(وَ) ثَالِثُهَا: (قِيَامُ قَادِرٍ) عَلَيْهِ بِنَفْسِهِ أَوْ بِغَيْرِهِ (فِيْ فَرْضٍ) وَ لَوْ مَنْدُوْرًا أَوْ مُعَادًا. وَ يَحْصُلُ الْقِيَامُ بِنَصْبِ فِقَارِ ظَهْرِهِ أَيْ عِظَامِهِ الَّتِيْ هِيَ مَفَاصِلُهُ وَ لَوْ بِاسْتِنَادٍ إِلَى شَيْءٍ بِحَيْثُ لَوْ زَالَ لَسَقَطَ. وَ يُكْرَهُ الْاِسْتِنَادُ لَا بِانْحِنَاءٍ إِنْ كَانَ أَقْرَبُ إِلَى أَقَلِّ الرُّكُوْعِ، إِنْ لَمْ يَعْجِزْ عَنْ تَمَامِ الْاِنْتِصَابِ. (وَ لِعَاجِزٍ شَقَّ عَلَيْهِ قِيَامٌ) بِأَنْ لَحِقَهُ بِهِ مَشَقَّةٌ شَدِيْدَةٌ بِحَيْثُ لَا تُحْتَمَلُ عَادَةً وَ ضَبَطَهَا الْإِمَامُ بِأَنْ تَكُوْنُ بِحَيْثُ يَذْهَبُ مَعَهَا خُشُوْعُهُ (صَلَاةٌ قَاعِدًا) كَرَاكِبِ سَفِيْنَةٍ خَافَ نَحْوَ دَوْرَانِ رَأْسٍ إِنْ قَامَ، وَ سَلِسٍ لَا يَسْتَمْسَكُ حَدَثَهُ إِلَّا بِالْقُعُوْدِ. وَ يَنْحَنِي الْقَاعِدُ لِلرُّكُوْعِ بِحَيْثُ تَحَاذِيْ جَبْهَتُهُ مَا قُدَّامَ رُكْبَتَيْهِ.
(Rukun shalat) yang ketiga adalah (berdiri bagi yang mampu) dengan diri sendiri atau bantuan orang lain (231) (di dalam shalat yang fardhu) walaupun shalat yang dinadzari atau yang diulangi. Rukun berdiri ini dapat hasil terwujud dengan menegakkan tulang punggungnya walaupun bersandar pada sesuatu yang bila tidak ada, maka akan terjatuh, dan hukum bersandar adalah makruh. Tidak sah berdiri dengan cara membungkuk jika posisinya mendekati pada minimal rukū‘ bila ia masih mampu untuk dapat berdiri tegak dengan sempurna. (Sedangkan bagi orang lemah yang berat untuk berdiri) dengan kesulitan yang begitu berat sekira tidak dapat ditanggung secara adatnya . Imām al-Ḥaramain membatasi kesulitan tersebut dengan batasan sekira hal itu dapat menghilangkan kekhusyū‘an, (242) (maka shalatnya dengan cara duduk) seperti penumpang kapal laut yang takut semacam pusing kepala jika berdiri, dan orang yang beser kencing yang tidak dapat menahan hadatsnya kecuali dengan duduk. Bagi orang yang shalat duduk, maka rukū‘-nya dengan membungkuk sekira keningnya sejajar dengan tempat yang berada di depan kedua lututnya.
[َفرْعٌ]: قَالَ شَيْخُنَا: يَجُوْزُ لِمَرِيْضٍ أَمْكَنَهُ الْقِيَامُ بِلَا مَشَقَّةٍ لَوِ انْفَرَدَ، لَا إِنْ صَلَّى فِيْ جَمَاعَةٍ إِلَّا مَعَ جُلُوْسٍ فِيْ بَعْضِهَا، الصَّلَاةُ مَعَهُمْ مَعَ الْجُلُوْسِ فِيْ بَعْضِهَا، وَ إِنْ كَانَ الْأَفْضَلُ الْاِنْفِرَادَ. وَ كَذَا إِذَا قَرَأَ الْفَاتِحَةَ فَقَطْ لَمْ يَقْعُدْ، أَوْ وَ السُّوْرَةَ قَعَدَ فِيْهَا جَازَ لَهُ قِرَاءَتُهَا مَعَ الْقُعُوْدِ، وَ إِنْ كَانَ الْأَفْضَلُ تَرْكَهَا. اِنْتَهَى.
(Cabangan Masalah). Guru kita berkata: Diperbolehkan bagi orang sakit yang mungkin untuk berdiri dengan tanpa kesulitan bila ia shalat sendiri – bukan bila jamā‘ah – kecuali dengan posisi duduk di sebagian shalatnya untuk melakukan shalat berjamā‘ah besertaan duduk di sebagian shalatnya – walaupun yang lebih utama baginya untuk shalat sendiri – . Begitu pula (253) bagi seseorang ketika hanya dapat membaca surat al-Fātiḥah saja dengan tidak duduk atau membaca surat al-Qur’ān dengan duduk, maka diperbolehkan baginya untuk membaca surat al-Qur’ān dengan duduk walaupun yang lebih utama baginya adalah menginggalkannya – selesai.
وَ الْأَفْضَلُ لِلْقَاعِدِ الْاِفْتِرَاشُ، ثُمَّ التَّرَبُّعُ، ثُمَّ التَّوَرُّكُ، فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الصَّلَاةِ قَاعِدًا صَلَّى مُضْطَجِعًا عَلَى جَنْبِهِ، مُسْتَقْبِلًا لِلْقِبْلَةِ بِوَجْهِهِ وَ مُقَدَّمِ بَدَنِهِ، وَ يُكْرَهُ عَلَى الْجَنْبِ الْأَيْسَرِ بِلَا عُذْرٍ. فَمُسْتَلْقِيًا عَلَى ظَهْرِهِ وَ أَخْمَصَاهُ إِلَى الْقِبْلَةِ، وَ يَجِبُ أَنْ يَضَعَ تَحْتَ رَأْسِهِ نَحْوَ مِخَدَّةٍ لِيَسْتَقْبِلَ بِوَجْهِهِ الْقِبْلَةَ، وَ أَنْ يُوْمِىءَ إِلَى صَوْبِ الْقِبْلَةِ رَاكِعًا وَ سَاجِدًا، وَ بِالسُّجُوْدِ أَخْفَضُ مِنَ الْإِيْمَاءِ إِلَى الرُّكُوْعِ، إِنْ عَجَزَ عَنْهُمَا. فَإِنْ عَجَزَ عَنِ الْإِيْمَاءِ بِرَأْسِهِ أَوْمَأَ بِأَجْفَانِهِ. فَإِنْ عَجَزَ، أَجْرَى أَفْعَالَ الصَّلَاةِ عَلَى قَلْبِهِ، فَلَا تَسْقُطُ عَنْهُ الصَّلَاةُ مَا دَامَ عَقْلُهُ ثَابِتًا. وَ إِنَّمَا أَخَّرُوا الْقِيَامَ عَنْ سَابِقَيْهِ مَعَ تَقَدُّمِهِ عَلَيْهِمَا لِأَنَّهُمَا رُكْنَانِ حَتَّى فِي النَّفْلِ، وَ هُوَ رُكْنٌ فِي الْفَرِيْضَةِ فَقَطْ.
Yang lebih utama bagi seorang yang shalat dengan posisi duduk adalah duduk iftirāsy, lalu tarabbu‘ (264), kemudian tawarruk. Jika ia tidak mampu shalat dengan duduk, maka shalat dengan cara tidur miring dengan sisi tubuh sebelah kanan serta menghadapkan wajah dan bagian depan tubuhnya ke qiblat. Makruh hukumnya tidur miring dengan menggunakan sisi tubuh sebelah kiri tanpa ada alasan. Kemudian jika tidak mampu dengan tidur miring, maka dengan posisi terlentang dan kedua telapak kakinya dihadapkan ke qiblat. Wajib untuk meletakkan semacam bantal di bawah kepalanya supaya wajahnya dapat menghadap qiblat dan wajib untuk memberi isyarat ke arah qiblat pada saat rukū‘, jika tidak mampu untuk melakukan rukū‘ dan sujūd. Bila tidak mampu memberi isyarat dengan kepalanya, maka dengan pelupuk mata. (275) dan bila tidak mampu juga maka semua pekerjaan-pekerjaan shalat dilakukan dengan hatinya. Tidaklah gugur kewajiban melakukan shalat selama akalnya masih ada. Para ‘ulamā’ mengakhirkan rukun berdiri dari dua rukun yang mendahuluinya (286) padahal rukun berdiri lebih dahulu dikerjakan dari keduanya sebab kedua rukun tersebut adalah dua rukun sampai pada shalat yang sunnah. Sedangkan berdiri merupakan rukun dalam shalat wajib saja.
(كَمُتَنَفِّلٍ) فَيَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ النَّفْلَ قَاعِدًا وَ مُضْطَجِعًا، مَعَ الْقُدْرَةِ عَلَى الْقِيَامِ أَوِ الْقُعُوْدِ. وَ يَلْزَمُ الْمُضْطَجِعُ الْقُعُوْدَ لِلرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدِ، أَمَّا مُسْتَلْقِيًا فَلَا يَصِحُّ مَعَ إِمْكَانِ الْاِضْطِجَاعِ. وَ فِي الْمَجْمُوْعِ: إِطَالَةُ الْقِيَامِ أَفْضَلُ مِنْ تَكْثِيْرِ الرَّكَعَاتِ. وَ فِي الرَّوْضَةِ: تَطْوِيْلُ السُّجُوْدِ أَفْضَلُ مِنْ تَطْوِيْلِ الرُّكُوْعِ.
Seperti halnya orang yang melaksanakan shalat sunnah, maka diperbolehkan baginya untuk melaksanakan shalat sunnah dengan posisi duduk dan tidur miring besertaan mampu untuk berdiri atau duduk. Wajib bagi orang yang shalat dengan tidur miring untuk duduk ketika rukū‘ dan sujūd. (297) Sedangkan tidur terlentang hukumnya tidaklah sah selama masih mungkin untuk tidur miring. (308) Dalam majmū‘ disebutkan: Memanjangkan berdiri lebih utama di banding dengan memanjangkan rukū‘.