Rukun Shalat #14 – FIQH Populer Terjemah FATHUL MU’IN (1/3)

FIQH Populer
Terjemah Fath-ul-Mu‘in
Penulis: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz al-Malibari
(Judul Asli: Fatḥ-ul-Mu’īni Bi Syarḥi Qurrat-il-‘Aini Bi Muhimmāt-id-Dīn)

Penerjemah: M. Fikril Hakim, S.H.I. dan Abu Sholahuddin.
Penerbit: Lirboyo Press.

Rangkaian Pos: Tentang Cara Shalat (Rukun Shalat) - FIQH Populer Terjemah FATHUL MU'IN

(وَ) رَابِعَ عَشَرَهَا: (تَرْتِيْبٌ بَيْنَ أَرْكَانِهَا) الْمُتَقَدِّمَةَ كَمَا ذُكِرَ. فَإِنْ تَعَمَّدَ الْإِخْلَالَ بِالتَّرْتِيْبِ بِتَقْدِيْمِ رُكْنٍ فِعْلِيٍّ، كَأَنْ سَجَدَ قَبْلَ الرُّكُوْعِ، بَطَلَتْ صَلَاتُهُ. أَمَّا تَقْدِيْمُ الرُّكْنِ الْقَوْلِيِّ فَلَا يَضُرُّ إِلَّا السَّلَامِ. وَ التَّرْتِيْبُ بَيْنَ السُّنَنِ كَالسُّوْرَةِ بَعْدَ الْفَاتِحَةِ، وَ الدُّعَاءِ بَعْدَ التَّشَهُّدِ وَ الصَّلَاةِ، شَرْطٌ لِلْاِعْتِدَادِ بِسُنِّيَّتِهَا، (وَ لَوْ سَهَا غَيْرُ مَأْمُوْمٍ) فِي التَّرْتِيْبِ (بِتَرْكِ رُكْنٍ) كَأَنْ سَجَدَ قَبْلَ الرُّكُوْعِ، أَوْ رَكَعَ قَبْلَ الْفَاتِحَةِ، لَغَا مَا فَعَلَهُ حَتَّى يَأْتِيَ بِالْمَتْرُوْكِ. فَإِنْ تَذكَّرَ قَبْلَ بُلُوْغِ مِثْلِهِ أَتَى بِهِ، وَ إِلَّا فَسَيَأْتِيْ بَيَانُهُ. (أَوْ شَكَّ) هُوَ أَيْ غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ فِيْ رُكْنٍ هَلْ فَعَلَ أَمْ لَا، كَأَنْ شَكَّ رَاكِعًا هَلْ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ، أَوْ سَاجِدًا هَلْ رَكَعَ أَوِ اعْتَدَلَ، (أَتَى بِهِ) فَوْرًا وُجُوْبًا (إِنْ كَانَ) الشَّكُّ (قَبْلَ فِعْلِهِ مِثْلَهُ) أَيْ مِثْلَ الْمَشْكُوْكِ فِيْهِ مِنْ رَكْعَةٍ أُخْرَى (وَ إِلَّا) أَيْ وَ إِنْ لَمْ يَتَذَكَّرْ حَتَّى فَعَلَ مِثْلَهُ فِيْ رَكْعةٍ أُخْرَى (أَجْزَأَهُ) عَنْ مَتْرُوْكِهِ، وَ لَغَا مَا بَيْنَهُمَا. هذَا كُلُّهُ إِنْ عَلِمَ عَيْنَ الْمَتْرُوْكِ وَ مَحَلَّهُ، فَإِنْ جَهَلَ عَيْنَهُ وَ جَوَّزَ أَنَّهُ النِّيَّةَ أَوْ تَكْبِيْرَةَ الْإِحْرَامِ بَطَلَتْ صَلَاتُهُ. وَ لَمْ يُشْتَرَطْ هُنَا طُوْلُ فَصْلٍ وَ لَا مُضِيُّ رُكْنٍ، أَوْ أَنَّهُ السَّلَامُ يُسَلِّمُ، وَ إِنْ طَالَ الْفَصْلُ عَلَى الْأَوْجَهِ. أَوْ أَنَّهُ غَيْرَهُمَا أَخَذَ بِالْأَسْوَأَ وَ بَنَى عَلَى مَا فَعَلَهُ، (وَ تَدَارَكَ) الْبَاقِيْ مِنْ صَلَاتِهِ. نَعَمْ، إِنْ لَمْ يَكُنِ الْمِثْلُ مِنَ الصَّلَاةِ كَسُجُوْدِ تِلَاوَةٍ لَمْ يُجْزِئْهُ. أَمَّا مَأْمُوْمٌ عَلِمَ أَوْ شَكَّ قَبْلَ رُكُوْعِهِ وَ بَعْدَ رُكُوْعِ إِمَامِهِ أَنَّهُ تَرَكَ الْفَاتِحَةَ فَيَقْرَؤُهَا وَ يَسْعَى خَلْفَهُ، وَ بَعْدَ رُكُوْعِهِمَا لَمْ يَعُدْ إِلَى الْقِيَامِ لِقِرَاءَتِهِ الْفَاتِحَةَ بَلْ يَتَّبِعُ إِمَامَهُ وَ يُصَلِّيْ رَكْعَةً بَعْدَ سَلَامِ الْإِمَامِ.

(Rukun shalat yang keempat belas adalah tartib) di antara rukun-rukun yang telah disebut sebelumnya. (1351) Maka jika ada kesengajaan merusak tartib dengan mendahulukan rukun fi‘lī seperti sujūd sebelum rukū‘ maka batallah shalatnya. Sedangkan mendahulukan rukun qaulī hukumnya tidaklah masalah kecuali salām. Tartib di antara sunnah seperti surat-suratan setelah membaca al-Fātiḥah, doa sebelum bacaan tasyahhud dan shalawat merupakan syarat untuk mendapatkan kesunnahannya. (Jikalau selain ma’mūm lupa) di dalam tartib (dengan meninggalkan satu rukun) seperti sujūd sebelum rukū‘ atau rukū‘ sebelum membaca a-Fātiḥah, maka apa yang telah dikerjakan tiada gunanya (1362) sampai ia mengerjakan terhadap rukun yang ditinggal. Jika ia ingat sebelum sampai rukun yang sama dengan yang ditinggal, maka baginya harus mengerjakan rukun yang ditinggal dan jika tidak semacam itu, maka keterangannya akan dijelaskan nanti. (Atau selain ma’mūm ragu) di dalam rukun, apakah telah mengerjakannya atau belum, seperti keraguan orang yang rukū‘, apakah telah membaca al-Fātiḥah?, atau keraguan orang yang sujūd, apakah telah rukū‘ atau i‘tidāl?, (maka wajib baginya untuk segera mengerjakan rukun yang diragukan jika keraguan tersebut sebelum mengerjakan rukun yang menyamai) terhadap rukun yang diragukan dari raka‘at lain. (Jika ia tidak ingat) sampai mengerjakan terhadap rukun yang diragukan dalam raka‘at lain (maka hal tersebut mencukupi baginya) (1373) dari rukun yang ditinggalkan dan rukun yang berada di antara keduanya tidak berarti. Ini semua jika ia tahu persis bentuk rukun yang ditinggal dan tempatnya, jika ia tidak tahu dan ia menduga niat dan takbīrat-ul-iḥrām, maka shalatnya batal. – Dalam bab ini tidak disyaratkan harus adanya pemisah yang lama dan juga tidak lewatnya satu rukun – , atau ia menduga salām, maka baginya harus salām walaupun waktu pemisahnya telah lama menurut pendapat yang aujah, atau menduga selain dari keduanya, maka ambillah yang lebih hati-hati dan teruskan atas apa yang telah dikerjakan, (1384) (setelah itu penuhilah kekurangan) sisa shalat. Benar bila telah sampai rukun yang sama mencukupi dari rukun yang ditinggal namun jika rukun yang sama tersebut bukan dari bagian shalat seperti sujūd tilāwah, maka hukumnya tidak mencukupi. Sedangkan ma’mūm yang mengetahui atau ragu sebelum rukū‘nya dan setelah rukū‘nya imām bahwa dirinya meninggalkan al-Fātiḥah, maka bacalah al-Fātiḥah tersebut dan kejarlah imām. Bila hal itu terjadi setelah rukū‘nya dan rukū‘ imām, maka tidak diperbolehkan baginya untuk kembali berdiri untuk membaca al-Fātiḥah namun ikutilah imām dan shalatlah satu raka‘at setelah salām imām.

 

[فَرْعٌ]: (سُنَّ دُخُوْلُ صَلَاةٍ بِنَشَاطٍ) لِأَنَّهُ تَعَالَى ذَمَّ تَارِكِيْهِ بِقَوْلِهِ: {وَ إِذَا قَامُوْا إِلَى الصَّلَاةِ قَامُوْا كُسَالَى} وَ الْكَسَلُ: الْفُتُوْرُ وَ التَّوَانِيْ. (وَ فِرَاغِ قَلْبٍ) مِنَ الشَّوَاغِلِ لِأَنَّهُ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوْعِ. (وَ) سُنَّ (فِيْهَا) أَيْ فِيْ صَلَاتِهِ كُلِّهَا، (خُشُوْعٌ بِقَلْبِهِ) بِأَنْ لَا يُحْضِرَ فِيْهِ غَيْرَ مَا هُوَ فِيْهِ وَ إِنْ تَعَلَّقَ بِالْآخِرَةِ. (وَ بِجَوَارِحِهِ) بِأَنْ لَا يَعْبَثَ بِأَحَدِهَا، وَ ذلِكَ لِثَنَاءِ اللهِ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْعَزِيْزِ عَلَى فَاعِلَيْهِ بِقَوْلِهِ: {قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُوْنَ الَّذِيْنَ هُمْ فِيْ صَلَاتِهِمْ خَاشِعُوْنَ} وَ لِانْتِفَاءِ ثَوَابِ الصَّلَاةِ بِانْتِفَائِهِ كَمَا دَلَّتْ عَلَيْهِ الْأَحَادِيْثُ الصَّحِيْحَةُ. وَ لِأَنَّ لَنَا وَجْهًا اِخْتَارَهُ جَمْعٌ أَنَّهُ شَرْطٌ لِلصِّحَّةِ. وَ مِمَّا يَحْصُلُ الْخُشُوْع اسْتِحْضَارُهُ أَنَّهُ بَيْنَ يَدَيْ مَلَكِ الْمُلُوْكِ الَّذِيْ يَعْلَمُ السِّرَّ وَ أَخْفَى. يُنَاجِيْهِ، وَ أَنَّكَ رُبَّمَا تَجَلَّى عَلَيْهِ بِالْقَهْرِ لِعَدَمِ الْقِيَامِ بِحَقِّ رُبُوْبِيَّتِهِ فَرَدَّ عَلَيْهِ صَلَاتَهُ. وَ قَالَ سَيِّدِيْ الْقُطْبُ الْعَارِفُ بِاللهِ مُحَمَّدٌ الْبَكْرِيٌّ رضي الله عنه: إِنَّ مِمَّا يُوْرِثُ الْخُشُوْعَ إِطَالَةُ الرُّكُوْعِ وَ السُّجُوْدِ (وَ تَدَبُّرُ قِرَاءَةٍ) أَيْ تَأَمُّلِ مَعَانِيْهَا. قَالَ تَعَالَى: {أَفَلَا يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ} وَ لِأَنَّ بِهِ يَكْمَلُ مَقْصُوْدُ الْخُشُوْعِ. (وَ) تَدَبُّرُ (ذِكْرٍ) قِيَاسًا عَلَى الْقِرَاءَةِ، (وَ) سُنَّ (إِدَامَةُ نَظَرٍ مَحَلَّ سُجُوْدِهِ) لِأَنَّ ذلِكَ أَقْرَبُ إِلَى الْخُشُوْعِ، وَ لَوْ أَعْمىً، وَ إِنْ كَانَ عِنْدَ الْكَعْبَةِ أَوْ فِي الظُّلْمَةِ، أَوْ فِيْ صَلَاةِ الْجَنَازَةِ. نَعَمْ، السُّنَّةُ أَنْ يَقْصِرَ نَظَرَهُ عَلَى مُسَبِّحَتِهِ عِنْدَ رَفْعِهَا فِي التَّشَهُّدِ لِخَبَرٍ صَحِيْحٍ فِيْهِ، وَ لَا يُكْرَهُ تَغْمِيْضُ عَيْنَيْهِ إِنْ لَمْ يَخَفْ ضَرَرًا.

(Cabangan Masalah). Disunnahkan masuk mengerjakan shalat dengan semangat sebab Allah s.w.t. mencela terhadap orang yang meninggalkan hal itu dalam firman-Nya yang artinya: “Dan ketika orang-orang munāfiq mengerjakan shalat, maka mereka mengerjakan dengan bermalas-malasan.” Lafazh (الْكَسَلُ) dalam firman Allah di atas berma‘na tidak semangat dan malas. (Dan mengosongkan hati) dari berbagai macam urusan (1395) sebab hal itu lebih mendekatkan terhadap khusyū‘. (Disunnahkan di dalam) seluruh shalat (untuk khusyū‘ dengan hatinya) dengan cara tidak menghadirkan selain hal yang sedang dijalani walaupun urusan akhirat. (1406) (Khusyū‘ dengan anggota tubuhnya) dengan cara tidak bermain dengan salah satu anggota itu. Kesunnahan itu karena pujian Allah s.w.t. terhadap pelakunya di dalam Kitāb-Nya yang mulia yang artinya: “Sungguh beruntung orang-orang yang beriman ya‘ni orang-orang yang khusyū‘ di dalam shalatnya,” dan sebab hilangnya pahala sebab tiadanya khusyū‘ seperti yang telah ditunjukkan hadits-hadits Nabi s.a.w. yang shaḥīḥ, dan sebab adanya satu pendapat yang dipilih sekelompok ‘ulamā’ bahwa khusyū‘ merupakan syarat sah shalat. Sebagian hal yang dapat menghasilkan khusyū‘ adalah membayangkan bahwa dirinya berada di sisi raja diraja yang mengetahui perkara yang samar dan paling samar sedang berbisik kepadanya, dan membayangkan bahwa Allah tampak jelas dengan memaksa terhadap orang yang meninggalkan khusyū‘ sebab hak ketuhanannya tidak dipenuhi hingga shalatnya tidak diterima. Sayyid al-Quthb al-‘Ārif Billāh Muḥammad al-Bakriyyī r.a. mengatakan bahwa sebagian hal yang dapat mewariskan kekhusyū‘an adalah memanjangkan rukū‘ dan sujūd. (Disunnahkan untuk merenungkan ma‘na-ma‘na bacaan al-Qur’ān). (1417) Allah berfirman yang artinya: “Apakah mereka semua tidak merenungkan ma‘na al-Qur’an.” Dan dengan hal itu, maka sempurnalah tujuan dari khusyū‘ (dan) merenungkan (ma‘na dzikir) disamakan dengan bacaan al-Qur’ān. (Sunnah untuk tidak memalingkan pandangan dari tempat sujūdnya) sebab hal itu lebih mendekatkan terhadap khusyū‘ walaupun orang buta – dan walaupun di depan Ka‘bah, di kegelapan atau dalam shalat janazah. Benar sunnah untuk selalu melihat tempat sujūdnya, namun disunnahkan untuk hanya melihat jari telunjuk saat jari tersebut diangkat dalam tasyahhud akhir sebab adanya hadits yang shaḥīḥ. Tidak dimakruhkan untuk memejamkan kedua matanya (1428) jika tidak ditakutkan bahaya.

 

[فَائِدَةٌ]: يُكْرَهُ لِلْمُصَلِّي الذَّكَرَ وَ غَيْرَهُ تَرْكُ شَيْءٍ مِنْ سُنَنِ الصَّلَاةِ. قَالَ شَيْخُنَا: وَ فِيْ عُمُوْمِهِ نَظَرٌ. وَ الَّذِيْ يَتَّجَهُ تَخْصِيْصُهُ بِمَا وَرَدَ فِيْهِ نَهْيٌ أَوْ خِلَافٌ فِي الْوُجُوْبِ.

(Fā’idah). Dimakruhkan bagi seorang yang shalat, lelaki maupun yang lainnya meninggalkan sesuatu dari kesunnahan shalat. Guru kita berkata: Keumuman hal tersebut masih perlu dipertimbangkan sedang pendapat yang tepat adalah mengkhususkan kemakruhan itu terhadap sesuatu yang terdapat larangan untuk meninggalkan (1439) atau perbedaan dalam kewajibannya. (14410).

Catatan:

  1. 135). Kecuali takbīrat-ul-iḥrām besertaan dengan niat, tasyahhud dan shalawat Nabi besertaan duduk. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 208 Darul Fikr.
  2. 136). Sebab dikerjakan di selain tempatnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 208 Darul Fikr.
  3. 137). Artinya mencukupi adalah tidak perlu kembali pada rukun yang ditinggal, namun teruskan shalat dan di akhir shalat ditambah satu raka‘at bila ingat setelah satu raka‘at dan seterusnya. (pen.)
  4. 138). Contoh: jika ia berada pada posisi sujūd sedang yang tertinggal adalah al-Fātiḥah maka berdirilah dan baca al-Fātiḥah, setelah itu rukū‘ dan sujūd dan seterusnya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 210 Darul Fikr.
  5. 139). Imām al-Qādhī mengatakan: Dimakruhkan berfikir dalam shalat tentang masalah dunia atau masalah fiqhiyyah. Sedangkan berfikir tentang akhirat, maka tidaklah masalah. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 210 Darul Fikr.
  6. 140). Sebab hal itu muncul dari godaan syaithan seperti yang telah diungkapkan oleh Imām Ghazālī dalam Iḥyā’-nya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 210 Darul Fikr.
  7. 141). Secara global saja, tidak terperinci. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 213 Darul Fikr.
  8. 142). Sebab tidak ada larangan tentang hal tersebut. Terkadang memejamkan mata menjadi wajib bila barisan yang ada di depannya telanjang dan terkadang sunnah seperti di depannya terdapat gambar-gambar yang dapat mengganggu konsentrasinya. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 214 Darul Fikr.
  9. 143). Seperti tetap memandang tempat sujud. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 214 Darul Fikr.
  10. 144). Seperti membaca shalawat kepada keluarga Nabi dalam tasyahhud akhir. I‘ānah Thālibīn Juz 1, Hal. 214 Darul Fikr.

Komentar

Belum ada komentar. Mengapa Anda tidak memulai diskusi?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *