-Fātiḥah tersebut haruslah besertaan dengan bacaan basmalah) sebab basmalah adalah sebagian ayat dari al-Fātiḥah (355) dan Nabi s.a.w. sendiri juga membaca basmalah lalu membaca al-Fātiḥah dan Nabi menganggap basmalah sebagai ayat darinya. Begitu pula setiap ayat selain surat Barā’ah. (366) (bersertaan dengan tasydīd-tasydīdnya). Jumlahnya ada 14, sebab huruf yang ditasydīd itu dihitung dua huruf. Maka jika huruf itu diringankan hilanglah satu huruf dari al-Fātiḥah, (besertaan menjaga huruf-hurufnya). Jumlahnya dengan membaca lafazh (مَلِكِ) tanpa alif adalah 141 huruf dan bila ditambah tasydīd-nya, maka jumlah totalnya adalah 155 huruf, (dan menjaga tempat keluarnya huruf) seperti makhraj (ضَاد) dan selainnya. Jikalau seseorang yang mampu atau mungkin untuk belajar mengganti satu huruf dengan huruf yang lain walaupun (377) (ضَاد) dengan (ظَاء) atau keliru dalam membaca dengan kekeliruan yang dapat merubah makna seperti membaca kasrah tā’ dari lafazh (أَنْعَمْتَ) atau membaca dhammah dan meng-kasrah lafazh (إِيَّاكَ), bukan mendhammahnya, maka jika ia menyengaja hal itu dan tahu keharamannya batallah shalatnya. Jika tidak sengaja atau tidak tahu keharamannya, maka yang batal hanyalah bacaannya. Benar batal bacaannya, jika seseorang tersebut mengulangi dengan benar sebelum pemisah yang lama, maka diperbolehkan untuk menyempurnakan bacaannya. (388) Sedangkan orang yang tidak mampu untuk belajar maka tidaklah batal bacaannya secara mutlak, begitu pula keliru bacaan yang tidak merubah makna seperti membaca fatḥah lafazh (دَال) dari (نَعْبُدُ) namun jika disengaja hukumnya haram dan bila tidak hukumnya makruh.

وَ وَقَعَ خِلَافٌ بَيْنَ الْمُتَقَدِّمِيْنَ وَ الْمُتَأَخِّرِيْنَ فِي الْهَمْدُ للهِ بِالْهَاءِ وَ فِي النُّطْقِ بِالْقَافِ الْمُتَرَدِّدَةِ بَيْنَهَا وَ بَيْنَ الْكَافِ. وَ جَزَمَ شَيْخُنَا فِيْ شَرْحِ الْمِنهَاجِ بِالْبُطْلَانِ فِيْهِمَا إِلَّا إِنْ تَعَذَّرَ عَلَيْهِ التَّعَلُّمُ قَبْلَ خُرُوْجِ الْوَقْتِ. لكِنْ جَزَمَ بِالصِّحَّةِ فِي الثَّانِيَةِ شَيْخُهُ زَكَرِيَّا، وَ فِي الْأُوْلَى الْقَاضِيْ وَ ابْنُ الرِّفْعَةِ. وَ لَوْ خَفَّفَ قَادِرٌ أَوْ عَاجِزٌ مُقَصِّرٌ مُشَدَّدًا كَأَنْ قَرَأَ اَلْ رَحْمنِ بِفَكِّ الْإِدْغَامِ بَطَلَتْ صَلَاتَهُ إِنْ تَعَمَّدَ وَ عَلِمَ، وَ إِلَّا فَقِرَاءَتُهُ لِتِلْكَ الْكَلِمَةِ. وَ لَوْ خَفَّفَ إِيَّاكَ، عَامِدًا عَالِمًا مَعْنَاهُ، كَفَرَ لِأَنَّهُ ضَوْءُ الشَّمْسِ، وَ إِلَّا سَجَدَ لِلسَّهْوِ. وَ لَوْ شَدَّدَ مُخَفَّفًا صَحَّ، وَ يَحْرُمُ تَعْمُّدُهُ كَوَقْفَةٍ لَطِيْفَةٍ بَيْنَ السِّيْنِ وَ التَّاءِ مِنْ نَسْتَعِيْنَ.

Terjadi perbedaan pendapat di antara ‘ulamā’ kurun awal dan kurun akhir di dalam (الْهَمْدُ للهِ) dengan menggunakan (ه) dan di dalam mengucapkan (القَاف) dengan makhraj di antara (ق) dan (ك). Guru kita telah memutuskan dalam kitab syarḥ minhāj-nya dengan hukum batal di dalam dua kasus di atas, kecuali bagi orang yang sulit untuk belajar sebelum keluarnya waktu shalat. Namun gurunya guru kita; Imām Zakariyyā memutuskan hukum sah pada kasus kedua, (399) al-Qādhī dan Ibnu Rif‘ah menghukumi sah pada kasus awal. Jikalau seorang yang mampu atau tidak mampu, namun ceroboh meringankan huruf yang bertasydīd seperti membaca (اَلْ رَحْمنِ) dengan tanpa meng-idghām-kan, maka batallah shalatnya jika ia menyengaja dan mengetahui keharamannya, dan jika tidak sengaja dan mengetahui, maka yang batal hanyalah bacaan dari kalimat itu. Jikalau seseorang meringankan bacaan (إِيَّاكَ) dengan sengaja dan mengetahui artinya, maka orang tersebut menjadi kafir sebab makna dari lafazh tersebut menjadi sinar matahari, dan jika tidak maka dianjurkan melakukan sujud sahwi. Jikalau lafazh yang ringan ditasydīd, maka sah shalatnya namun hukumnya haram bila disengaja seperti keharaman diam sebentar (4010) di antara huruf (السِّيْن) dan (التَّاء) dari lafazh (نَسْتَعِيْنَ).

Catatan:

  1. 31). Baik shalat fardhu atau sunnah, sendiri atau berjamā‘ah, sirriyyah atau jahriyyah, hafal atau dituntun atau melihat mushḥaf. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 162 Darul Fikr.
  2. 32). Ma’mūm masbūq (pen.)
  3. 33). Jikalau imām diketahui kebatalannya sebab hadats sebelum ia menjadi ma’mūm, maka wajib untuk menambah satu raka‘at. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 162 Darul Fikr.
  4. 34). Sebab kewajiban ma’mūm masbūq yang tidak tersibukkan dengan kesunnahan adalah langsung mengikuti imām (pen.) dan syarat dihitung raka‘atnya adalah menemui rukū‘ sang imām. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 163 Darul Fikr.
  5. 35). Secara hukum saja tidak secara i‘tiqad, maka tidak wajib meyakini bahwa basmalah merupakan ayat dari al-Fatihah, begitu pula dari surat yang lain. Adapun meyakini bahwa basmalah adalah dari sebagian ayat qur’an, maka hukumnya wajib. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 163 Darul Fikr.
  6. 36). Artinya: Basmalah setiap surat selain surat Barā’ah termasuk ayat tersebut, tidak hanya dalam surat al-Fātiḥah saja sebab hadits dari sahabat Anas dan kesepakatan para sahabat yang menulis basmalah di surah dalam mushḥaf. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 163 Darul Fikr.
  7. 37). Sebagai sangkalan dari pendapat yang mengatakan sahnya mengucapkan (ضاد) dengan (ظَاء) atau sebaliknya sebab sulitnya membedakan dua makhraj tersebut. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 164 Darul Fikr.
  8. 38). Setiap permasalahan yang dikatakan batal bacaannya saja, bukan shalatnya, wajib untuk mengulang bacaannya dan bila tidak mengulang kemudian langsung rukū‘, maka jelas shalatnya batal. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 164 Darul Fikr.
  9. 39). Namun hukumnya makruh. Keabsahan tersebut karena sebab hal tersebut tidak disebut sebagai mengganti huruf, namun hanya dinamakan pengucapan makhraj qāf yang tidak murni. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 165 Darul Fikr.
  10. 40). Keharaman hal ini sebab huruf akan terputus satu dengan yang lainnya diam tersebut dan kalimat dengan kalimat, sedang satu kalimat tidak diampuni di dalamnya terpisah dan waqaf di tengahnya. Dalam sebuah bacaan yang diperbolehkan hanyalah mengucapkan huruf dari makhrajnya lantas berpindah ke huruf setelahnya secara bersambung tanpa ada pemisah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 165 Darul Fikr.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *